Saya jarang tertarik membaca buku-buku psikologi. Bukan apa-apa, dalam pikiran saya buku semacam ini rumit dan tak jarang membosankan.  Namun, kali ini saya berhasil menyelesaikan satu buku psikologi karya Lindsay C. Gibson yang berjudul Adult Children of Emotionally Immature Parents


Tulisan ini menjadi selfreminder  tentang poin-poin penting yang saya baca. Poin-poin penting yang membuka pandangan baru dan menggeser sudut pandang tentang relasi antara orang tua dan anak dewasa (adult children) menjadi catatan tersendiri. Jadi, kalau ada kurang lengkapnya ya ga apa-apa ya, namanya juga bukan resensi 😃


Buku yang merupakan salah satu karya dari Gibson - seorang psikolog profesional dari Amerika -  mengenai orang tua yang tidak dewasa secara emosional atau immature emotionally parent (IEP). Istilah IEP ini kali pertama saya ketahui. Merujuk pada orang tua yang tidak dewasa secara emosi karena masa kecil yang kesepian atau pun kurang mendapat kasih sayang dan perhatian (loneliness) dari orang dewasa.


Jamak anggapan bahwa orang tua lebih dewasa dalam berpikir dan berperilaku karena pengalaman hidup yang dilaluinya. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang tua cukup dewasa secara emosi dan bijaksana. Terutama dalam pengasuhan. Kerap ketidakdewasaaan emosional  membuat para orang tua ini gagap dan tak cukup perhatian kepada anaka-anaknya. 


Meskipun secara karir, banyak orang tua IEP ini sukses dan menduduki jabatan terhormat di masyarakat, namun sebenarnya dalam relasi orang tua dan anak cukup buruk. Mereka tidak bisa membangun kedekatan emosi dengan anak-anaknya.  Hal ini kemudian menjadikan anak-anak tumbuh dengan serangkaian ganjalan emosional ketika sudah dewasa.


Dari pengalaman Gibson dalam mendampingi kliennya, rerata  dari mereka memiliki kepercayaan diri yang rendah, mudah cemas, gampang dimanipulasi, dan kerentanan emosional lainnya. Luka yang tak kasat mata seperti luka fisik namun efeknya bisa fatal jika tidak disadari dan dipulihkan. Kesepian dan sendirian adalah pengalaman personal yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Memerlukan keberanian diri dan kadang profesional untuk membantu anak-anak dari IEP ini mengenali masalah mereka dan mengurainya.


Menurut Gibson, kedekatan emosional merupakan situasi ketika kita memiliki seseorang yang mau mengerti dan memahami kita dalam kondisi apapun, baik sedang sedih, gembira, jatuh, nyungsep, atau sukses. Kita bisa terbuka dan bercerita tentang apa saja tanpa khawatir di-judge macam-macam. Jadi diri sendirilah pokoknya. Adanya kedekatan emosional dan rasa aman inilah yang dibutuhkan anak-anak dari orang tuanya untuk menumbuhkan kedewasaan emosi.


Kedekatan emosional ini bisa terjadi jika orang tua memiliki kedewasaan emosi. Artinya, mereka cukup sensitif, nyaman, dan jujur dengan emosi yang ada sehingga bisa berinteraksi secara menyenangkan dengan orang lain atau anak-anaknya.  Mereka pun bisa mengelola emosi dan tingkat stresnya dengan empati. Kadang, untuk release dan membuat situasi berat menjadi lebih ringan, mereka membuat lelucon dari kondisi yang ada. Bisa dikatakan orang tua yang memiliki kedewasaan emosional ini cukup jernih dan obyektif dalam menanggapi sesuatu. Tak gampang meledak seperti petasan jika ada masalah.


Menyenangkan sekali bila memiliki ortu seperti ini. Harapan semua anak rasa-rasanya.

Sayangnya, tidak semua ortu memiliki kedewasaan emosional. 


Lalu bagaimana caranya mengetahui kalau semasa kecil kita diasuh dan dididik oleh orang tua IEP ini ? Gibson memaparkan beberapa karakteristik yang melekat pada orang tua dengan emosi kekanak-kanakan ini. 





Memiliki orang tua IEP ini membuat kehidupan di masa dewasa seseorang tidaklah mudah. Terutama dalam mengelola emosi dan persepsi tentang diri sendiri.


