Yeay! Akhirnya kami sampai juga di Lasem. Senang sekali rasanya. Baru masuk batas wilayah saja atmosfer kegembiraan dan bayangan keseruan-keseruan yang menanti sudah bermunculan. Ekspektasi cukup tinggi kepada kota kecil ini untuk ingin tahu dan petualangannya. Kota yang ingin sekali saya datangi setelah membaca Rumah di Tanah Rempah karya Dalijo. Lasem dengan cerita masa lalunya yang menarik.


Obi ternyata lempeng saja dengan aktivitas mengemudinya. Tak terpengaruh melihat kehebohan saya yang disambut tak kalah ramai oleh Aro.


Kami langsung menuju ke Karangturi dan mencari gang V dimana teman kami sudah menunggu di sana. Alamat yang lengkap membuat kami percaya diri. Gang V pasti sebelum gang IV. Ketika sudah melihat gang I maka panduan google pun tak diperlukan lagi. Ternyata kami keliru. Di Karangturi sini, gangnya tak linear alias tak berurutan. Buru-buru membuka kembali google


"Wah…gangnya seperti hati manusia, tak bisa ditebak!" komentar Aro yang membuat kami pun terbahak. Suasana mencair dan kepanikan sesaat gegara gang yang tak berurutan pun sirna.

Pintu gerbang kecil sebelum time travel😍


Akhirnya, sampai! Aro terpana melihat bangunan tua besar di depannya. Tak henti mulutnya mengucap “waw”. Apalagi melihat tanaman air mata pengantin yang merambat di tembok pagarnya yang tinggi. Kesan suram pun tertutupi  oleh bunga-bunga kecil berwarna merah muda ini. Saya sendiri tak kalah senangnya. Tak henti mengagumi bangunan tua yang masih kokoh ini. Mempesona.


Perjalanan, teman yang hangat, dan lingkungan yang menyenangkan adalah paket komplit hal-hal yang layak dikenang. Sambutan yang ramah dari teman dan makanan yang tersaji saat perut benar-benar lapar membuat kami cepat akrab. Obrolan-obrolan menarik bermunculan.



Usai makan dan untuk sejenak meluruskan punggung, kami pun time travel. Penjelajahan pertama pasti di Nyah Lasem. Menikmati rumah besar bertiang kayu jati utuh dengan arsitektur tionghoa yang dibangun sekitar tahun 1800 dan masih banyak yang utuh kayunya juga sangat kokoh. 


Angan saya melayang ke masa lalu. Lasem, wilayah Rembang,  dekat dengan Blora, yang terkenal dengan jati-jatinya. Melihat ukuran pilar-pilar yang besar, entah berapa besar dan tua pohonnya. Teman kami bercerita jika orang-orang Kalang lah yang mengurus perkayuannya. Orang kalang yang dimaksud adalah tukang kayu terkenal di Blora, Pati, Rembang, dan sekitarnya. Konon katanya, mereka berasal dari India.

struktur kuda-kuda pakai kayu jati dan masih utuh


Saya buta arsitektur apalagi arsitektur Tionghoa. Melihat bangunan seperti rumah-rumah lama di drama China saya pikir dulu Klenteng semua. Parah banget ya? Mendengarkan teman kami bercerita tentang detail Nyah Lasem seakan mendapat pengetahuan baru tentang kehidupan orang Tionghoa masa lalu. Menarik sekali. 


Apalagi cerita yang kami dengar tak hanya tentang budaya masa lalu tapi juga pesan-pesan penting tentang pelestarian cagar budaya. Selain menjadi teman jalan, kebetulan pula teman kami ini aktif di Pusaka Lasem, sebuah komunitas yang banyak terlibat pada upaya pelestarian bangunan-bangunan cagar budaya di Lasem. Obrolan pun mengalir kemana-mana sampai malam hari. Tak Harus pindah tempat karena kami menginap di sini juga. Guest house sederhana yang nyaman. 


Aro kadang bergabung dalam obrolan, kadang sibuk sendiri entah dengan apa atau juga memilih ngobrol dengan teman yang lain. Bukan sebuah kewajiban untuknya ikut mendengarkan dengan tekun. Kalau dia tertarik dan ingin tahu, maka dia akan bergabung tanpa diminta. 


