Masih di Lasem. Setelah istirahat dan menjelajah Museum Nyah Lasem, esok harinya kami pun mengunjungi bangunan-bangunan lama yang indah lainnya. Tujuan pertama adalah Klenteng Tjoe An Kiong. Harus menembus jalan Daendels yang penuh dengan truk besar sebelum membelok ke Jalan Dasun menuju Desa Soditan. 


Klenteng Tjoe An Kiong berada di salah satu sisi aliran Sungai Dasun. Warna merah dan pink langsung memerangkap mata sejak kami memasuki pelataran klenteng yang luas. Warna khas dan dominan. Kami tak langsung masuk. Untuk beberapa saat mengaguminya dari luar. Memasukkan ke dalam ingatan akan wujud keseluruhan klenteng sebelum kemudian mengitari bangunannya sambil memperhatikan detail-detail gambar yang ada di sisi luar sambil mendengarkan cerita teman kami  (untuk selanjutnya saya tulis Pe). 


Klenteng ini benar-benar mengagumkan. Bangunan yang dibangun sekitar abad 16 masih kokoh. Dua pilar besar dari kayu jati - konon pilar ini usianya sama dengan usia klenteng dan belum pernah diganti - , semakin menguatkan bayangan akan lebatnya hutan jati di sekitar daerah ini pada masa lampau. Lebat dan besar-besar. Membayangkan pasti banyak sekali burung di dalamnya. 


Obi sempat bercerita bahwa di hutan jati yang masih tersisa saat ini, pernah ada warga yang menemukan burung merak. Cerita singkat yang membuat saya mengingat puluhan tahun dulu. Melihat merak pertama kali di kebun binatang. Yang tertanam di benak saya, merak berasal dari kebun bintang. Tak terbetik ide burung merak dari hutan sebab wajah hutan sendiri pun tak pernah saya tahu ketika kecil. 

Klenteng Tjoe An Kiong


Selain sebagai klenteng tertua, Tjoe An Kiong juga ukurannya termasuk besar. Menariknya, kelenteng ini menjadi tempat pemujaan untuk tiga agama: Buddha, Tao, dan Khonghucu. Ada meja-meja doa dengan kepercayaan masing-masing. 


Di dua dinding sisi depan, terdapat cerita bergambar yang indah sekali. Meski warnanya mulai memudar, namun keahlian juru gambarnya benar-benar luar biasa. Diambil dari cerita The Creations of the Gods karya Xu Zhonglin di abad 16, sama seperti masa tahun klenteng ini berdiri. 

gambar di dinding klenteng


Perhatian saya sebagian besar tertuju pada bangunan klenteng, namun diam-diam juga mengamati reaksi Aro. berada di tempat sembahyang umat agama lain bukan hal baru baginya. Walau begitu, kami pun merasa masih perlu mengingatkan  untuk sopan berperilaku dan menghargai hal-hal yang berbeda. Memaparkan hal-hal berbeda menurut kami sangat penting, termasuk dalam keyakinan. Menjadi bahan obrolan berkali-kali di saat-saat tak terduga juga. 


Pe bercerita banyak tentang detil ukuran, makna bangunan dan ornamen dari kelenteng. Ia pun bercerita tentang dewa-dewa yang ada. Saya tak terlalu ingat nama-nama dewa yang ia sebutkan. Susah mengingat nama-nama Tionghoa. 


Satu yang saya ingat adalah Dewi Kwan Im. Mengapa? Karena sebagai penggemar Kho ping Hoo, nama dewi ini tak asing lagi. Apalagi ada masa di masa saya sangat senang dengan drama China yang bercerita tentang perjalanan seorang biksu ke barat untuk mencari kitab suci. Masa lalu berkelindan dari mana-mana.


Klenteng Tjoe An Kiong adalah kelenteng pemujaan bagi dewi pelindung mereka, Mak Co atau Ma Zu (Tian Shang Sheng Mu). Dewi laut ini dipercaya sebagai penolong para pelaut serta pelindung etnis China di wilayah Selatan dan imigran di Asia Tenggara. Pemuja Tian Shang Sheng Mu terutama berkembang pada wilayah pesisir pantai dimana warganya bergantung dengan aktivitas kelautan. Saya mendapat informasi ini dari Pe dan wikipedia. Menarik mengetahui bagaimana di banyak tempat, orang memiliki dewi-dewi pelindungnya. Seperti Dewi Sri sebagai pelindung petani di Jawa, Hera atau Artemis di Yunani,  Saraswati di India.

keindahan kuda-kuda Klenteng Tjoe An Kiong


***

Selesai mengagumi detil bangunan dan cerita kelenteng Tjoe An Kiong, kami pun bergeser. Pe sempat mengatakan kalau kami akan mendatangi bangunan yang dulu diperuntukkan sebagai Vihara namun sekarang sudah tak difungsikan lagi. Berjalan sedikit memutar menuju sebuah bangunan berpagar tembok tinggi dan panjang. 


