Menuju ke Museum Trinil tidak terlalu sulit. Plang petunjuk arah cukup jelas dan ada di setiap persimpangan jalan. Meskipun masuk jalan desa, kekhawatiran tersesat tak diperlukan.


Saya sendiri tak tahu tentang museum ini. Saya tahunya tentang situs Trinil yang samar-samar masih teringat ketika pelajaran di sekolah dulu. Tentang penemuan fosil-fosil binatang dan manusia purba, Pithecanthropus Erectus.


Museum sepi ketika kami sampai di sana. Patung gajah besar berada di depan seperti menyambut semua yang datang. Aro masih asyik mengamati stiker dari museum. Belum menyadari patung gajahnya. Baru setelah mendongak dia terkesima dan lalu berlarian mengelilingi. Mengukur seberapa besar patung tersebut. 

Perjalanan menjadi manusia modern


Area museum ini luas. Ada pendopo dan rumah-rumah kecil untuk sekedar melepas lelah. Sedikit ke dalam, ada pohon beringin besar dan pintu masuk museum ada di sebelahnya. Kami pun masuk. Tak ada petugas. Kami disambut oleh patung keluarga manusia purba dan berderet fosil dalam kotak kaca lengkap dengan kesunyiannya. Suasana benar-benar lengang. Mungkin kalau tiba-tiba terdengar musik opening netflix, bisa saya pastikan kami akan terlonjak ketakutan 😂

Patung keluarga manusia purba


Meski sunyi, suasana sebenarnya tidak menyeramkan. Cukup terang dan bersih. Saya dan Obi - ayahnya Aro - memiliki pengetahuan dari sekolah tentang fosil-fosil ini. Rasa ingin tahu yang belum tuntas dulu, kami penuhi dengan membaca keterangan-keterangan yang ada dengan cukup sabar dan teliti. Saya membayangkan masuk ke era Flinstone. 

Penanda tempat Eugene Dubois menemukan fosil Pithecanthropus Erectus


Berbeda dengan Aro. Dia yang bukan anak sekolahan, mengenal masa purba hanya dari bacaan dan film-film yang ditontonnya. Ketika melihat gading gajah yang besar sekali, bayangannya melayang pada mamouth, gajah di era zaman es di film Ice Age. Padahal, ini Stegodon, gajah purba.  Banyak sekali fosil gading gajah di sini. Mungkin ini yang menjadi alasan ada patung gajah besar di halaman museum. Deretan fosil yang bisu itu tak terlalu menarik perhatiannya. 


Tetapi foto dan cerita tentang proses penemuan, penelitian, dan pengambilan fosil cukup seru. Bahan obrolan yang membuat kami bertiga cukup lama berada di sana. Begitu tekun dan telatennya para peneliti itu. 

Dengan imajinasi masing-masing tentunya. Banyak fosil ditemukan di tepian sungai. Satu fakta yang membawa ke obrolan seru lainnya. Bagaimana manusia-manusia zaman dulu kerap tinggal di pinggiran-pinggiran sungai karena mendekati sumber air. Juga binatang-binatang akan sering ke sumber air untuk minum atau sekedar berkubang. Museum Trinil ini memang sunyi dan lengang. Namun, tidak menyeramkan. Posisinya yang tepat di pinggir Sungai Bengawan Solo memungkinkan kami melihat arusnya yang deras. 

 

Bengawan Solo di depan museum

Menjalani pendidikan rumah membuat saya belajar untuk tidak mudah mengkritik atau pun mengutamakan melihat sisi buruknya pada sesuatu yang baru kita lihat pertama kali. Mencari kemungkinan-kemungkinan untuk hal-hal yang bisa dilakukan menurut saya lebih menarik. Budaya mengkritik atau pun menyepelekan dan mengeluh akan sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasi bukan pilihan menarik bagi kami. 


Saya senang  dengan  ungkapan ; Kita hanya bisa memberikan apa yang kita miliki. Jika kemudian kecenderungan mengkritik atau mengeluh saja yang kita miliki, apakah kemudian kebiasaan itu pula yang akan kita berikan kepada anak-anak ?

 

0 Komentar