“Tak ada sekolah untuk belajar bagaimana menjadi orang tua,” kata orang-orang tua dulu. Lalu bagaimana Saya belajar bagaimana menjadi orang tua dan mendidik Aro di rumah? Banyak ragam cara yang bisa dipilih. Bagi saya, sepertinya membaca menjadi pilihan yang paling pas. Membaca buku-buku untuk menambah wawasan dan pengetahuan karena mendidik anak di rumah jadi hal baru bagi saya. 


Selama proses membaca ini, ada saja pemahaman baru muncul, pemahaman lama yang semakin relevan atau pandangan lama yang perlu dimodifikasi. Misalnya tentang konsep belajar berarti sekolah atau sekolah adalah belajar. Dulu saya mengiyakan konsep ini tanpa pikir panjang. Namun hari ini pendapat saya berubah karena saya jadi tahu bahwa sekolah hanya jadi salah satu cara untuk belajar.


Pilihan untuk membaca sebagai sarana belajar  memberi saya ruang mengunyah banyak materi tanpa harus merasa diburu oleh waktu atau jadi sasaran agitasi. Saat membaca buku, saya bisa menyesuaikan dengan ritme sendiri. Bisa termenung sambil memikirkan apa yang tertulis, mengkritisi sebuah pendapat, menguji logika sebuah teori atau mengamini satu pendapat.


Meski saya pun sadar tidak bisa terlalu selow menjalani proses belajar sebab anak saya tumbuh berkembang setiap jam, setiap hari, dan setiap minggu (bukan setiap bulan, setiap tahun, atau setiap dekade). Kalau terlalu selow tetiba anak-anak sudah dewasa dan saya belum melakukan apa-apa kan repot.


Cukup banyak buku menarik yang saya baca. Agar tidak tertumpuk dalam ingatan, saya membuat daftarnya di bawah ini. Namun, catatan ini bersifat personal, tidak mewakili orang lain, dan bukan kebenaran mutlak. Berguna bagi saya belum tentu berguna bagi yang lain.


1. “Apa Itu Homeschooling” dan “55 Prinsip & Gagasan Homeschooling”

Buku tentang homeschooling 

Dua buku ini karya Aar Sumardiono, praktisi homeschooling dan pendiri Rumah Inspirasi. Isinya mudah dipahami bahkan untuk pemula atau mereka yang ingin tahu tentang pendidikan rumah. 


Lewat penyampaian yang sederhana, buku ini banyak mengulas tentang panduan awal bagaimana memulai pendidikan rumah mulai dari membangun visi misi pendidikan keluarga, kesadaran menjadi perintis saat memilih pendidikan rumah, dan legalitas homeschooling di Indonesia. Tidak hanya menggamabrkan konsep, buku ini juga merefleksikan bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari sebagai homeschooler.


Cukup membantu. Yang penting juga membesarkan hati mereka yang baru mulai agar tidak selalu merasa jadi remah-remah rempeyek (curhat saya😃). Nilai plus-nya, ditulis dalam bahasa Indonesia jadi tidak perlu repot menterjemahkan, langsung tancap gas membacanya.


2. Pembelajar Mandiri

buku tentang homeschooling

Ditulis oleh  Yudhistira, anak dari Aar Sumardiono. Bercerita tentang bagaimana pendidikan rumah di mata anak-anak. Ditulis dengan gaya ringan dan mudah dibaca bahkan anak saya usia 7 tahun pun sangat menikmatinya. 


Beberapa kegiatan yang dilakukan Yudhistira dalam buku tersebut pun dipraktikkan oleh anak saya sebab merasa terinspirasi dengan ide-ide segarnya. Kebetulan pernah bertemu muka, jadi ada gambaran siapa Kak Yudhis itu.


"Oh…ternyata saat kecil, Kak Yudhis juga latihan belanja sendiri. Oh, seru ya main minecraft."