Sebagai contoh cerita tentang Carlotte, seorang jurnalis profesional, yang mengikuti lomba menulis artikel setelah sebelumnya selalu menolak ikut. Ia beranggapan bahwa tulisannya tak layak untuk kompetisi. Sebuah ironi menyakitkan karena ia adalah seorang jurnalis profesional. Ketika akhirnya tulisannya keluar sebagai pemenang pun, ia merasa gamang. Alih-alih berbagi suka cita, ia mengurung diri di kamar. Kemenangan yang diraih membawanya ke ingatan pada masa kecil dimana ia selalu diremehkan dan dipermalukan orang tuanya setiap akan menunjukkan kemampuannya. Tak ada dukungan sama sekali. Situasi ini pula yang membuatnya berpikir jangan-jangan pada kemenangan ini pun akan muncul seseorang yang mempermalukan dan mempermasalahkan keberhasilannya. 


Cerita tentang Carlotte hanya salah satu dari sekian kasus yang diceritakan Gibson. Masih banyak cerita yang lain dan gambaran sulitnya berinteraksi dengan orang tua IEP ini.


Di buku ini pun juga dibahas tentang tipe-tipe orang tua model IEP ini. Penulis mengklasifikasikannya ke dalam 4 kategori. 


Empat tipe orang tua IEP 


1. Emosional

Model orang tua ini sangat tidak stabil secara emosi. Moody dan seenaknya. Emosi mereka mudah meledak bila keinginannya tidak terpenuhi. Jika diibaratkan sebagai barang, ia seperti barang yang mudah retak yang kardusnya ada gambar gelas retak itu. Berinteraksi dengan mereka seperti berjalan di atas cangkang telur, salah langkah maka hancurlah semua. Dalam menanggapi masalah pun, mereka kerap membesar-besarkannya. Masalah kecil seakan sudah membuat kacau seluruh hidupnya.

2. Selalu Sibuk (driven parents). 

Model orang tua ini tidak bisa duduk tenang. Mereka akan terlihat selalu sibuk dengan aktivitasnya. Sering tergesa-gesa dan tidak tertarik hal-hal selain dirinya sendiri.  Bila melihat sesuatu selalu diukur menurut kaca matanya sendiri dan merasa paling benar dan tahu. Jika ada masalah, merasa bisa mengatasi semuanya meskipun itu hanya kadang pura-pura. Tidak menenggang keunikan dan keistimewaan anak. Mereka beranggapan bahwa jalan hidup anaknya ditentukan oleh mereka sebab merasa lebih tahu dan cukup banyak makan asam garam kehidupan daripada anak-anaknya aka lahir duluan. Bila sedang bersama, anak-anak sering cemas, takut memiliki kesalahan karena selalu dievaluasi bila berhadapan dengan orang tua seperti ini.Setiap hari siap menerima ungkapan bernada koreksi alih-alih apresiasi.

3. Pasif

Orang tua model ini biasanya menyenangkan dan easy going. Paling oke daripada jenis IEP lainnya. Mereka pun mau ngobrol dan mendengarkan curhatan anaknya. Sekilas tak ada masalah dan baik-baik saja dalam berelasi. Hanya, jika sudah berkaitan dengan masalah yang rumit dan kompleks, mereka akan menarik diri dan tidak ikut campur. Mereka cenderung membiarkan anak-anaknya menyelesaikan sendiri masalahnya tanpa bimbingan dan pendampingan. Termasuk ketika anak-anaknya benar-benar membutuhkan bantuan. Sak isa-isane, sak urip-uripe, mungkin ungkapan ini yang tepat untuk menggambarkan orang tua model ini. Anak-anaknya pun menjadi percaya bahwa orang tuanya bukan orang yang bisa diandalkan jika mereka ada masalah. 

4. The Rejecting Parent 

Orang tua model ini senang membuat jarak dengan anak-anaknya. Seperti membangun semacam tembok untuk melingkupinya. Mereka sangat nyaman jika melakukan kegiatan tanpa gangguan dari anak-anaknya. Tidak suka berinteraksi yang berbau-bau emosional dan kedekatan yang hangat. Tidak senang kontak mata dan sering memasang muka datar tak terbaca. Mereka pun memperlakukan dirinya sebagai aturan di rumahnya. Mirip Louis XIV dengan jargon terkenalnya ; negara adalah saya. Semua harus menuruti apa yang dikatakan. Tak ada yang boleh membuatnya kesal dan marah. Kesalahan yang terjadi dalam pendangan mereka adalah hal yang layak mendapat hukuman.

