"Begitu saja nggak bisa ? Zaman bunda/ayah dulu lebih sulit!"

"Kamu menghitung gini saja salah. Lihat itu si A usia 9 tahun sudah menang olimpiade matematika!”

"Jangan harap bisa bebas bermain jika permainan musikmu belum bagus!"

"Dia memang bodoh, tak seperti kakaknya yang bisa masuk perguruan tinggi ternama."

"Hai, Ndut! Kok kurusan sekarang?"


Akrab dengan ungkapan-ungkapan ini dari ortu? Mungkin tak sama persis namun pesannya mirip: membandingkan, mengkritik, mengancam atau pun mengolok. Kalimat-kalimat yang sering dianggap biasa saja oleh ortu. Meski terdengar menyakitkan bagi sebagian anak, namun banyak orang tua percaya bahwa cara ini efektif untuk memotivasi anak-anak. 


Keyakinan ini juga yang diamini oleh Amy Chua. Ia berpikir untuk membuat kedua anaknya, Sophia dan Lulu, mahir bermain piano dan biola sampai menjadi yang terbaik, Chua harus melakukan banyak hal yang mungkin di mata sebagian orang ekstrem. Misalnya saja mewajibkan mereka latihan 6 sampai 8 jam sehari di luar jam les musik. Latihan setiap hari jadi rutinitas yang tak boleh dilewatkan termasuk di akhir pekan atau bahkan pada hari ulang tahun mereka apalagi hanya sekedar liburan. Dasyat sekali.


Apakah Sophia dan Lulu tidak protes atau minimal mengeluh ? Tentu saja mereka marah, mengeluh dan berontak. Terutama Lulu, anak kedua yang memiliki karakter lebih keras dan terbuka daripada kakaknya. Setiap hari selalu saja ada ketegangan dan teriakan. Chua menggambarkan bahwa hampir setiap hari rumahnya sebagai medan pertempuran. Siapa yang bertempur ? Ya pasti Chua dengan kedua anaknya. Setiap penolakan, menjadi satu kesempatan untuk semakin keras dalam mendidik mereka.


Chua begitu teguh dengan prinsipnya. Baginya, tidak ada rumus paten seseorang menjadi mahir dan unggul dalam satu bidang tanpa kerja keras, latihan bersungguh-sungguh dan tekun.Tidak ada contoh dimanapun anak manja yang menye-menye dan tak bekerja keras akan sukses dalam hidupnya. 


Dia tidak ambil pusing dengan protes dari anak dan suaminya atau pun gunjingan orang di belakangnya karena pada kenyataannya, baik Sophia maupun Lulu adalah anak-anak yang sopan dan berprestasi, baik dalam bidang akademik maupun bermain musik. Belum genap 10 tahun, mereka berdua sudah memenangkan kompetisi di wilayahnya dan tampil solo di sebuah konser.


Chua dengan gampang mengungkapkan ketidaksepakatannya dengan pola asuh ala Barat (baca : Amerika) yang condong pada kondisi psikologi anak sehingga sering kali terlihat tak tegas dalam bersikap. Kekhawatiran mereka itu tidak beralasan menurut Chua. Hal berbeda dengan pola pengasuhan ala China yang lebih tegas dan keras. Fokus pada hasil akhir. 


Sebagai contoh, orang tua China tidak akan menerima nilai A minus dari anak mereka. Harus A atau A plus. Drilling akademik lebih banyak sepuluh kali di luar jam sekolah adalah satu hal biasa bagi mereka. Di saat ortu barat memilih melakukan olahraga bersama, ortu China tetap memilih anak mereka belajar dan belajar apalagi kalau nilai sekolahnya buruk. Tidak ada waktu berleha-leha hang out bersama teman atau bahkan melakukan hobby 'tak berguna'. Mengatakan anaknya bodoh atau sampah sekalipun dianggap biasa saja. 


Chua sangat jelas dengan perannya sebagai orang tua. Mengantarkan anaknya menuju kesuksesan, bukan untuk 'menyenangkan' mereka. Cadas.

