"Bagaimana kalau kita makan sayuran yang Bunda tanam saja ?" Usulan Aro membuat saya terperanjat. 


"Kamu serius?" Aro mengangguk sambil berjalan  ke tembok samping rumah. Tak lupa ia membawa gunting dan baskom untuk tempat sayur.


Perjalanan usia delapan tahun yang penuh kejutan. Seperti idenya hari ini untuk mulai memakan sayur yang saya tanam. Mungkin ini biasa bagi keluarga yang lain, tapi bagi saya ini kabar yang "wow" karena  Aro sangat susah makan sayur. Hanya ada beberapa jenis sayur saja yang ia makan, itu pun tidak lebih dari lima jenis. Meski masih bertanya-tanya, saya ikuti kemauannya, memetik sayur yang rencananyaa akan dijadikan  salad.


Beberapa saat lalu, saya memutuskan menanam sayuran organik di tembok samping rumah. Sayuran seperti kale, selada, dan sawi warna-warni (swiss chard) jadi beberapa tanaman yang menyembul diantara pot dan planter di samping dan depan rumah. Keinginan yang sudah lama namun baru benar-benar terlaksana beberapa bulan ini. Sumbu oleh tutup, kata pepatah Jawa.


Awalnya saya tertarik menanam sayuran dengan sistem hidroponik. Persiapan lahir batin pun sudah saya lakukan. Mulai dari melihat video cara tanam a la hidroponik, ikut beberapa group WA sampai menghitung berapa dana yang harus disiapkan.  Setiap kali melihat youtube atau media sosial, perhatian saya selalu tertambat pada hidroponik dan hidroponik. Senang dengan sayuran yang bersih dan rasa yang sepertinya lebih ringan ini. Nyess nyesss kresss...rasanya.


Tetapi apa yang terjadi di kehidupan nyata lain adanya. Keinginan menanam sayur secara hidroponik wurung  ketika satu buku menakjubkan datang ke tangan saya : Revolusi Sebatang Jerami. 


Buku dengan sampul hijau dan tidak terlalu tebal ini bercerita tentang seorang petani Jepang yang mendedikasikan diri bertani secara alami :  Masanobu Fukuoka. Buku memukau ini disusun oleh Larry Korn dengan penterjemah Soedarwono Hardjosoediro.


Buku ini tidak saja menarik namun mampu menggeser pandangan saya. Dari yang semula ngebet bertanam secara hidroponik menjadi bertanam secara alami (bertani alami). Bertani alami menurut Fukuoka ya bertani  sesederhana mungkin dan selaras dengan alam. Pupuk kimia, pestisida-insektisida, atau  pupuk kompos bahkan membajak tanah tidak ada dalam cara Fukuoka bertani. 


Pada saya, makna alami ya sesuai versi dan kondisi dimana saya tinggal. Ada penyesuaian. Tak ingin muluk-muluk dengan tidak membajak sawah, karena saya tidak punya sawah, saya memilih untuk mengkompos terutama sampah dapur dan sesekali memakai bokasi meski tidak mengunakan pupuk kimia atau pestisida. Saya tidak tinggal di pegunungan atau desa dengan tanah luas dimana-mana. Saya tinggal di perumahan padat yang hampir semua tanah telah disemen. (ingat ya, dimana-mana disemen😃)


Memutuskan menjadi petani adalah keputusan berani yang diambil oleh Fukuoka. Hidupnya didedikasikan untuk segala kegiatan bertani setelah ia melepas pekerjaan 'profesionalnya sebagai peneliti'. 


Mengembalikan kesuburan tanah, melestarikan tanaman gandum hitam dan gerst Jepang, dan bahkan memuliakan gulma dengan menunjukkan perannya bagi kehidupan (bukan melulu sebagai perusak dan pembuat galau saja). Jadi ingat slogan di kaos seorang teman, 'Ber(t)ani karena benar'  hahahahaha.


Revolusi Jerami tidak hanya bercerita melulu tentang aktivitas bertani. Pandangan-pandangan Fukuoka tentang hal-hal di luar pertanian yang sangat mempengaruhi petani pun dibahas, seperti perilaku dan cara pandang konsumen (baca : kita) terhadap hasil pertanian. 


Kecenderungan ingin menikmati buah tidak sesuai musim misalnya. Hanya karena ingin menikmati buah 'A' lebih cepat satu dua bulan, para konsumen mau membayar lebih mahal. Hal inilah yang memicu  usaha-usaha tambahan dari petani untuk mengusahakan pohonnya berbuah satu dua bulan lebih cepat di luar musimnya. Aktivitas yang  tidak benar menurut Fukuoka sebab menyalahi ritme alam. Untuk apa dan apa istimewanya makan buah yang masak satu dua bulan lebih awal dan membayar lebih mahal ? 


Hm…Fukuoka memang tidak hidup di 'jaman penuh pencitraan di sosmed'. Pasti worth it, makan buah di luar musim apalagi ukurannya jumbo, dengan catatan diunggah ke medsos. Serasa masuk dalam 'golongan orang-orang kelas sultan' hehehehehe



Pada bab lain, Fukuoka pun mengemukakan pendapat tentang kecenderungan pola makan yang membuat kebutuhan akan bahan makanan melonjak sehingga petani 'harus bekerja ekstra'. 


Pandangan-pandangan Fukuoka ini sedikit banyak mempengaruhi cara pandang saya tentang menanam meski tidak plek ketiplek


Saya sadar dimana Fukuoka hidup dan musim yang diakrabi. Saya memilih untuk meniru apa yang bsia saya lakukan di lingkungan terdekat. Misalnya dengan menanam meski tidak di lahan luas namun dengan planter yang digantung di tembok.  Saya menggunakan tanah, sekam, arang, dan juga daun-daun sebagai medianya serta menghindari penggunaan obat/pupuk kimiawi.


Berharap tidak ada lagi takut atau was-was saat meramban dan lalu memakannya begitu saja.



0 Komentar