"Bunda tahu mengapa Malfoy tidak suka dengan Hermione ? Ternyata karena dia muggle, orang tuanya bukan penyihir."


Di lain waktu, "Bunda tahu mengapa ayah Ron suka sekali dengan barang-barang yang dipakai manusia ? Bunda tahu ? Aku tahu."


Begitulah hari-hari kami selama hampir dua bulan ini. Percakapan spontan yang muncul sering bertema Harry Potter, tokoh penyihir karangan J.K. Rowling.


Aro sedang gemar membaca Harry Potter. Dia sudah membaca sampai buku ke-4. Benar-benar membaca tanpa melewati satu halaman pun. Menikmati kelucuan, ketakutan, kesedihan, dan beragam emosi lain yang muncul karena terbawa arus cerita. 


Aro juga berhasil menyamankan diri dengan kosakata baru yang didapati. Merasa aneh, lucu, asing, namun bisa memahami. Proses membaca memang tidak pernah sederhana dan berbeda-beda bagi masing-masing anak. Untuk Aro sendiri, Harpot sebenarnya  bukan bacaan anak usia 8 tahunan jika merujuk pada batas usia di bukunya tetapi ternyata ia menikmati.


Ketertarikannya terpicu oleh cerita saya tentang kegemaran bacaan di masa lalu. Salah satunya adalah karya J.K. Rowling ini. Sepertinya cerita saya cukup menarik ditambah Aro juga menonton film pertamanya. Dua hal tersebut menggerakkannya untuk membaca petualangan penyihir kecil ini.


Hermione dengan wingardium Leviosa-nya

Tak ada ekspektasi muluk-muluk melihatnya membaca. Bukunya terlalu tebal untuk anak yang kesehariannya membaca komik ini. Ternyata rasa ingin tahu dan kenikmatan membaca Harpot ini mampu membuat Aro membaca dan terus membacanya. Tanpa ada paksaan atau pun rayuan hadiah. 


Menyusun puzzle 3D Harpot hadiah dari teman


Aro tidak bersekolah formal. Perjalanannya untuk bisa membaca berlangsung dengan sangat santai dan natural saja. Saya pun tidak pernah mengajarinya membaca. Hanya membacakan buku dan menjawab pertanyaannya tentang sebuah kata atau kalimat. 


Tidak bersekolah membuat kami tidak terbebani untuk menyegerakannya bisa membaca. Menunggu Aro siap saja (artinya tidak ada kewajiban bisa membaca di usia 7 tahun misalnya). Meski pun saat menunggu ini bisa sangat menantang sebab waktunya bisa berbeda-beda di setiap anak. Ada yang cepat, sedang, atau juga lambat. "Aha!" momentnya juga bisa beragam. 


Sejalan dengan ungkapan John Holt bahwa kebutuhan untuk tahu atau rasa penasaran merupakan dorongan terkuat seseorang untuk belajar. Dalam proses belajar membaca pun Holt menjelaskan bagaimana satu buku bagus, setebal atau serumit apapun bentuknya, mampu menggerakkan seorang anak mau membaca. Asalkan ia merasa perlu untuk membacanya. "Rasa perlu" ini juga bukannya ujug-ujug ada lho ya.


Kami menemukan kebenaran pendapat Holt ini dalam menemani perjalanan membaca Aro.


Dua bulan lebih, hampir setiap hari berhamburan cerita tentang Harry Potter. Nama-nama seperti Ron, Hermoine, Dumbledore, sampai Sirius Black atau pun Cerberus muncul berulang kali. 


Seolah menjadi satu paket petualangan, dari cerita tentang Harry Potter ini kami bisa terlempar kepada mitologi Yunani melalui Cerberus, lalu masuk pada petualangan mencari naga-naga di seantero benua dan perbedaannya karena pertandingan quiddich yang diadakan pada turnamen Triwizard di seri Piala Api, bermain tebak nama karakter dari satu aplikasi 'charades' atau  juga mengidentifikasi murid-murid Hogwart yang tinggal di empat asrama melalui pohon keluarga.


Pohon Siswa Asrama Gryffindor lengkap dengan gurunya


Antusiasme terus berlanjut.


Membaca menjadi sesuatu yang menyenangkan sekali. Tidak ada pertanyaan seperti siapa saja tokoh dalam cerita, bagaimana konflik yang terjadi atau pun siapa tokoh antagonis. Obrolan-obrolan yang terjadi dan aktivitas yang dilakukan sudah menunjukkan bagaimana anak-anak memahami buku yang dibacanya tanpa perlu pertanyaan-pertanyaan artifial semacam itu.



0 Komentar