"Berapa kertas lagi yang harus dipotong?"

 

"Mm…90 boleh ?"

 

"Boleh saja. Ukurannya tetap 9x9 ?" Aro mengiyakan. "Mau mencoba sonobe 90 unit ?”, tanya saya.

 

"Ya. Aku penasaran apakah tingkat kerumitannya sama atau berbeda dengan sonobe 30."

 

Saya hanya mengangguk-angguk sambil meraih cutter, kertas, dan penggaris. Bersiap memotong lagi. Kegiatan yang mindfullness bagi saya.

 

Beberapa waktu lalu, memotong kertas seperti ini tantangan sekali. Hasil potongan kertas sering kali miring dan tidak presisi sehingga saya memotong kertasnya harus satu per satu yang membutuhkan waktu lama sekali. Namun sekarang, sret langsung jadi beberapa. Practice make perfect.

 

 

unit sonobe 

Menengok ke belakang, sekitar dua bulan lalu , awal mula kegiatan ini dimulai. Origami.

 

 

Saya tak memiliki banyak ingatan tentang origami. Bahkan nyaris tak ada. Bagi saya, origami hanya sebatas membuat pesawat terbang, perahu, katak, dan sedikit rumit burung. Itupun tak saya kuasai sepenuhnya. Di sekolah pun, origami ini bukanlah hal penting untuk dipelajari lebih detail. Mungkin karena tak masuk dalam ujian sekolah atau ada sebab lain. Entahlah.

 

  

Itu pula mungkin yang membuat saya tak terlalu tertarik dengan origami. Imbasnya, secara tak sadar saya menularkan rasa tak tertarik origami ini pada Aro. Masa kanak-kanaknya tak banyak bersinggungan dengan prakarya dari kertas. Hanya beberapa jenis saja yang saya dan Obi kuasai.

  

Pandangan tentang seni melipat kertas berubah  bermula pada pertemuan Aro dengan tutor origami.  Berawal dari tawaran seorang kenalan, saya dan Aro bertemu dengan tutor origami. Tujuan awal, seperti yang biasa saya tekankan ke diri sendiri, hanya mengenalkan saja. Tak berekspektasi jauh. Apalagi sejujurnya saya buta sekali dengan kegiatan melipat-lipat kertas a la Jepang ini.

 

Oleh tutornya, Aro dikenalkan membuat bentuk-bentuk sederhana seperti bunga dan burung. Walau begitu, saya mendapati ternyata melipat kertas ini bukan hal yang mudah bagi Aro. Proses melemaskan jari jemari untuk dapat melipat secara presisi cukup suilt. Satu dua kali setiap selesai berkegiatan, kaosnya basah oleh keringat dan badannya dingin. Lebih banyak dikuasai rasa tegang dan ragu.

origami burung Indonesia


 

"Tadi sempat bingung dan susah sekali membuat kertasnya presisi."

 

"Tapi kemudian berhasil ?" Dia mengangguk. "Pantang menyerah membuat lipatannya presisi ya." Aro pun mengangguk lagi.

 

  

Kesulitan dan kerumitan ini tak membuatnya jera. Rasa penasaran dan ingin tahu jadi alasannya untuk  mengeksplorasi bentuk-bentuk lain. Dalam dua bulan pertamanya berlatih origami, hampir setiap hari yang dilakukannya adalah melipat dan melipat kertas lagi. Bentuk yang sama diulang berulang kali. Entah berapa banyak kertas origami yang terpakai.

 

origami mawar

  

Dukungan awal saya hanya menemani mencari kertas lipat. Membeli secara online dan menikmati menikmati keluar masuk toko-toko kertas di kota kami tinggal. Kami jadi tahu beberapa toko kertas menarik di kota ini. Tak jarang, untuk mencari suasana baru, kami pun mendatangi taman-taman kota. Membuat dan memotret origami di antara pohon atau kolamnya.

  

 

Memberinya kesempatan eksplorasi menjadi hal lain yang tak kalah penting. Mencoba membuat sesuatu dari kertas sepuasnya. Kelihatan mudah saja. Namun dalam pelaksanaannya, bukan hal yang gampang apalagi melihat kertas berserakan dimana-mana. Terlihat sia-sia dan hanya menghamburkan kertas tanpa guna.