Lha ? Tidak akan banyak yang dia dapat dong ? Bisa ya, bisa juga tidak. Mungkin ia belajar dari apa yang lihat atau dengar. Atau ia belajar dari kenangan yang sedang kami ciptakan sebagai sebuah keluarga. 

bacaan selama di Lasem



Untuk Aro, dia tak ada ekspektasi apapun. “Lasem itu apanya mesem (senyum)?” tanyanya. Kami pun bilang sambil menunjuk peta bahwa Lasem itu di Jawa Tengah, masuk Rembang. Dekat rumah Dhe Sukinah. Aro hanya mengangguk saja. Dia ikut bergembira dengan perjalanan bertiga. Yang penting bersama ayah ibunya. Soal dapat atau belajar apa di Lasem, saya yakin banyak hal yang membuka wawasannya. Terlihat dari obrolan dan pertanyaan yang kadang terlontar dan kediamannya mengamati sesuatu. 


Bagi saya, proses belajar dan hasil yang dipelajari itu tergantung dari pembelajar sendiri. Bukan dari luar seperti ortu atau guru. Saya bisa saja memintanya mendengarkan baik-baik, namun siapa yang tahu seberapa banyak hal yang ditangkap dan diprosesnya ? 


kenangan indah di Lasem versi Aro. Makanan😍


Lasem sendiri dikenal sebagai Tiongkok Kecil. Bukan nama merek dagang lho ya, namun memang itu julukan untuk kota ini. Mungkin karena banyaknya hunian bergaya tiongkok lama yang bertahan. Mengingat tempatnya di wilayah pesisir dan banyaknya kapal berlabuh di masa lalu, Lasem adalah pusat perdangangan sekaligus bertemunya banyak budaya pada masa lalu. 


Kami sempat ke beberapa tempat. Salah satunya ke Dasun. Desa yang diceritakan Pramoedya dalam Arus Balik sebagai desa tempat pembuatan kapal pada masa kerajaan Majapahit. Desa di tepi laut dengan sungainya untuk kapal-kapal kecil mengangkut muatan dari kapal besar yang berlabuh untuk dibongkar di gudang-gudang sepanjang tepi sungai. Meski Hanya tinggal sedikit pembuat kapal di sini, namun kekhasan desa tepi lautnya masih kental. Kami sempat mampir ke pantainya. Melihat pertemuan Sungai Dasun dengan laut lepas. Melihat kapal-kapal nelayan yang hilir mudik dan orang-orang yang naik konblok untuk memancing. 


Kerasan. Bisa duduk berjam-jam di sana. Obi ngobrol dengan beberapa temannya. Saya dan Aro memilih menjelajahi pantai. Dengan meniti sebatang kayu yang disandarkan, Aro mencoba naik di konblok pemecah gelombang. Melawan ketakutan yang berujung pada ketakjuban. Kami bisa melihat laut lepas dan cakrawala di kejauhan dengan perahu hilir mudik yang sangat mempesona.


Sayang, laut luas membawa sampah dari mana-mana. Air sungai yang ke laut pun membawa sampah beraneka macam. Sampah manusia pastinya. Gerakan bersih-bersih pantai sering dilakukan, namun kalau masih banyak yang membuang sampah ke sungai, kerja-kerja semacam ini seakan tak ada jejaknya.



Menuju muara Sungai Dasun


Di Dasun, kami sempat mampir di warung apung. Rumah makan yang dikelola oleh BUMDES Dasun. Kebetulan sedang sepi karena bukan hari libur dan tak ada perayaan. Ingin mencicipi bandeng kelo mrico yang terkenal. Sayang, menu ini ternyata harus dipesan sehari sebelumnya, tak tersedia setiap saat. Namun, ternyata menu-menu bandeng yang lain tak kalah sedap. Bila sebelumnya saya hanya tahu bandeng presto dan digoreng saja, di sini saya merasakan sedapnya bandeng bakar. Ikan bandeng memang gurih tapi durinya banyak dan lembut. Itu mengapa saya kurang suka. Tapi, bandeng bakar ini sedap sekali. Kalian wajib mencoba bila sedang di sekitar Lasem. Warung Apung Dasun.


Kemana lagi ya? Ke Lasem tidak afdol kalau tidak mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sana. Tempat pertama yang kami datangi adalah Klenteng Tjoe An Kiong.

2 Komentar