Obrolan pagi tadi dengan Obi tentang anak temannya yang harus dibawa ke psikolog untuk terapi masih terngiang-ngiang. Anaknya berusia di bawah lima tahun yang mengalami masalah daya fokus dan keterlambatan bicara. 

Psikolog menyimpulkan bahwa paparan gadget terlalu dini lah yang menjadi penyebabnya. Kebetulan si anak adalah buah hati yang ditunggu-tunggu selama lima tahun lebih sejak pernikahan mereka. Rasa sayang dan rasa ingin melindungi yang cukup besar membuat mereka protektif. 


Jamak kita temui banyak ortu menunjukkan kasih sayangnya dengan memberi anak-anak mainan mahal atau gadget. Berharap mereka senang dan tenang. Hanya saja kemudian sering keblablasan lalu membuat si anak tergantung dengan gadget.

Ngobrolin pengaruh gadget ini memang gampang-gampang susah. Banyak sebab yang membuat ortu memberikan gadget kepada anak-anaknya sehingga tidak bisa juga kita langsung menilai negatif mereka. Meski diakui atau tidak, saat anak sudah terpapar dan berada di depan layar gadget terlalu lama memang berdampak buruk.

Kami pun pernah mengalami situasi ini. Aro terpapar layar cukup lama. Awalnya karena kami berdua sedang ada kesibukan yang membuat harus di depan komputer cukup lama. Kami melonggarkan jam nonton Aro. Tentu saja yang ditonton video-video anak yang aman, baik itu lagu maupun film kartun sehingga kami pikir tidak masalah. Pikiran yang, kalau menurut Saya sekarang, cukup berbahaya karena dari anggapan tidak masalah itu lah kami jadi terlena. Aro senang dan kami pun tenang melakukan pekerjaan. Ending-nya kebablasan.

Kami menyadari kekeliruan ini saat hampir setiap hari Aro meminta waktu untuk duduk di depan layar monitor. Nonton video kesukaannya. Waktu yang dilewatkan bisa berjam-jam dan bila diminta berhenti selalu mencoba menunda dengan bermacam alasan. Permintaan duduk di depan layar pun terjadi meski kami telah seharian berkegiatan di luar. Ia menolak untuk diajak berkegiatan lain jika telah memasuki “jam komputer”. Memilih “ndoprok” di depan layar monitor. Diminta beraktivitas selain nonton jawabannya selalu “no idea”. Situasi yang membuat kami menghelas nafas dan mengulur kesabaran lebih panjang.

Saya dan Obi pun bersepakat untuk evaluasi diri. Menyadari bahwa awal mula tetap kesalahan kami. Kami ajak Aro bicara. Tentang situasi dan perubahan perilaku saat Aro di depan komputer. Mudah bete dan marah-marah. Awalnya Aro menolak. Dia berkata kalau ia baik-baik saja. 

Diam-diam saya nyengir menyadari sesuatu. Kita saja yang orang dewasa kalau salah didakwa terang-terangan kerap keberatan kok malah memperlakukan anak seperti itu. Ya jelas saja dia ngeyel dan menyangkal. Saya kemudian bercerita tentang kondisi saya ketika terlalu lama di depan komputer. Dari mulai mata lelah, pundak pegal, sampai mudah marah-marah. Mengetahui saya pun mengalami situasi yang mirip dengannya, Aro terlihat agak santai. Kami bersepakat waktu komputer Aro dikurangan, menjadi 1-2 jam sehari. Masih lama tetapi kami memutuskan tidak langsung melarang sebab akan berat baginya.  

Bagus ya idenya ? Tetapi ternyata ide yang bagus itu ga sebagus kenyataannya. Aro berupaya bagaimana boleh nonton lebih lama. Dari cara persuasif dengan menawar sampai cara agreasif dengan marah dan tangisan. Luar biasa usaha anak-anak mempertahankan kenyamanannya agar tidak terusik. Kadang melampaui imajinasi ortunya.

Saya akhirnya memakai jurus terakhir. Jurus andalan ortu: otoritas. Sejujurnya saya sendiri ga suka dengan jurus satu ini. Saya memutuskan untuk tidak ada acara nonton di layar komputer dulu. Bagi Aro dan saya. Untuk Obi jelas tidak mungkin sebab pekerjaannya bisa amburadul kalau mengikuti agenda kami.

Keputusan yang berat. Detoksnya kejam, istilah Obi. Di hari pertama, Aro merana sekali sampai Obi tidak tahan dan mencoba mengajaknya main. Dampak terlalu lama di layar ternyata juga membuat Aro benar-benar tidak kreatif. Idenya tidak muncul hanya sekedar untuk membuat dirinya nyaman. Dia minta ditemani Obi terus. Meski tidak setuju dengan Obi, saya memilih diam. Di akhir hari, Obi pun kehabisan stok sabar. Dia kelelahan dan agak kesal. Saya hanya menyarankannya untuk sedikit mengeraskan hati meihat proses ini.

Hari kedua, Obi tidak bergeming saat Aro mulai merengek-rengek. Tahu usahanya sia-sia, Aro pun mulai menangis dan marah. Dia mengurung diri di kamar dan tidak mau ngapa-ngapain. Kami mengeraskan hati. Sore hari, Aro kembali mempertanyakan mengapa tidak boleh melihat video di komputer. Jawaban yang kami berikan sama seperti saat diskusi pertama dulu. Meski masih emosional, Aro lebih bisa mengendalikan diri di hari kedua.

Hari ketiga. Tak ada lagi rengekan minta nonton video dan tangisan. Aro lebih banyak diam dan duduk termenung. Ada tangga di belakang rumah tempat dia bisa duduk disana sampai 15 menit. Kadang-kadang datang kepada saya untuk minta dipeluk lalu pergi lagi. Kami hanya mengamati meski sejujurnya tidak mudah. Sangat tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Ada saat-saat iba melihatnya dan ingin menyudahi dengan bilang “ya boleh lihat komputer”. Namun, kami mengingatkan diri sendiri. Ini memang menyakitkan tetapi harus dilakukan.

Hari keempat. Situasi lebih baik. Aro secara emosi lebih tenang. Hari itu Aro tidak bertanya tentang nonton video lagi. Dia banyak mengeluarkan buku dan membacanya meski tetap memilih beraktivitas sendiri di dalam kamar. Saya hanya mengiyakan tanpa banyak komentar. 

Ternyata, saat makan pagi bersama, dia mulai banyak bercerita. Tentang apapun. Usai makan, kami sempat bermain congklak sebelum kami beraktivitas sendiri-sendiri. Saya membaca buku, dan Aro pun sempat ikut membaca meski kemudian memilih bermain imajinasi. Ngobrol dan membayangkan diri menjadi bermacam-macam karakter dengan mainannya.

Empat hari penuh pelajaran bagi saya dan Obi. Aro tersihir gadget karena kelalaian kami. Beruntung kami segera menyadari dan mengevaluasi diri. Menjadi ortu tidak mudah, menurut kami. Saya dan Obi tidak selalu benar. Ada masa ambyar dan terjerembab seperti ini. Tetapi, menjadi ortu pun membuat kami banyak belajar. Ada mantra yang lumayan efektif buat kami. Open mind, open heart, open will.

0 Komentar