"Nda, ada yang aneh di youtube sekarang", kata Aro suatu hari. 

"Aneh ?" sudah was-was saja bawaan saya. Khawatir dia melihat yang 'tidak-tidak' meski sudah diatur ke mode ramah anak.

"Ya. Sekarang setiap aku nonton youtube, tak ada iklan."

"Ah…"  spontan kelegaan muncul.  "Karena kita sekarang pakai yang berbayar, jadi tidak muncul iklan."


Pertanyaan mengapa dari Aro membuat kami pun ngobrol.


Saya, generasi yang sudah dijejali iklan tv sejak tahun 90-an ini, merasa empet banget dengan iklan terutama jika sedang mengakses youtube dan dijeda dengan orang joget-joget  menawarkan gratis ongkir. Obi - ayahnya Aro - pun berpendapat sama. 


Situasi yang membuat keputusan memakai youtube berbayar pun semakin bulat.


Namun,  reaksi berbeda ternyata muncul di Aro. Dia merasa keberatan dengan hilangnya iklan ini.  


"Memangnya kenapa kalau ada iklan ? Seru dan banyak yang lucu-lucu meski kadang ada yang agak aneh juga."


Mendengar pendapat Aro ini membuat saya mengingat-ingat kembali kenangan perjumpaan dengan iklan di televisi sekian puluh tahu silam.


Gambaran seorang gadis penjaga pintu tol dengan senyum manisnya menawarkan permen vitamin atau juga paha ayam goreng yang baru diangkat dari wajan terlihat enak dan sedap sekali. 


Ingatan yang masih kuat dan tak perlu usaha keras untuk hanya sekedar memunculkannya kembali. Mengapa ? Mungkin karena sangat mempesona. Sebuah terobosan teknologi televisi berwarna dengan iklannya.


Seiring berjalannya waktu, iklan pun semakin masif. Ada dimana-mana. Iklan di televisi pun semakin banyak, apalagi di saat-saat prime time atau acara yang banyak ditonton. Baru sepuluh menit, penonton 'dipaksa' melihat berbagai macam iklan yang durasinya lebih lama dari acara intinya. 


Gempuran iklan ini yang kemudian membuat muak ketika beranjak dewasa. Saya merasa nyaris tak diberi ruang untuk berpikir apakah sesuatu itu perlu atau tidak. Iklan masuk di banyak ruang kehidupan. Tidak mempesona lagi, cenderung mengganggu.  


Pengalaman yang jelas berbeda dengan Aro sekarang. Mungkin ia mengalami masa-masa terpukau dengan iklan seperti saya pertama kali melihatnya dulu. 


Meskipun ortunya, saya tak bisa mengatakan dengan semena-mena kalau iklan itu buruk, hanya rayuan untuk kita tertarik membeli sebuah produk atau sejenisnya. 


Menjadi orang tua menuntun saya belajar kembali tentang rasa ingin tahu. Melatih diri untuk bertanya dan tidak pasrah dengan jawaban, 'ya sudah begitu wajarnya '. 


Kepo dalam artian positif bukan peyoratif ya. Saya percaya rasa ingin tahu itu menular. Jika ortunya kepo, besar kemungkinan anaknya pun ikut. Minimal probabilitasnya lebih tinggi daripada ortunya skeptis.


Hal ini juga yang membuat saya pun menggali alasan kegemaran Aro dengan iklan.


Aro mengenal iklan awalnya dari majalah dan brosur-brosur yang sering disangkutkan ke pagar. Dari selebaran warna-warni dengan gambar mencolok sampai selebaran yang penuh dengan tulisan besar-besar dan sederet angka. Meski dia belum bisa membaca, namun selebaran itu menarik perhatiannya. Kemana saja setiap ada yang menawari brosur, dia minta saya selalu menerimanya. 



brosur museum

Ketika bisa membaca dan berkenalan dengan majalah Bobo edisi lama, dia menemukan iklan-iklan itu wujudnya semakin beragam. Aro menyukai iklan-iklan dengan cerita bergambar. Kami pun akhirnya mencari majalah anak-anak edisi lawas yang ada cerita iklan bergambarnya. 

iklan dalam cerita

Pembuat iklan memang orang-orang kreatif dengan limpahan ide-ide kerennya.


Dari iklan di brosur lalu majalah, Aro menyukai iklan dalam bentuk video. Saya pun akhirnya mengenalkan iklan-iklan menarik. Kebanyakan dari Thailand. Nonton youtube untuk nonton iklan. 


Boleh ? Buat apa ? Apa yang bisa dipeleajari ? Ga takut malah minta ini itu ?


Mungkin terselip pertanyaan-pertanyaan. Saya mengijinkan Aro nonton iklan untuk dia memenuhi rasa ingin tahunya. Soal apa yang bisa dipelajari atau pemahamannya soal iklan, sejujurnya saya tidak tahu. Saya hanya menyediakan diri jika ada pertanyaan terlontar. Tentang kekhawatiran dia akan minta dibelikan ini itu seperti iklan yang ditonton sepertinya tidak terjadi. Kadang kita tidak tahu bila belum mencoba, yang sering menghalangi adalah asumsi dan kekhawatiran sendiri.


Kalau dipikir-pikir, geli juga. Saya dan Obi generasi yang empet iklan dan Aro yang sedang gandrung nonton iklan.


Bagaimana pun, anak adalah seorang pribadi. Mereka punya pemikiran dan keinginan serta kegemaran yang bisa jadi tak sama dengan ortunya.

0 Komentar