Pindah dan Pertemanan
"Kami mau pindah lagi. Sudah dua tahun di sini", seorang teman memberi kabar. Dia dan keluarganya akan pindah ke kota lain. Pekerjaan suaminya mengharuskan mereka berpindah ke banyak kota setelah menetap selama dua tahun. Sejak mereka menikah dan sekarang anak tertuanya berusia 15 tahun.
Dulu, saya merasa berpindah-pindah tempat itu seru. Menjelajah ke banyak kota. Bertemu dengan banyak lingkungan, orang, dan budaya. Kaya sekali pengalamannya. Temanku mengiyakan. Memang banyak pengalaman, pindah 2-3 kali, dia merasa masih menyenangkan. Namun, setelah kepindahan ke empat kalinya, dia merasa pindah itu tidak mudah lagi.
Apalagi usia anak yang semakin besar. Mencari sekolah dan kesulitan beradaptasi adalah hal yang harus dilalui. Anak-anaknya pun jadi malas berteman dengan dengan anak lain karena mereka tahu, dua tahun kemudian akan pindah dan berpisah. Begitupun dengan teman saya, bisa dibilang dia pun tak memiliki teman juga. Kalau sekedar kenalan saja ada namun tidak sedekat teman.
Pindah untuk sebagian orang itu tak mudah. Apalagi untuk yang perlu cukup lama untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Perlu effort lebih dan pikiran yang terbuka untuk memutuskannya. Bagi saya juga.
Memiliki pengalaman berpindah kota beberapa kali ternyata juga tidak membuat saya mudah menjalani aktivitas pindah ini. Tidak sesering teman saya tadi memang namun ternyata kesulitan dan kelelahannya bisa dikatakan sama.
Beradaptasi dengan situasi baru dari sebuah kota yang asing. Tidak memiliki teman dan semua hal harus dimulai kembali dari awal. Apalagi situasi kota baru yang ditinggali sangat berbeda dengan kota sebelumnya. Bisa dibayangkan bagaimana melelahkan dan mungkin juga mengentarkan hati.
Pertemanan di usia dewasa tidak semudah saat kita anak-anak. Teman tidak otomatis datang menyapa dan mengajak ngobrol. Teman perlu diupayakan. Meski kadang, sudah diupayakan pun kadang kita tidak mendapatkannya. Apalagi jika kita hanya duduk diam di dalam rumah, sampai 3 bulan ke depan pun, tidak akan ada yang datang menyapa sebagai teman.
Saya tinggal di desa. Bukan di dalam cluster atau perumahan. Sebagai pendatang, sudah pasti saya tak punya teman. Kehidupan di desa berbeda dengan kehidupan di dalam perumahan. Bila di perumahan, kadang tidak terlalu kenal tetangga tidak terlalu menjadi soal. Berbeda dengan di desa.
Setiap pagi, saya biasa jalan pagi. Lebih tepatnya memaksa diri buat jalan pagi. Alasannya bukan melulu soal menjaga kesehatan, namun juga cara saya memaksa diri mau keluar mengenali lingkungan sekitar tanpa canggung. Dengan ditemani oleh Obi, ayah anak saya. Sebab kalau tidak, saya pasti pilih di rumah saja. Gentar rasanya jalan sendirian di tempat asing. Otak saya akan mencari banyak pembenaran untuk tetap di rumah saja. Olah raga toh bisa di rumah.
Ternyata, keluar jalan pagi itu tidak semenakutkan imajinasi dalam pikiran.
Bertemu muka dengan banyak orang. Tidak kenal namun mau tidak mau saling menyapa, sekedar mengangguk atau tersenyum. Ternyata memang kebiasaan di sini. Bahkan berpapasan dengan anak-anak pun mereka akan menganggukkan kepala. Pengalaman indah dan mengesankan. Selain mengakrabkan diri dengan saling kenal wajah, sekaligus seperti mengisi jiwa. Bahagia rasanya. Cukup untuk bekal menjalani satu hari ini.
0 Komentar