Menjadi homeschooler berarti harus siap menjadi perintis. Pernah dengar ungkapan ini ?


Saya pernah. Ungkapan yang saya dengar dari founder rumah inspirasi, Aar Sumardiono, saat saya mengikuti webinar tentang sekolah rumah (homeschooling).  


Waktu itu saya hanya mengangguk-angguk saja. Mengiyakan tanpa benar-benar memahami maksud sebenarnya.


Benar memang saya menjadi satu-satunya di keluarga yang tidak menyekolahkan anak. Namun hal tersebut tidak membuat gelisah sebab semua berjalan lancar-lancar saja. Tidak ada yang mempersoalkan. Kakek nenek Aro pun setuju-setuju saja meski mereka dulu guru. Kalaupun ada pertanyaan, lebih kepada hal-hal umum saja. Tak ada yang memandang aneh atau pun menyanggah pilihan kami.


Dalam keseharian, saya pun memiliki teman-teman baik di komunitas yang sama-sama tidak mengirim anaknya ke sekolah. Secara berkala, kami berkegiatan bersama (baca : playdate) sambil ngemil saling bertukar pikiran dan gagasan. Bercerita tentang hal-hal dari yang remeh-temeh sampai mendekati serius, dari yang menyedihkan sampai menyenangkan dan membuat deg-degan. Keakraban yang membuat kami pun berani merintis kepanduan untuk wadah anak-anak memperluas pengalaman. 


Saat itu kami tinggal di Depok. Hampir enam tahun tinggal di kota ini, menjadi perintis atau memiliki mental perintis nyaris tidak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara maksimal sebab semua terlihat menyenangkan dan lancar-lancar saja. Banyak teman untuk bisa saling mendukung. Banyak ide yang bisa diwujudkan bersama. Tidak mengirim anak ke sekolah itu okeh koncone. Not alone


Saya seperti berada dalam 'zona nyaman homeschooler'. Situasi berbahaya sebenarnya karena bisa menjadi jebakan untuk perjalanan pendidikan keluarga kami. 


Namun, hidup memang penuh kejutan. Tidak melulu lancar dan lempeng saja.


Ketika telah ada di zona nyaman, kami harus pindah ke kota lain. Sebenarnya isu ini sudah cukup lama namun hari H-nya dipercepat beberapa bulan. Kepindahan mendadak tanpa sempat pamit kepada teman-teman komunitas atau pun teman di kompleks perumahan.


Satu kondisi yang tak mudah baik bagi kami -ortu- maupun Aro. 


Menjadi  homeschooler itu berarti siap menjadi perintis. Ungkapan ini kembali tergiang-ngiang tatkala kami pindah tempat tinggal. 


Tidak ada komunitas homeschooler di lingkungan baru kami. Semua anak bersekolah. Ketika mengetahui kalau kami tidak menyekolahkan  anak, banyak pertanyaan bermunculan dari tetangga baik orang dewasa maupun anak-anak. Tidak bersekolah masih suatu hal yang aneh dan tidak umum, bisa dikatakan sebagai trend artis atau 'milik'  orang-orang Jabodetabek. 


Mental perintis benar-benar harus dimiliki, tidak hanya untuk orang tua, namun juga anak. Bagaimana pun, anak-anak pasti merasakan dan juga tak luput dari pertanyaan semacam ini. 


Gambaran rerata orang ; Tidak bersekolah maka tak punya masa depan. Tak bersekolah tak punya cita-cita. Tak bersekolah berarti tak belajar. Tak bersekolah berarti tak punya tata krama (ingat ungkapan ; dasar ga pernah makan bangku sekolah, makanya blablabla)


Bisa dibayangkan seajaib apa pertanyaan yang terlontar. Kalau dari sisi kami, sebagai orang dewasa bisa memilih santai. Tetapi situasi kadang berbeda pada anak (Aro). Perasaan tak nyaman sering muncul.


"Bosan ditanya-tanya terus!"


Ngobrol adalah salah satu hal yang sering kami lakukan. Kami cukup memahami kegalauan juga kesedihan Aro. Bukan hal yang mudah meninggalkan tempat dimana banyak teman-teman akrabnya tinggal dan memulai pergaulan dengan anak baru yang dia masih asing karakteristiknya.


Meski isu berpindah tempat tinggal ini sudah cukup lama dibicarakan. Film-film tentang berpindah tempat tinggal dan fighting dengan lingkungan baru pun kami tonton bersama. Katakanlah Petualangan Sherina, Inside Out, Harry Potter, atau juga Zootopia dan Lion King. Atau juga buku petualangan Azalea yang berpindah-pindah tempat karena pekerjaan ayahnya. 


Cukupkah bekal perasaan untuk pindah ? Tentu tidak hahahaha. 


Kehidupan nyata lebih rumit atau kadang lebih sederhana dari film atau buku. Bahkan tak jarang biasa saja. Bedanya adalah bahwa kehidupan nyata itu membuat deg-degan. Ceritanya tak kelihatan endingnya. Berbeda dengan film atau buku. 


Bagi kami, itulah menariknya. Hidup yang tak habis untuk dijalani, dipelajari, ditangisi, ditertawakan, atau juga (mungkin) direfleksikan. To be continued terus selama hayat masih dikandung badan.



Menjaga semangat untuk menjalani sebuah pilihan memang tak mudah.

0 Komentar