Yudhistira sekarang kuliah meski tidak sekolah. Nah…jadi anak homeschooling bisa kuliah ? Bisa banget, kalau mau 😊


3. The Danish Way of Parenting



Buku ini tidak mengulas tentang homeschooling namun model pengasuhan yang dilakukan ortu di Denmark, atau tepatnya orang Amerika yang menikah dengan orang Denmark. Saya senang dengan gaya bertuturnya Jessica (penulis). Caranya menceritakan perbedaan budaya yang dialami dan bagaimana dia menyesuaikan diri kemudian senang dengan pengasuhan a la Denmark ini. 


Banyak hal di buku ini bisa saya terapkan dalam perjalanan mendidik anak di rumah. Menjadikan saya lebih selow, menerima kenyataan, dan bahagia alih-alih membayangkan menjadi ortu yang  sempurna. 


Sebagai contoh mampu menerima kenyataan melalui pemahaman akan emosi diri sendiri. Emosi itu netral, baik yang positif maupun negatif, baik yang mudah atau pun sulit. Emosi-emosi tersebut tidak diredam apalagi ditahan, namun diterima dan dikenali sedini mungkin agar anak-anak  lebih mudah menyikapi ke depannya jika ada masalah.


Penulis juga membuat akronim dari kata PARENT. Play, Authenticity, Reframing, Empathy, No Ultimatums, Together and Hygge. Dari kata-kata tersebut kemudian dijabarkan secara lugas.


Meski bagus, karena titik berangkatnya pada situasi dan kondisi di Denmark yang jelas berbeda sekali budayanya dengan di Indonesia, saya pun harus kritis dan bisa memilah-milah, tidak menelan mentah-mentah atau mengamini semua hal yang ditulis.


Menjadi pembaca pun harus cerdas ya 💪😊😊


4. Buku-buku John Holt

buku tentang homeschooling

Saya sengaja tidak menulis satu buku sebab ada beberapa buku karya penggagas homeschooling ini. John Holt awalnya seorang pendidik. Namun kemudian ia mendampingi para ortu yang kecewa dengan sekolah dan memilih mendidik sendiri anaknya di rumah. Mengadvokasi, istilah kerennya. John Holt kemudian mendirikan asosiasi yang mendukung para ortu mendidik sendiri anaknya di rumah sekaligus menerbitkan majalah Growing Without Schooling yang berisi cerita mereka dari seluruh negara bagian Amerika.


Buku-buku John Holt sebagian ada yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Erlangga, yaitu; Bagaimana Siswa Belajar, Belajar Sepanjang Waktu, dan Mengapa Siswa Gagal. 


Teach Your Own adalah buku John Holt yang memberi saya banyak inspirasi dalam mendidik anak di rumah. Pandangan, pengalaman, dan pengamatannya akan perkembangan anak-anak detail namun tidak klinis. Melihat anak seutuhnya. Mempercayai mereka sepenuhnya dan menyakini bahwa anak-anak tersebut bisa belajar dan mengajar diri mereka sendiri. Orang dewasa hanya mendampingi dan menolong jika memang diperlukan saja.


John Holt sendiri ternyata berkomunikasi dan berkawan dengan Ivan Illich, satu orang yang mendengungkan gagasan tentang deschooling. Sangat mungkin pandangan Illich mempengaruhinya.


5. Unschooled

buku tentang homeschooling

Buku karya Kerry McDonald ini membuat saya termangu-mangu sejak awal. Selain mengajak untuk memikirkan ulang pendidikan yang humanis bagi anak-anak, juga memberi konteks akan situasi pendidikan di Amerika dari masa ke masa. Sekolah alternatif seperti Summerhill pun diulas disini meski singkat. Bisa diperbandingkan dengan situasi di Indonesia menurut saya, agar paham situasinya.


Penulis adalah salah satu praktisi unschooler dan seorang pendidik di kindergarten dengan 3 anak. Meskipun begitu, Mcdonald sejak awal mengatakan bahwa pandangan dan pendapatnya dalam buku ini tidak mewakili keluarga unschooler lainnya. Kesadaran bahwa masing-masing keluarga memiliki nilai-nilai sendiri dan tidak bisa mengklaim secara sepihak sangat nyata. 


Mcdonald menulis berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan pendidikan rumah dan hasil riset Universitas Michigan. 


