Cerita dari Jogja : Sirine Tanda Berbuka
Nguiiiiing! suara sirene panjang berbunyi. "Alhamdulillah, buka!" sorak Aro lega. Segera diambilnya gelas berisi air putih.
Ramadhan kali ini kami di Jogja. Merasakan banyak hal berbeda daripada Kediri, kota yang sebelumnya kami tinggali. Seperti penanda berbuka ini. Awalnya, Aro heran mengapa jam berbuka ditandai dengan suara sirene dan bukan adzan Magrib.
Kebetulan tempat tinggal kami yang dulu tepat di sebelah rumah sakit. Jadi suara sirene ambulance sering terdengar apalagi kalau malam hari. Ternyata tanda sirine dan ambulans cukup melekat dalam ingatan Aro. "Suara sirene kali ini tidak menyakitkan kalau mendengarnya, bahkan mennyenangkan!" seloroh Aro setelah beberapa kali mendengarnya. Saya pun mengiyakan. Lebih menyenangkan memang mengenang suara sirine sebagai penanda berbuka.
Sirene ini awalnya berada di tempat bernama Plengkung Gading yang ada di wilayah Keraton. Sirene Gaug namanya, dulu digunakan sebagai penanda bahaya. Namun kemudian digunakan sebagai penanda waktu berbuka.
Suasana dan atmosfer yang berbeda memberi kami pengalaman-pengalaman baru. Kalau dulu kami hanya reriungan di rumah menunggu buka, kini kami punya kesempatan ngabuburit bertema budaya. Jadi yang beda bukan hanya tanda bukanya, tapi juga pengisi waktunya hehehe…
Seperti sore hari sabtu kemarin kami mengikuti ngabuburit yang diadakan oleh komunitas penggemar kuliner, Djedjak Rasa. Berangkat dari rumah 4 jam sebelum berbuka. Berniat sekali bukan? Kami berangkat bakda dhuhur saat langit mendung gelap pertanda hujan akan segera turun. Menempuh jarak sekitar 15 km dalam hujan yang cukup deras untuk sampai ke lokasi kegiatan, Masjid Kotagede.
Hujan telah reda saat kami datang di Masjid yang didirikan oleh Panembahan Senapati, raja pertama Mataram Islam, ini. Suasana cukup ramai karena kebetulan sedang ada lomba mewarnai anak TK. Di halaman masjid pun, beberapa turis lokal maupun manca lalu lalang. Ada beberapa orang berfoto dengan mengenakan kostum jawa atau sekedar duduk-duduk seperti kami menunggu kegiatan telusur rasa dimulai sambil mengamati sekitar.
![]() |
Masjid Kotagede |
Masjid ini megah dan unik. Masjidnya besar dengan karpet yang tebal dan bersih. Kayu-kayu jati sebagai tiang pun terlihat kokoh. Ada bedug juga kentongan yang ditabuh bergantian saat adzan selesai berkumandang. Lalu kolam yang berisi air di depan masjid. Dulunya, kolam ini diperuntukan bagi orang-orang membasuh kaki sebelum masuk masjid. Pohon sawo kecik berdiri di beberapa sudut di halamanya. Percampuran budaya antara Hindu dan Islam pun sangat terlihat pada gerbang masuknya yang mirip gapura pada Pura.
Serasa terlempar di masa kerajaan rasanya disini kalau lama-lama melamunnya. Syukurlah, kegiatan telusur rasa dimulai sehingga saya tidak kebablasan berandai-andai. Dengan dipandu Buntie, founder Djejak Rasa, rombongan kami pun bergerak menuju titik-titik tujuan.
Ada satu tempat ikonik yang kami datangi saat telusur rasa ini. Lawang pethuk atau juga dikenal dengan sebutan between two gates atau juga Jalan Kerukunan. Berupa lorong atau longkang (bahasa jawa) yang berada diantara dua rumah yang berdampingan untuk jalur lalu lalang orang. Longkang ini sebenarnya area privat namun semua orang boleh melewatinya dengan berjalan kaki. Kalau bawa kendaraan seperti sepeda atau motor harus dituntun.
longkang |
Dua rumah yang saya maksud disini adalah rumah lama. Bangunan yang masuk dalam cagar budaya dengan kekhasan bentuknya. Keunikannya ada pada kuda-kuda rumah yang terdapat di terasnya, berbentuk melengkung seperti bahu penari juga bagian-bagian rumah yang khas rumah jawa tempo dulu dengan didominasi bahan kayu di mana-mana.
Kebetulan juga selama akhir pekan, di Lawang Pethuk ini ada kegiatan Pasar Pasan. Pasar dadakan yang diadakan hanya pada bulan puasa. Namanya juga ngabuburit dengan tema telusur rasa. Tak afdol namanya kalau ga ada acara njajan dan icip-icip makanan. Ya kan ?
Dengan sekali lirik, saya pun bisa melihat makanan-makanan menarik. Keahlian orang lapar sepertinya ini hahahahaha.
Pertama mie pentil. Mie ini teksturnya kenyal seperti pentil ban sepeda karena terbuat dari tepung tapioka, bukan terigu. Bebas gluten pastinya ya. Rasa mie-nya hambar namun ketika sudah dicampur bumbu menjadi enak sekali. Bumbunya seperti areh pada gudeg namun lebih coklat dan pedas.
![]() |
Mie tepung tapioka |
Adalagi kipo. Makanan dari ketan berisi kelapa dan gula merah yang dibakar inipun tak kalah menggoda. Rasa gurih dan manis bercampur jadi satu. Sempat mencoba ledre juga, ketan dengan pisang diatasnya dan sebelum disajikan dibakar sebenar dengan daun pisang sebagai alas…hm…harum sekali.
![]() |
Kolak dan Ledre |
Sedang asyik mencermati aneka makanan, tetiba terdengar sirine Gaug berbunyi. Tanda kami dipersilahkan berbuka dengan. Kali ini kolak pisang jadi menu pembuka. Selamat berbuka.
0 Komentar