Setiap dari kita akan menemui masa-masa sulitnya dalam proses menemani bertumbuhnya seorang anak. Masa-masa sulit ini pasti berbeda-beda di masing-masing keluarga karena banyak faktor yang mempengaruhi.


Saya memilih pendidikan rumah untuk anak semata wayang kami. Orang mengenalnya dengan sebutan homeschooling. Kebetulan saat itu saya memiliki teman-teman yang sevisi. Sama-sama memilih mendidik sendiri anak mereka. Walaupun dengan metode yang berbeda-beda, namun ada kesamaan yang bisa kami temukan untuk melakukan banyak kegiatan bersama selain juga sebagai ajang curhat. Kami berkomunitas dengan gembira.


Sampai kemudian, kami harus pindah kota tinggal. Awalnya, saya merasa baik-baik saja. Cukup yakin dengan pilihan pendidikan buat Aro. Apalagi saya pun telah mendaftar ke PKBM sehingga Aro tak tercatat sebagai siswa putus sekolah.


Tetapi ternyata banyak hal-hal tak terduga terjadi. Ide tak menyekolahkan anak tak populer di kota yang kami tinggali sekarang. Beberapa tetangga menanyakan mengapa anak saya tak sekolah. Mengira kalau sakit atau ada kesulitan mengikuti pelajaran. 


Penjelasan tentang sekolah di rumah pun ternyata kurang dipahami di lingkungan tempat tinggal saya saat ini. Pelan-pelan, banyak anak-anak di kompleks tempat tinggal yang menjauh. Sedihnya, beberapa perundungan dialami juga oleh Aro. Cap ; tak bersekolah otomatis tak berpendidikan, tak sekolah tak punya masa depan, atau juga 'membawa efek buruk' masih kental sekali.


Belum suasana masyarakatnya yang kompetitif. Bisa dibilang over competitive. Semua aktivitas anak harus jelas tujuannya. Berprestasi. Juara. Sekedar berlatih sesuatu untuk kesehatan dan kematangan tumbuh kembang tidak masuk akal di benak banyak orang tua di sini. Situasi yang membuat para ortu tua mendorong anak-anak mereka semua menjadi yang terdepan dan terbaik. Sebenarnya, pandangan mereka tidak mengganggu saya. Saya menghormati saja. Namun, pandangan ini menjadi agak mengganggu ketika dipakai untuk menilai pilihan pendidikan saya.


Ada anak yang tak bersekolah, pertanyaan yang kerap muncul lainnya adalah apa kelebihan atau keistimewaannya. Dengan kata lain, berani atau nekad sekali mau mendidik sendiri anak di rumah. Anaknya bisa apa sih ?


Masa-masa sulit menjalani pendidikan rumah mulai terasa. Terutama di Aro. Di titik ini, pemahaman akan ungkapan homeschooling hanya cocok di perkotaan, ada benarnya juga. 


Lingkungan tak mendukung mengapa tak pindah saja ? 


Sempat terbersit keinginan tersebut. Namun, ada situasi yang membuat kami tidak bisa langsung pindah tempat tinggal meskipun saat itu, yang terlihat, solusi terbaik hanya pindah. Terbaik namun tak bisa dilakukan menjadi bukan yang terbaik ya ? 


Masa-masa kritis. Lebih parah apabila dalam situasi seperti ini, kita larut scrolling media sosial. Melihat kegiatan teman-teman komunitas, mengintip aktivitas para homeschooler lain yang terlihat seru dan menyenangkan. Dijamin pasti berantakan hahahaha.


Karena pilihannya adalah tetap tinggal, maka kami pun memikirkan langkah selanjutnya. What's next ?


Pertamakali hal yang kami benahi adalah mindset, pola pikir. 


Kami tak lagi berandai-andai. Kami menerima dan mengakui kondisi yang ada. Kesadaran ini bagi kami penting sebab setelah mau menerima situasi yang ada tanpa perlu menyalahkan sana-sini, bisa lebih fokus untuk menyikapi keadaan. 


Mindset orang tua dulu baru kemudian diobrolkan dengan anak agar sepemahaman. Sesederhana itu namun dalam praktiknya tidak mudah. Obrolan terjadi berulang-ulang, kadang berhasil kadang gagal.


Yang kedua, berhenti mengintip sosmed 

Hal lain yang perlu dilakukan adalah tidak membuka sosial media sering-sering terutama yang berkaitan dengan kegiatan yang dulu sempat diakrabi. Bila perlu, mematikan notifikasi sosial media entah WA atau instagram, atau lainnya. Ini langkah sadisnya mungkin. Bukan antisosial, lebih kepada fokus ke diri dan keluarga dulu. Proses ini bisa dilampaui lebih mudah jika kita secara sadar memberi batasan-batasan untuk diri sendiri. 

Ketiga, melihat hal-hal yang bisa dilakukan

Baru setelah itu kita memikirkan hal-hal apa yang bisa dilakukan. Bisa jadi, standarnya diturunkan bila memang situasinya tidak memungkinkan. Ini merupakan satu hal menarik dari homeschooling. Sebagai ortu, kita bisa memiliki kemudahan membuat perubahan akan target belajar jika ada situasi tak terduga. 


Kami pun begitu. Kami mulai menyisir hal-hal yang bisa dilakukan disini. Komunitas homeschooling tidak ada. Namun, ada pusat-pusat latihan berbayar yang bisa dimasuki sambil menyesuaikan diri sekaligus melihat peluang yang bisa dilakukan ke depannya. Kami pun lebih fokus ke dalam. memperkuat ikatan ortu dengan anak dengan melakukan hal-hal yang bisa dilakukan bersama.


Susah ya menjadi homeschooler? Iya, susah. Perlu memikirkan banyak hal dan tak jarang effort pun lebih besar. Di kasus saya, harus berani sendirian pula.


Lalu apa yang dikejar ? Apakah menjadi homeschooler bisa menjamin anak lebih sukses daripada yang sekolah ? Hm…tak ada jaminan sih. Bisa jadi homeschooler pun gagal.



2 Komentar

  1. Jd ibu menjadikan kita extra sabar..sabar...dan sabar..semangat erna 🥰!
    Salut pokoknya..Aro pasti bahagia, pnya bunda hebat kayak dirimu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Madame Roro. Semangat pula mengajarnya.

      Hapus