"Untuk membuat sesuatu menjadi kenangan indah yang tak terlupakan maka perlakukanlah ia sebagai moment pertama kali dalam hidup kita."


Satu kalimat dari buku The Art of Making Memories karya Meik ini membawa saya pada kenangan akan perjalanan yang kami lakukan beberapa saat lalu.


Perjalanan bertiga setelah pandemi. Perjalanan bertiga untuk kali pertama tidak menggunakan kendaraan publik seperti biasanya.  Memakai kendaraan pribadi, kami ke beberapa kota untuk beberapa keperluan dalam 10 hari. Bekerja, bersilaturahmi, dolan, dan  menuntaskan penasaran. Bertiga.


Benar adanya pernyataan Meik, suatu moment untuk kali pertama itu tak mudah dilupakan. Meski sudah beberapa bulan terlampaui, ingatan akan perjalanan bertiga ini masih membekas. Terutama buat saya.


Ingatan akan kehebohan dan reaksi kami masing-masing ketika ide ini muncul. Aro dan Obi, ayahnya, sangat antusias. Saya ? Seperti biasa, alih-alih gembira, serangan mengko gek-gek muncul lebih cepat dari rasa gembira. Kecemasan akan hal-hal yang belum terjadi berhamburan kemana-mana.

Hanya karena tak mau menjadi perusak suasana, saya memilih respon yang lebih toleran hahaha. 


Kami berangkat di pagi yang mendung. Jalanan masih lengang, hanya ada satu dua kendaraan melintas. Kami sengaja berangkat pagi-pagi - mruput - untuk menghindari hiruk pikuk anak pergi ke sekolah.



Untuk pertama kali pula kami melewati lereng Gunung Klotok pagi-pagi. Kabut yang turun cukup pekat menjadikan jarak pandang pendek, membuat kendaraan pun jalannya melambat. Meski begitu, orang-orang sudah banyak berlalu-lalang dan pasar yang kami lewati ramai sekali. Kabut mungkin sudah menjadi hal lumrah bagi mereka. Berdalih kabut dan memilih malas bukan pilihan bagi mereka. Saya mengamati diam-diam, antara kagum dan terpesona. Oran-orang tahan banting yang tak manja.


Aro terlihat tidur di jok belakang. Mungkin masih mengantuk ketika berangkat tadi.


Ngobrol adalah upaya yang saya lakukan untuk menepis perasaan cemas. Sejujurnya kami masih asing dengan jalan yang ada. Hanya berbekal percaya dan googlemap saja. Maklumlah, selama ini kemana-mana naik kereta yang lempeng dan tahunya sampai.


Matahari mulai terlihat saat kami meninggalkan Nganjuk, menerbitkan sedikit rasa nyaman. Pertanda pagi ini tak hujan. Beberapa hari, hujan terus turun. Kekhawatiran akan jalan licin pun sirna. Jalan aspal halus dan lurus membentang. Godaan sekali untuk menekan gas lebih dalam dan menyalip kendaraan lain. Tapi, marka putih pun lurus tak ada putusnya. Akhirnya, memilih santai saja toh perjalanan ini pun bukan perjalanan yang tergesa-gesa. Perjalanan ini adalah upaya membuat kenangan.


Obi sempat mengajak berhenti di Indomaret Karangjati. Sekedar meluruskan pinggang dan numpang buang air kecil. Ini kali pertama dia menjadi solo driver dengan rute cukup jauh. Perasaan cemas sekaligus excited pasti menderanya pula. Butuh release hehehehe.


Perkiraan sampai Solo ternyata masih terlalu pagi bila kami langsung meneruskan perjalanan. Iseng melihat-lihat google sebentar, ternyata Museum Trinil berada tak jauh dari tempat kami sekarang. Berbelok sedikit sepanjang 3km dari jalan besar. Aro dan Obi tertarik mengunjungi. Saya seperti biasa, ragu-ragu. Tidak sesuai rencana adalah satu hal yang kurang saya sukai.


"Ayolah, Nda. Kesana, yuk! Spontan saja. Kita nikmati perjalanan yang ada."


Agak kaget mendengar pilihan kata Aro. Spontanitas memang kurang saya miliki. Saya tak terlatih dengan situasi yang berubah dari rencana. Sering mati gaya. Perjalanan ini milik kami bertiga. Tak ada yang akan keberatan bila melakukan hal-hal di luar rencana toh tetap akan sampai pada tujuan awal. Untunglah tak perlu waktu lama untuk saya mengiyakan usulan mereka. Belok sebentar ke Museum Trinil, mengapa tidak ?  Mari kita terima kesempatan untuk hal-hal spontan ini.


Maka, kami pun membelok keluar dari jalan besar untuk ke Museum Trinil.





0 Komentar