Saya tak terlalu yakin bangunan apa yang akan kami lihat sebab meski bertembok cukup tinggi, namun pintu masuknya biasa, cenderung sempit dan terkesan usang. Gonggongan anjing terdengar ribut sekali. 


Dua orang kakek sedang asyik berbincang ketika kami masuk. Sambutan ramah mereka membuat kami pun langsung nyaman. Saya tertegun dengan bangunan yang kami masuki. Pintu masuk kecil itu hanya kamuflase ternyata. 


Bangunan dengan halaman cukup luas namun tak terurus. Beberapa  pohon mangga tumbuh besar dengan beberapa dahannya patah. Juga rumput liar cukup tinggi yang seakan menari-nari terkena angin di halaman. Aro sudah sibuk menelusuri tempok tinggi di sisi lain. Obi berbincang dengan dua kakek tadi. Saya baru sadar kalau Pe tak kelihatan. 


Tetiba sebuah pintu besar terbuka. Pe muncul dengan senyum lebarnya. "Yuk, masuk! Penjelajahan yang lain!" Aro bersorak gembira. Segera langkahnya terhenti ketika sampai di ambang pintu. "Waw…jauh sekali pintunya! Nda…lihat!" Aro heboh sendiri sambil menarik tangan saya. 


Dari pintu besar ke pintu utama memang cukup jauh. 15 sampai 20 meter kurang lebih. Seperti juga di Nyah Lasem atau klenteng, kayu jati besar dan utuh tampak menjulang sebagai tiang-tiangnya juga di atap. Konon, rumah ini pernah menjadi lokasi  film syuting Ca Bau Kan.



Rumah besar ini adalah milik sepasang suami istri yang disumbangkan sebagai Vihara Karuna Dharma. Pemilik rumah bernama Ong Kiem Liang. Namun seiring semakin berkurangnya penganut agama Budha, bangunan ini pun tidak digunakan lagi. Peralatan peribadatan masih ada di ruang depan. Di ruang dalam sendiri, ada abu dari sepasang suami istri pemilik rumah dan anaknya. Kami sempat mendoakan sebelum kemudian naik ke lantai dua.


Rasa penasaran untuk ke lantai dua dipicu oleh tangga besi dan kayu yang sempit berdebu di satu sisi dinding. Saat Pe mengajak ke atas, ada kegamangan. Kuat ga ya ? Sempit dan sudah berumur ini tangga.  Diserang perasaan mengko gek gek alias ragu-ragu hahahahaha

tangga menuju terabitia 😍


Namun untung kata 'mengko gek gek' itu hanya sekejap berganti dengan 'mengapa tidak ?’ Pelan dan hati-hati, saya pun menapaki satu per satu anak tangga. Di ujung tangga, tak terasa saya menahan nafas. Tetiba saya merasa menjadi Mei di film My Neigbor Totoro dalam satu scene. Terkejut, senang, dan takjub saat melihat lantai dua di bawah atap rumah lama yang akan ditempatinya. Ajaibnya, saya pun menemukan biji-bijian yang mirip dengan yang ditemukan Mei. Bedanya, tak ada binatang kecil berjelaga yang berjalan sangat cepat.

lantai bawah atap yang luar biasa


Tahukah kalian ? Lantai di bawah atap ini semua kayu jati dan masih kokoh sekali. Sungguh luar biasa. Kejutan yang lain adalah ketika saya menengok keluar melalui salah satu jendela yang ada, terlihat Klenteng Tjoe An Kiong. Bangunan ini ternyata tepat di belakang klenteng meski kami tadi sempat harus jalan memutar cukup jauh menuju ke sini. Mungkin dulu satu komplek, mengitari rumah sembahyang tersebut.



Terpesona yang tak habis-habis. Tak rugi datang ke Lasem. 


Oh ya, di samping klenteng sebenarnya ada Lawang Ombo juga. Kami pun sempat melewatinya. Namun, kami memilih tak kesana. Cerita Lawang Ombo dan opium sebenarnya membuat saya penasaran sebab itu yang diceritakan Dalidjo dalam bukunya. Tetapi, saya tak mau menarik keberuntungan lebih jauh hanya untuk bisa memasuki bangunan-bangunan lama di sini. Cerita Lawang Ombo mungkin menarik buat saya, tetapi kurang cocok untuk Aro. Memilih tidak kesana bukan karena keraguan, namun memang pilihan sadar kami.

