Enam bulan sudah kami tinggal di rumah kakek dan neneknya Aro. Urusan covid-19 dengan PPKM berjilid-jilid ini memaksa kami harus tinggal di sini lebih lama dari rencana semula. Kami pun menjalani dengan segala cerita setiap harinya. 


Relasi Aro dengan beberapa orang dewasa yang ia temui setiap hari menggambarkan banyak hal yang menurut kami perlu juga dibagikan lewat catatan seperti sekarang. Kali ini tentang TV, kotak ajaib yang ada di hampir setiap rumah dan seakan telah menjadi bagian dari keluarga. 

***

"Nah, ini sudah kubuatkan panduan untuk Yangkung kalau ingin nyetel youtube", kata Aro sambil menyodorkan gambar buatannya. "Nanti kalau mau  nyetel pakai ini ya," tambahnya memastikan.

Yangkungnya pun menerima dengan terkejut. Tidak menyangka Aro membuat panduan mandiri berkaitan dengan kesulitan yang dialaminya beberapa waktu terakhir.

Sejak masih muda, Yangkung sangat menikmati menonton wayang kulit. Beliau sering bercerita bagaimana perjalanannya ke banyak kota seperti Blitar, Nganjuk, Tulungagung, dan sekitarnya hanya untuk menonton wayang. 


Dengan bangga ia menceritakan bagaimana dalang-dalang kondang seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, dan Ki Purbo Asmoro mementaskan lakon-lakon kesukaannya. 


Namun, aktivitas melancong ke banyak kota ini tak bisa lagi Yangkung lakukan. Selain karena tubuh yang tak lagi kuat menahan angin malam, satu per satu sahabat yang menemaninya nonton wayang pun telah "pergi".


Setelah lama vakum nonton wayang, Yangkung menemukan kembali kesenangannya nonton wayang dengan Ki Seno Nugroho sebagai dalang favoritnya. Ia pun meminta anak-anaknya untuk mengunduh banyak-banyak rekaman pementasan wayang Ki Seno. Belasan flashdisc yang semuanya berisi rekaman dalang luar biasa tersebut tergeletak di samping tv. Setiap hari Yangkung menontonnya.


Bagi orang tua dengan usia lebih dari 70 tahun, memasang dan melepas flashdisk menjadi satu kesulitan. Kadang kami melihat hampir setiap hari Yangkung dan Yangti nonton tayangan yang sama. 


Saat kami tanya kenapa rekaman itu yang ditonton berulang-ulang, mereka menjawab malas untuk mencari flashdisk dan tidak tahu flashdisk mana yang sudah ditonton. Hm...masalah baru muncul. Lalu kami, anak-anaknya, patungan untuk membeli modem yang bisa disambungin ke TV. Berharap Yangkung tidak perlu repot-repot memasang flashdisk tapi bisa langsung nyambung ke Youtube.


Sayangnya, untuk mengoperasikan televisi digital ini Yangkung mengalami kesulitan. Banyak tombol yang dipencet sebelum terhubung dengan siaran yang diinginkan. Maklum saja, berasal dari generasi televisi yang masih hitam putih dan hanya ada satu stasiun, TVRI. Kemudian, 'diharuskan teknologi'  beralih ke televisi digital. 


Lompatan teknologi yang cukup jauh. Dari sinilah proses "dialog" dua generasi terjadi.


Awalnya, Yangkung selalu minta tolong Aro bila ingin melihat wayang. Aro yang mempersiapkan semua lalu Yangkung tinggal menonton dan tahu beres saja. Begitu yang terjadi setiap hari. Namun, anak 8 tahun ini lama kelamaan sebal juga. 


Meski tetap membantu, tetapi pertanyaan demi pertanyaan bermunculan kepada kami, ortunya. Mengapa Yangkung selalu bertanya ? Katanya kalau dikasih tahu satu kali harusnya bisa ingat? Mengapa tidak mencoba sendiri ? Sudah dikasih tahu caranya, mengapa lupa lagi ? Adalah beberapa contoh ekspresi jengkel dan kegalauannya.