7 ciri tiger mom


Pandangan Chua jelas subyektif. Ia pun menyadari ketika mengatakan a la barat atau a la China, tidak mewakili keseluruhan ortu di barat maupun di China. Ia mengatakan itu lebih untuk mempermudah dalam membuat perbandingan saja. 


Siapakah Amy Chua yang terlihat 'keras' ini ?


Amy Chua adalah penulis  buku 'Battle Hymn of the Tiger Mother'. Buku ini cukup fenomenal di awal-awal kemunculannya pada tahun 2011. Beragam reaksi bermunculan. Dari mulai yang sepakat, netral, tak setuju sampai menentang dengan isi bukunya.


'Battle Hymn of the Tiger Mother' sendiri bercerita tentang kehidupan Amy Chua dalam mendidik 2 anak perempuannya. Bagaimana mereka menjalani keseharian dan kerja keras yang dilakukan. Chua mengistilahkan diri sebagai Tiger Mom. Ibu yang bisa sangat berkorban dan melakukan apa saja untuk kesuksesan anak-anaknya sekaligus menuntut hasil terbaik dari mereka.


Chua “mewarisi” tradisi pengasuhan ini dari orang tua, terutama ibunya. Sebagai keluarga imigran, mereka bekerja sangat keras untuk mendapatkan status yang lebih baik. Ayahnya mendapatkan beasiswa Ph.D. kemudian  menjadi asisten dosen di sebuah kampus di Indiana. Sebagai anak pertama dari keluarga imigran, Chua pun dididik cukup keras oleh ibunya. A la ibu-ibu China pastinya. Dia pun akhirnya memilih mendidik dengan cara yang sama. 


Kini Chua menjadi pengajar di kampus bergengsi, Yale University. Menikah dengan orang Amerika keturunan Yahudi yang juga mengajar sekaligus temannya, membuat kedua anaknya berkesempatan untuk mempelajari dua kebudayaan yang berbeda ; Yahudi dan China. Tetapi, dalam kesehariannya Chua lebih menekankan ajaran China di rumahnya. Meski sebenarnya bahasa ibunya Hokian. Dia berkeras anaknya bisa berbahasa Mandarin sampai rela membayar seorang pengasuh yang khusus berbahasa Mandarin di rumah. 


Ini hanya satu contoh kecil bagaimana begitu seriusnya ibu-ibu China mengupayakan anaknya sukses. Chua menggambarkan bagaimana mereka bisa sangat berkorban untuk apa saja demi pendidikan anaknya. Makan seadanya, tidak berlibur yang banyak menghabiskan dana, atau juga belanja hal-hal yang tidak perlu (bahkan nyalon), hanya untuk anak-anak mereka mendapat pendidikan terbaik atau juga guru les terbaik atau bahkan alat musik terbaik. 


Sejalan dengan pengorbanannya, mereka pun menuntut kepatuhan dan keberhasilan seratus persen di hampir semua hal. Kegagalan atau niai rendah tak bisa diterima dengan alasan apapun. 


Gaya yang tegas dan kaku serta tak menerima bantahan diterapkan oleh Chua dengan standar tinggi. Hal ini bukan tanpa tantangan, baik dari anak-anak maupun suaminya. Ia menggambarkan suasana rumah setiap hari seperti medan pertempuran. Banyak perdebatan dan ketidaksetujuan bahkan pembangkangan.


Terlepas dari pro kontranya, Chua membuktikan bagaimana kedua anaknya menjadi mahir dan memenangkan beberapa kompetisi musik di usia mereka yang masih tergolong muda. Di sekolah pun, secara akademik mereka unggul dari anak lainnya. Mereka pun berhasil masuk kampus bergengsi di Amerika.


Anda boleh setuju, tidak setuju atau di tengah-tengah dengan cara pengasuhan seperti Chua ini.

Namun pengalaman Chua ini menarik untuk dibaca. Banyak hal sebenarnya akrab pula pada pola pengasuhan di lingkungan kita yang bisa disejajarkan dengan apa yang dilakukan Chua. Namun pertanyaanya apakah model parenting a la tiger mom ini adalah jalan yang terbaik?

0 Komentar