Hal-hal yang ditanyakan meliputi ; Apa yang melatari mereka memutuskan mendidik sendiri, bagaimana mereka menjalaninya dalam keseharian sampai cara-cara para pelaku pendidikan rumah itu mempersiapkan masa depan anak-anaknya.


Buku ini membahas tentang para unschooler ini dengan anak-anak mereka dari masa anak-anak sampai remaja. 


6. Sandra Dodd's Bigbook of Unschooling

buku tentang homeschooling

Buku ini tak bisa diselesaikan dalam sekali duduk. Berisi ringkasan dari catatan-catatan dialog dalam group online yang digagas Sandra Dodd, seorang unschooler veteran dari Texas. Pandangan-pandangan terkait pilihan pendidikan yang dipilih pun sangat kental melatari argumen-argumen yang ditulis disini. 


Buku ini menjadi semacam manifesto dari praktek unschooling yang telah dijalankan oleh Sandra Dodd selama puluhan tahun. Berawal dari kegelisahan ortu anggota study group yang dibentuknya, buku ini berusaha menjawab rasa penasaran yang sering muncul ketika menjalani pendidikan rumah, ketakutan dan kebimbangan yang dialami oleh banyak orang tua yang ingin memulai pendidikan rumah. Namun ada juga tulisn tentang kesempatan-kesempatan baru yang lahir saat mempraktekkan pendidikan rumah. 


Menarik menemukan banyak sekali  sudut pandang berbeda-beda dari para ortu di sana. Namun, saya pun sering harus diam sejenak setiap membaca satu artikel. Dodd sangat lugas dan terkesan 'koboy' dalam menentukan pilihan sikap. Tak gentar lawan banyaknya seribu kali, kalau kata Chairil Anwar hehehehe. 


Meski begitu, Dodd banyak memberi masukan dan sudut pandang menarik. Seakan saya diajak untuk memikirkan ulang dan mempertanyakan nilai-nilai lama yang puluhan tahun dipercayai tentang belajar. Latar pendidikan Dodd sendiri adalah pendidikan sehingga cukup  jernih tulisannya.


Karena rangkuman dari diskusi online, beragam sekali topik yang diangkat dan tidak semuanya menyenangkan, ada kesedihan dan keterpurukan. Namun, begitulah hidup, tidak hitam putih juga. Hidup bukan fairy tales atau seperti sinetron bahkan drakor.


Hal penting yang saya dapat dari Dodd adalah peringatannya untuk tidak selesai dengan membaca dan membicarakan saja tentang pendidikan rumah ini. Tapi dilakukan aka dijalani. Cubitan sekali untuk saya hahahaha. Dilakoni, ora diomongke wae. 


Oh ya, jika telaten dan ingin membaca secara gratis, tulisan dan pandangan Sandra Dodd banyak tercecer di internet. Hanya saja, tidak terkumpul di satu blog, namun banyak sekali blog. Worth it membacanya.


7. Free to Learn karya Peter Gray

buku tentang homeschooling


Satu alasan saya untuk tidak menyekolahkan Aro adalah agar bisa bermain bebas sepuasnya. Tidak repot dengan tugas, PR, dan les. Buku ini memberi peneguhan 😂


Berlatar belakang sebagai psikolog, Peter Gray memberikan banyak perhatian dan meneliti manfaat jangka panjang bermain bebas pada anak-anak. Penulis mengulas tentang bermain bebas ini dari masa manusia zaman berburu sampai modern secara detail. Gray menjelaskan bagaimana bermain bebas memberi banyak pengalaman nyata dan kesempatan anak-anak mengembangkan kemampuan. Mereka bisa mengajari diri sendiri dengan bermain bebas tanpa campur tangan orang dewasa. 


Bermain bebas ini harus benar-benar dari anak. Dari merancang, melakukan, sampai memutuskan terus bermain atau berhenti. Bila dalam melakukannya ada orang dewasa atau bahkan penilaian seorang guru, menurut Gray, itu bukanlah bermain bebas.


8. The Unschooling Journey: a Field Guide



Membaca buku ini serasa diajak berpetualang menjalani takdir menjadi pahlawan dalam kehidupan kita sendiri. Pam banyak melakukan riset pustaka. Buku-buku bagus yang jadi referensi bisa dengan mudah ditemukan dalam tulisannya. Meski secara garis besar, Pam merujuk pada karya Campbell, Hero With a Thousand Faces, sebuah buku yang mengulas tentang banyak mitologi dan dongeng dari penjuru dunia.


