Menemukan Kimpul di Pasar Pakem
Bila ditanya satu tempat yang saya sukai, dengan pasti saya akan menjawabnya pasar. Ketika pindah tempat tinggal, pasar menjadi satu tempat wajib yang harus saya kunjungi. Terutama pasar terdekat dari rumah. Aktivitas sobo pasar atau blusukan ke pasar ini wajib bagi saya.
Ah, dasar ibu-ibu, pikirannya tak jauh-jauh dari bagaimana mengakses bahan makanan untuk sehari-hari. Benar bukan ?
Hahahaha, mungkin benar. Satu kegemaran dari kebanyakan ibu-ibu. Namun, saya baru menyukai atau nyaman berada di pasar lima tahun terakhir.
Dulu, pasar bukan tempat yang saya sukai. Saya tak mahir tawar menawar. Kalau pedagang ditanya berapa harga suatu barang, akan dijawab segini namun masih bisa ditawar. Nah, kegiatan tawar menawar ini yang saya tidak sukai sebab buta dengan harga. Kerapnya, saya dapat harga lebih mahal dari pembeli yang lain dan ketika tahu, saya menjadi kecewa campur jengkel meski bedanya seribu dua ribu rupiah. Mengapa tidak jujur saja ? Akhirnya, saya memilih belanja ke tempat yang harganya sudah pasti meski sedikit mahal namun secara psikologis aman hahahaha. Itu dulu.
Sekarang, pasar menjadi salah satu tempat rekreasi kecil-kecilan bagi saya. Banyak hal menarik bisa dijumpai. Tidak melulu dol tinuku alias kegiatan jual beli. Dari beberapa pengalaman sobo pasar, selalu ada hal baru dan berbeda, entah itu suasananya, barang yang dijual, keunikannya, atau juga makanan-makanan khas yang ada, termasuk logat/dialeknya dalam berinteraksi.
Kebetulan saya baru pindah ke Jogja. Bisa dikatakan di lereng gunung dan saya suka sekali dengan suasana pasarnya. Meski sudah kesana berkali-kali, selalu ada hal baru yang saya temui.
Seperti kemarin, ketika sedang membeli polo pendem (umbi-umbian), ada satu umbi yang baru pertama kali saya lihat. Saya pikir entik/ talas belitung, ternyata bukan. Namanya kimpul. Umbinya memang mengumpul menjadikan bentuknya agak gemuk.
![]() |
kimpul mentah dalam timbangan |
Kata si ibu penjual, rasanya gurih, lebih enak daripada entik. Salah satu pembeli lain pun mengiyakan sambil memborong semua kimpul yang ada. Saya yang masih penasaran dan belum memutuskan membeli atau tidak, sempat melongo saat kimpulnya hampir habis. Untungnya saya masih kebagian dua biji. Diberitahu juga kalau kimpul ini cara masaknya bukan dikukus seperti entik, tapi direbus. Kulitnya pun tidak perlu dikupas, cukup dibersihkan saja. Kulitnya nanti akan pecah saat direbus sebagai penanda kimpul sudah matang.
Menyenangkan interaksi seperti ini. Hal yang tidak bisa saya jumpai bila beli bahan makanan di swalayan. Berbagi obrolan sederhana seperti ini ternyata menggembirakan.
Saat di rumah, saya sempat googling tentang kimpul. Informasi yang muncul adalah talas belitung atau yang biasa saya sebut entik padahal secara bentuk dan rasa berbeda.
Saya masak kimpul ini sesuai dengan saran si ibu penjual tadi. Setelah dicuci bersih langsung direbus. Karena tidak tahu kapan matangnya, saya merebusnya cukup lama. Memastikan kimpul matang secara paripurna. Air rebusan hampir habis. Bau wangi semerbak seperti kue bolu meruap saat saya buka tutup panci sampai Aro, anak saya, mengira saya sedang baking.
![]() |
kimpul matang |
Kulit kimpul memang pecah dan mudah sekali dikupas. Saat kami cicipi, teksturnya lembut dan nyaman dikunyah. Tidak seret atau eneg. Lebih lembut dari entik. Rasanya juga tidak yang tawar atau manis. Cocok ini sebagai satu alternatif sumber karbo yang bebas gluten hehehehe.
Ada yang pernah makan kimpul ini ? Coba ke pasar di bagian polo pendem, mungkin ada kimpul disana.
0 Komentar