***

Sebenarnya saya merasa agak pahit saat membaca buku ini. Terutama ketika ada kisah klien penulis yang cukup familiar atau malah pernah saya alami di kehidupan nyata berkenaan dengan model orang tua IEP. Harus jeda membaca dan perlu menarik nafas beberapa kali. 


Pengalaman saya, perlu ngobrol dengan orang terdekat juga. Berat kalau ditanggung sendirian, bisa oleng. Jujur dengan diri sendiri, mengingat masa kecil dengan pola pengasuhan ortu kita, dan melihat kenyataan yang ada  itu tidak mudah. Ada sisi-sisi emosional yang terpantik. Tidak melulu membahagiakan, seringnya situasi abu-abu atau malah kemarahan bercampur kesedihan. Campur aduk.


Walah…masak membaca buku sampai segitunya ? Iya. Ternyata yang bisa membuat termehek-mehek itu ga selalu buku sastra berakhir tragis. 


Untung di awal-awal, penulis bukunya sudah menyarankan  untuk pembaca memberi waktu  diri sendiri  merasakan emosi-emosi yang muncul karena kesadaran baru jika telah diasuh oleh orang tua IEP ini. Emosi apapun, ga melulu yang positif, yang negatif juga. Semua emosi diberi ruang sebab tak ada emosi yang baik atau buruk. Semacam memberi ruang untuk berdialog dengan diri sendiri alias kontlempasi mungkin ya. 


Kesepian dan perasaan kurang mendapat perhatian akibat dari pengasuhan  IEP ini  pun membuat kebanyakan dari anak-anak mengupayakan menambalnya. Banyak dari mereka melakukan hal-hal yang kadang tak mengindahkan dirinya sendiri hanya sekedar untuk bisa dilihat dan diperhatikan. kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian. Tak jarang mereka pun mengubah hal-hal di dirinya untuk sesuai dan seperti keinginan orang tuanya. Mereka tak menjadi dirinya sendiri.  


Mereka pun memunculkan semacam khayalan akan sebuah kondisi yang diinginkan akan terwujud suatu saat berkaitan dengan relasinya dengan orang tua. Happily ever after. Khayalan yang biasanya diawali dengan kata ; Seandainya suatu saat nanti…  Padahal pada kenyataannya, hal itu tak pernah terjadi.  Penulis mengistilahkannya sebagai healing fantasy. Untuk jangka pendek bisa jadi membantu namun akan menimbulkan ketidakpuasan dan keresahan yang lain pada jangka panjanga


Jika membacanya tak tuntas, buku ini seakan isinya hanya menjelek-jelekkan orang tua. Ghibah. Mungkin ada yang berpendapat tak pantas, toh orang tua sudah bersusah payah merawat dan membesarkan anaknya kok ya masih dikritisi bukannya malah berterima kasih.  


Namun jika membacanya sampai tuntas,pemahaman yang muncul akan berbeda. Alih-alih menjudge atau menghakimi IEP, buku ini mengajak pembacanya untuk bisa lebih jernih dan objektif dalam menilai mereka. Bagaimana bersikap dan berinteraksi  tanpa berharap bisa mengubah sifat-sifatnya. Bisa berelasi dengan orang tua dan tetap menjadi diri sendiri dengan menyadari akan batasan-batasan yang bisa menghindarkan dari konflik  dengan mereka sekaligus pula memberi perhatian untuk kesehatan mental kita. 


Buku bagus. Banyak hal yang bisa direnungkan dan dipraktikkan. Saya garis bawahi lagi bahwa penting untuk membaca tuntas, tidak satu atau bahkan setengah bab lalu kita mengambil kesimpulan. Itu namanya sesat pikir hehehe. Meski memang ada beberapa perbedaan pandangan karena budaya dan situasi yang tak sama di masing-masing keluarga namun tak mengaburkan manfaatnya. Worth it  membacanya.


Ada buku lanjutan karya penulis yang sama. Recovering from Emotionally Immature Parents : Practical Tools to Establish Boundaries and Reclaim Your Emotional Autonomy.

0 Komentar