Tahapan-tahapan mitos atau dongeng dalam karya Campbell dijadikan analogi oleh penulis sebagai tahapan-tahapan dalam menjalani pendidikan anak-anaknya dengan memodifikasi dan penyesuaian di sana-sini. 


Dimulai dari call to adventure yang dilanjutkan choosing unschooling, kemudian finding our guides, dan seterusnya sampai kepada kembali dan bermanfaat di ordinary world yang kita tinggali. Menarik sekali melihat kehidupan bercermin pada dongeng-dongeng dari banyak negeri. 


Meski serasa diajak berpetualang ke negeri antah berantah yang mempesona, namun buku ini pun tidak bisa dibaca sekali duduk atau selintasan. Saya perlu jeda beberapa lama untuk kembali membacanya. 


Penulis sendiri membebaskan pembacanya untuk melanjutkan atau menghentikan bacaan bila dirasa tidak make sense. That's the point. Mundur, jeda, atau bahkan berhenti itu tidak masalah asal keputusan itu dibuat secara sadar. 


Pam merupakan unschooler sama seperti Sandra Dodd maupun Kerry McDonald. Meski sudah veteran dan anak-anaknya telah beranjak dewasa, mereka tidak pernah mendaku bahwa apa yang telah mereka katakan atau lakukan akan menjadi template (model) bagi keluarga yang lain. Tidak ada konsep pendidikan satu keluarga lebih baik dari lainnya karena masing-masing punya cerita. Disitulah esensi dari praktek unschooling


—##-


Kok buku-bukunya cenderung memakai metode unschooling ya ? Hehehhe, iya. Hampir setahun ini setelah membaca buku-buku berkaitan dengan pendidikan rumah, saya merasa cocok dengan model be your self ini dan para praktisinya meski hanya berkenalan melalui buku.


Setiap membaca  karya praktisi unschooling, hampir semuanya menunjukkan bahwa mereka cukup kuat dalam membaca. Mereka tidak membatasi diri untuk membaca buku dalam genre tertentu. Psikologi, pendidikan, mitologi, sampai kepada antropologi, dan filsafat sekalipun mereka baca. Walau begitu, mereka pun tidak mendaku yang paling benar dan mengkritisi yang lain. Bagi mereka, yang terpenting adalah tujuan tercapai. Caranya bagaimana, bisa disesuaikan dengan visi misi dan situasi keluarga masing-masing.


Mungkin dalam bahasa saya, "Bertemu di taman kota jam segini ya. Tentang bagaimana cara kalian ke sana terserah pilihan masing-masing. Bisa jalan kaki, naik bajaj, jongging, naik kendaraan atau pun naik kuda sekalipun."


Seperti yang ditulis Pam Laricchia bahwa ketika  memutuskan mendidik anak di rumah, 'Kita mungkin berangkat dengan satu keyakinan tentang unschoolling. Namun jangan lupa cerita tentang orang buta yang disuruh menyentuh gajah. Saat satu orang buta menyentuh telinga, akan berbeda dengan yang menyentuh perut, kaki atau bagian tubuh lainnnya. Jadi, daripada mencengkeram sudut pandang kita lebih erat, kita dapat memilih untuk melonggarkan pegangan kita dan mempertimbangkan ide-ide yang lebih tidak konvensional yang akan muncul dalam perjalanan kita. Bagian-bagian lain itu — ekor, telinga, dan batang tubuh — mungkin menjadi bagian tak terpisahkan dari gambaran pembelajaran yang lebih besar dan lebih lengkap.


Dari membaca inilah saya semakin yakin bahwa sebenarnya tidak ada metode yang paling bagus atau paling buruk. Semua tergantung dengan perspektif, kebutuhan, dan kecocokan visi misi pendidikan keluarga masing-masing. Menarik sekali ketika saya bebas menentukan pendidikan untuk keluarga sendiri. Semangat ya teman-teman pejuang pendidikan💪💪😍

0 Komentar