  

origami siput


 

Saya harus berusaha keras menutup mulut. Tak mengeluarkan kata-kata seperti “Duh…buang-buang kertas. Serius dong buatnya, jadi ga buang-buang kertas. Dihemat ya kertasnya”, dan lain-lain. Kata-kata yang akrab saya dengar dulu. Mungkin memang maksudnya baik namun efek dari kalimat-kalimat 'mengkungkung' itulah alih-alih membuat saya termotivasi, yang ada adalah menghentikan semuanya. Daripada dicap yang tidak-tidak lebih baik tidak melakukannya. Aman. Toh origami ini pun tak masuk dalam ujian apapun, baik tulis maupun praktik. Jadi semakin lengkap alasan untuk tidak mempelajarinya.

 

 

Pengalaman di masa lalu kerap menjadi satu pertimbangan saya saat menjadi orang tua sekarang ini. Entah sudah berapa ratus/ribu kata 'tidak' telah saya terima selama ini.  Meskipun, memberi kesempatan eksplorasi ternyata membawa konsekuensi tidak mudah memang dibanding dengan melarang ini dan itu alias berkata ‘tidak'.

 

Namun, seperti yang dikatakan Sandra Dodd di forum diskusi unschooling, sepanjang kata 'iya' memungkinkan anak-anak belajar dan membantu mereka mengeksplorasi hal yang ingin diketahui, mengapa tidak kita lakukan ? Sebab akan banyak pengalaman mengejutkan yang terjadi.

 

Karena saat kita menyetujui anak melakukan sesuatu, tak melulu keberhasilan dan suka cita yang muncul. Kesalahan, kegagalan, dan air mata kerap terjadi silih berganti. Menerima situasi-situasi berat ini yang sulit. Kadang, terlihat sebagai 'membuang-buang waktu dan tenaga' apalagi jika eksplorasinya kerap menemukan jalan buntu alias gagal. Dorongan kuat untuk memilih jalan pintas dengan memberikan solusi a la orang tua kerap muncul. Lebih mudah dan menenangkan hati walaupun itu jadi memangkas kemampuan anak menyelesaikan masalahnya.

 

merangkai unit-unit sonobe

 

Namun, bukankah begitu jalannya kehidupan? Jatuh bangun dengan segala ceritanya. Bahagia, sedih, biasa, senang atau terpuruk datang silih berganti. Bila anak-anak tak terlatih menghadapi hal-hal tersebut sebab selalu kita berikan jalan mudah, mulus, dan terlindungi, bagaimana jika mereka menemukan hal sulit dan gagal di masa dewasanya kelak ?

 

 

 

Singkat cerita, pintu ketertarikan akan origami sudah terbuka. Setelah selesai dengan bentuk-bentuk sederhana, kini Aro mulai mencoba hal-hal yang lebih komplek. Selain melipat, ada pula proses mengkait. Membentuk kertas datar dan tipis menjadi sebuah bangun ruang. Ia mulai membuat sonobe. Satu model dari origami yang dikembangkan melalui modular sederhana. Dari mulai 3 modular, 6 modular, 12, modular, 30, modular, 90 modular, dan 120 modular.

 

sonobe 3 unit dan 12 unit

  

Pfuuh….capek. Yang menekuni origami memang Aro. Namun saya juga ikut lelah menjalani prosesnya, saudara. Selain mendampingi dan menemaninya mencari kertas di sana-sini, saya mendapati bahwa yang belajar tak hanya Aro. Saya pun belajar.

 

 

Banyak hal baru yang muncul. Misalnya pengalaman kami belajar matematika melalui origami. Tak menyangka dari ngobrol tentang origami, kami menemukan istilah-istilah ajaib ; triangular bipyramid, tetrahedron, octahedron, icosahedron dan teman-temannya. Kami pun sampai harus membaca beberapa artikel tentang origami yang bahkan masuk dalam museum matematika di New York. Origami telah beberapa kali dikonferensikan dan tak sebatas dilihat secara matematika saja, namun secara science, dan teknologi.

 

  

Tak semua kami paham. Kami masih terus belajar.

 

 

Namun, kami pun menemukan beberapa persamaan origami dan matematika. Tentang logika, tentang mengamati masalah dan bagaimana menyelesaikannya juga tentang ketekunan. Ternyata, matematika tidak sekedar angka atau aritmatika.


0 Komentar