***

"Senang melihat bangunannya ?" Pe bertanya ke Aro yang disambut anggukkan antusias. "Mau melihat yang lain lagi ?" 

"Mau!"

"Ok, berangkat!" kata teman kami dengan gaya khasnya.

teras depan Pabrik LZ


Voila, di sini kami akhirnya. Pabrik ubin (tegel) legendaris di Lasem: Pabrik LZ. Pabrik ini berupa rumah besar di pinggir jalan besar yang membelah kota Rembang dan Lasem atau dikenal dengan Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Daendels. Milik seorang Kapiten Cina bernama Lie Thiam Kwie. Dia bukan hanya seorang pengusaha tetapi juga pejabat senior Anggota Perkumpulan Tionghoa Rembang. 



Inisial “LZ” yang melekat pada produk berasal dari mesin pencetak tegel yang didatangkan dari kota Leipzig, Jerman (disini). Konon, pabrik ubin ini adalah yang pertama berdiri, sekitar 1910, dan hasil produksinya dibawa ke banyak tempat di Pulau Jawa untuk menghiasi rumah-rumah mewah para bangsawan, pejabat kolonial, dan orang kaya.


Halaman rumah ini tak terlalu luas. Rumah bergaya Tiongkok bercampur kolonial ini pun terkesan sunyi. Namun, pilar-pilar bulat besar di teras terbuat dari semen dan bukan kayu masih menyisakan kemewahan. Seorang ibu separuh baya datang menyongsong.


Mengunjunginya bersama Pe menjadi satu hal  yang patut disyukuri. Kami bisa masuk alias blusukan ke bangunan-bangunan lama di sini. Melalui pintu samping, sampai pada sisi dalam rumah. Halaman rumahnya memang tak terlalu luas, namun ternyata pekarangan di dalamnya lapang sekali. Ada rumah utama yang besar dengan teras terbuka yang luas. Beberapa kursi dan meja tertata di sana. Ada pula rumah samping yang lebih kecil.

teras belakang pabrik LZ


Pesan yang saya dapat, jangan terkecoh dengan tampilan depan yang kadang biasa atau malah nyaris sederhana sebelum kalian membuka pintunya. 


Saya membayangkan bahwa teras terbuka ini jadi tempat mereka berkumpul, sekedar minum teh atau pun berpesta atau juga transaksi bisnis. Sebab, dari teras terbuka ini kita bisa melihat taman dengan air mancur dan mini teater. Saya bayangkan, begitu banyak pesta dan seniman yang diundang untuk memeriahkan pada masanya dulu.


mini teater pabrik LZ


Kami memasuki ruang produksi. Beberapa mesin pembuat tegel masih terlihat di tempatnya namun banyak yang sudah tak bisa digunakan lagi. Seorang pekerja menceritakan bahwa ubin atau tegel-tegel dengan motif lama sudah tak diproduksi karena kendala mesin yang rusak. Namun kami masih bisa melihat katalog dan mal-nya. Saat ini, mereka hanya memproduksi ubin semen biasa. 


Melihat luasnya area pabrik ini, saya bayangkan di masa kejayaannya pasti sangat ramai. pekerja hilir mudik dengan tugasnya masing-masing. Ada satu wilayah kosong yang cukup luas konon merupakan tempat tinggal pekerjanya. Meskipun tinggal puing dan hanya pohon trembesi besar yang tersisa.

tegel-tegel lama buatan Pabrik LZ


Benar-benar hidden gem kalau anak sekarang bilang. Dari luar tak kentara kalau di dalam begitu luas dan lapang dengan pohon-pohon besar rindang.


Pesona-pesona bangunan lama Tionghoa di Lasem memang menakjubkan. Rasanya seperti tersesat di negeri antah berantah di masa lalu yang jauh sekali. Apalagi untuk Aro. Hah? Abad 18, abad 17 ? Apakah masa dinosaurus ? Hahahaha…waktunya perlu jeda. Memberi kesempatan otak bekerja dan menyerap segala pesona dan pengetahuan yang ada agar tak menguap begitu saja. 


Waktunya berlari ke pantai. Tak afdol juga rasanya ke Lasem tanpa mengunjungi pantai-pantai di sekitarnya.

0 Komentar