Ayah Obi pun kemudian mengajaknya ngobrol. Mendengarkan dan berempati pada apa yang dirasakan Aro namun juga mengajak untuk memahami kondisi Yangkungnya yang mulai sering lupa. Pada posisi ini, kami memilih berada di tengah.


Mengajak Aro untuk mengandaikan apakah dengan hanya berkeluh kesah dan jengkel kemudian dapat menyelesaikan persoalan? Bagaimana kalau menemukan persoalannya dulu baru kemudian mencari beberapa kemungkinan yang bisa jadi solusi alih-alih membahas terus kejengkelan dan rasa yang tidak puas akibat dari persoalan yang ada. Pertanyaan demi pertanyaan dan kemungkinan yang bisa dilakukan, kami coba gali bersama. Sampai kemudian Aro mendapat ide membuat semacam manual book untuk kakeknya.


Mengenalkan teknologi baru pada keluarga, apalagi pada keluarga besar, seringkali membawa efek ikutan yang tak kalah seru. Seperti peristiwa yang terjadi di keluarga kami ini. Banyak perbedaan dan kompromi yang harus dilakukan karena kebiasaan dan cara pandang yang berbeda. 


Mungkin juga terjadi di keluarga yang lain. Bagaimana kesenjangan pengetahuan dan kebiasaan terjadi. Belum lagi kalau anak-anak harus lebih banyak di rumah, pasti ada saja perbedaan pendapat yang terjadi. Kakek atau nenek dengan cucu, ortu dengan anak, atau pun papan bibi dengan keponakannya. 


Situasi ini sering mendorong keluarga untuk berada pada dua titik ekstrem. Ada sebagian keluarga yang memilih  melayani generasi yang lebih tua. Para orang tua lanjut usia  cukup mengatakan apa yang diinginkan dan mau ditonton. Tidak perlu repot memikirkan bagaimana caranya. Tinggal duduk manis dan semua dipersiapkan oleh yang muda.  


Sedangkan keluarga lain memilih pendulum sebaliknya. Membiarkan saja generasi tua menonton apa yang bisa ditonton (tv manual seperti yang diakrabinya selama ini meski pun isinya tidak menarik. Hanya sekedar hiburan yang asal ada suara saja tanpa melihat kualitas atau juga mengamati diam-diam aktivitas generasi lebih muda tanpa bisa ikut masuk di dalamnya. Sementara yang muda asyik dengan dengan gawai dan lainnya.  


Dua hal di atas adalah realitas yang sering terlihat di masyarakat. Kami tidak dalam posisi menilai sebab kondisi di masing-masing keluarga  berbeda-beda. 


Namun, kami  memilih pandangan sendiri. Meski usia Yangkung sudah berusia 70 tahun, namun ia masih memiliki semangat belajar. Masih mau 'berusaha belajar'. Ingin bisa melihat siaran wayang kegemaran adalah kunci untuk bisa mengoperasikan televisi digital ini. Di sini saya jadi percaya bahwa keinginan untuk memahami hal-hal baru juga berlaku pada orang tua.


Manual book buatan Aro sudah jadi. Aro pun sudah memberikan kepada kakeknya dan tidak lupa menjelaskan bagaimana cara menyalakan televisi digital ini berdasarkan buku petunjuk buatannya. 







Memang perlu beberapa kali penjelasan dan praktik pengulangan namun hasilnya cukup menggembirakan. Kakeknya lebih percaya diri memencet tombol-tombol yang ada. Sekarang, sudah cukup lancar meski masih ada satu dua bantuan yang diperlukan namun sudah jarang sekali. Buku petunjuk buatan Aro tetap tergeletak di depan layar tv. Dibuka ketika diperlukan.


Melegakan melihat situasi ini. Memang tidak mudah menjembatani generasi yang berbeda namun bukan pula tidak mungkin. Bagi kami, situasi ini merupakan kesempatan belajar. Baik bagi kami, Aro, atau pun kakeknya. Situasinya sama, namun persepsi dan hal yang diterima dan dipelajari bisa berbeda-beda. Begitulah kami memaknai belajar. Belajar pada kehidupan.


2 Komentar