Bukuku Kakiku ; Kenangan dan Perjalanan Menyukai Buku
Hidup di saat-saat sekarang, meluangkan diri untuk membaca sebuah buku adalah tantangan tersendiri bagi Saya. Godaan untuk mengintip gawai sekedar melihat sosial media kerap kali membuyarkan niat membaca ini. Ah sebentar kok, hanya ingin tahu apa yang sedang heboh di sana agar tidak kudet lalu balik ke buku lagi adalah salah satu bujukan yang kerap hadir. Yang hanya sebentar itu ternyata bisa dua jam lebih dan ujung-ujungnya saat mau membuka buku sudah lelah pikiran dengan luapan informasi dari sosial media. Saya memang lemah, tak tahan godaan.
Menemukan buku lama saat beberes seakan diingatkan kembali untuk membaca. Bukuku Kakiku. Buku yang diterbitkan menandai 30 tahun Gramedia, Saya beli saat masih kuliah. Tahun 2004. Dulu belinya untuk sekedar gaya-gayaan. Buku dengan sampul tebal mewah di masanya ini bisa menghabiskan uang makan seminggu. Tetapi eksistensi itu perlu beaya bukan ? Mengurangi jatah makan asal bisa punya buku bagus itu cukup ngetrend di kami dulu. Masalah setelah itu bukunya dibaca tuntas atau tidak, itu lain persoalan apalagi bila sempat dilupakan hahahahaha.
Bukuku Kakiku membawa Saya berkenalan dengan orang-orang besar ; Ajib Rosidi, Budi Darma, Ariel Heryanto, Azyumardi Azra, Daoed Joesoef, Melani Budianta, Remy Silado, Rosihan Anwar, dan banyak lagi. Buku ini semacam reading book, kumpulan tulisan pendek dari banyak orang. Khusus bercerita tentang pengalaman mereka dalam berkenalan dan mengakrabi buku. Mengapa buku menjadi satu hal penting yang mempengaruhi perjalanan hidup.
Membaca kisah orang-orang hebat dalam buku ini dalam prosesnya mencintai buku membuat Saya semakin yakin bahwa memang jalan itu tidak semacam saja. Banyak jalan menuju Roma istilah Idrus. Banyak cara kita mengakrabi buku dan sering kali ternyata pengalaman dan peristiwanya sangat personal. Tidak bisa di model seragam apalagi terjadwal untuk senang buku sejak balita misalnya.
Seperti yang dikisahkan oleh Melani Budianta ; masa kecil yang cukup bermasalah dengan segala hal tentang membaca dan menulis. Kegemarannya melamun dan mendengarkan dongeng, bukan membaca. Situasi yang membuatnya mendapat kesulitan di sekolah. Selain sering disuruh berdiri di depan kelas, nilai di raport pun menjadi berwarna-warni. Kondisi yang sangat berbeda dengan saudara lainnya terutama kakak laki-lakinya. Namun, alih-alih dimarahi atau juga diolok, saudara-saudaranya terutama kakak perempuannya sangat membantu dan sabar menemaninya mengakrabi buku dengan cara membacakan untuknya setiap malam. Sampai akhirnya, bertemuan dengan guru yang menarik saat kelas 4 membuat pendulum perjalananannya akan membaca dan menulis ini berubah. Guru tersebut mampu membuka tirai gelap yang selama ini menyelubungi dengan cara mengajar apapun dimulai dengan cerita atau dongeng.
Cerita berbeda disampaikan oleh Lin Che Wei. Mengakrabi buku sudah sejak kecil dilakukannya. Bagi beliau, bukulah yang mampu mengembangkan imajinasi kreatifnya. Menurutnya, buku yang baik itu berisi tiga hal ; pertama, buku itu menghibur dan mengasyikkan; kedua, buku tersebut memiliki fungsi mengajarkan sesuatu; ketiga, buku itu mampu mengerakkan kita untuk melakukan atau mempraktikkan sesuatu. Tiga hal ini tidak terbatas pada buku orang dewasa, namun juga anak-anak. Dalam pemikiran beliau, apabila kita menginginkan anak-anak bertindak secara etis, mereka harus membaca dan belajar dari cerita-cerita yang penuh dilema. Hanya dengan membicarakan pilihan-pilihan tersebut, menurut Lin Che Wei, kita dapat mengajarkan kepada anak-anak tentang bagaimana sebuah nilai terbentuk.
Semua orang memang memiliki cerita sendiri dalam proses berkenalan dan mengakrabi buku. Ada saat sejak kecil sudah senang dan memiliki akses untuk membaca buku-buku bermutu, namun ada saat sudah menginjak remaja baru tertarik buku sebab menemukan buku yang mampu menunjukkan AHA moment atau memunculkan inspirasinya.
Bagi saya sendiri, buku sebagai bahan bacaan sudah cukup akrab sejak usia 5 tahun. Usia di mana saya sudah lancar membaca. Ortu yang kebetulan guru, memiliki akses meminjam buku-buku di perpustakaan sekolah untuk saya dan saudara lainnya. Majalah anak-anak seperti Kuncup, Kuncung, Kawanku, Ananda, Bobo, serial lima sekawan, dan beberapa komik Donald Bebek teman keseharian kami. Apalagi ada Pakdhe ayah yang juga gemar membaca. Beliau sering dibawakan buku oleh anaknya seperti Api di Bukit Menoreh, Kho ping ho, atau juga Senopati Pamungkas. Senangnya, kami juga bisa meminjam buku-buku itu.
Beda dengan Obi, pak suami. Buku adalah sesuatu barang mewah untuknya sampai menginjak sekolah menengah pertama. Perjalanannya senang membaca adalah membaca koran-koran bekas bungkus makanan yang tercecer dimana saja. Setiap ada kata menarik, maka akan dipungut dan dibacanya.
Apapun dan bagaimana pun prosesnya, membaca buku terutama buku-buku bermutu memang perlu dilatih. Membaca itu perlu ketekunan dan kesabaran bersunyi meskipun sebenarnya ada banyak kesenangan di sana.
Seperti titah Napoleon kepada para jenderalnya saat penyerbuan ke Mesir pada tulisan Budi Darma. Napoleon menyuruh mengangkut khasanah kepustakaan Mesir ke Prancis. Hal yang sama juga dilakukan oleh Raffles di Singapura yang saat itu sebagai pusat pemikiran dunia Melayu.
Mengapa hal itu bisa terjadi ? Jawabannya pastilah banyak. Namun satu hal yang pasti menurut Budi Darma adalah karena bangsa-bangsa tersebut menelantarkan khazanah kepustakaan mereka sendiri dan tidak memanfaatkannya. Berhenti pada paragraf beliau ini, saya pun menjadi termenung.
0 Komentar