Sepertinya menonton film menjadi salah satu jalan keluar untuk saya ketika sedang jenuh. 


Untungnya, Obi pengertian dengan hal ini. Daripada bermasalah dengan mood sekeluarga yang angin-anginan karena harus berdiam diri di rumah, ia memilih untuk memasang koneksi internet yang cukup cepat dan berlangganan kanal film berbayar. 


Salah satunya adalah M*la TV. Bukan dalam rangka mengendorse ya, tapi kami merasa lebih cocok dengan kanal ini dibandingkan beberapa kanal yang lain. Cukup lengkap memenuhi kebutuhan saya, Obi, dan Aro. Yang terpenting juga karena ada film Harry Potter di sini (ehem).


Saya sedang senang melihat film lama ini. Salah satu solusi pribadi saat sedang stuck. Tidak wise, wasting time, dan jelas tak patut ditiru (kata sebagian orang). Namun bagi saya, cara itu cukup manjur dan menyelamatkan kegembiraan seisi rumah. Itu penting sebab pendapat orang lain bisa dipikirkan nanti hahahaha.


Aro menghampiri setelah sepuluh menit saya nonton film. Bertanya apa yang saya sedang lihat dan bolehkah ia bergabung. Lazimnya anak-anak, mereka selalu tertarik dengan apa yang menjadi pengalaman orang tuanya. Saya pun mengarahkan kursor ke bagian awal film.


Aro tidak paham siapa itu Harry Potter. Belum pernah baca buku atau lihat spoilernya juga. Jadi, dia melihat lawaran (apa adanya). Ia terpesona saat tahu kalau film ini tentang penyihir kecil dan teman-temannya. Maklum saja, selama ini ia hanya tahu penyihir versi Gibli dan Winnie The Witch.


Kami pun nonton bareng. Awalnya, Aro banyak bertanya dan bicara. Jelas saja saya terganggu. Saya bilang untuk menikmati dulu saja filmnya karena penonton lain bisa terganggu. 


Lha, memangnya ada penonton lain ? Ada dong, saya. Sejak awal kami memang bersepakat untuk saling menghormati penonton lain meski ga nonton di bioskop. Meski saya ibunya, namun sebagai penonton film, posisi kami sama. 


Menyepakati aturan main saat beraktivitas Bersama telah menjadi bagian dari cara belajar kami. Misalnya saat main kartu, nonton film, memasak dan lain-lain. Kami berusaha untuk tidak melewatkannya. 


Meski prosesnya kerap kedodoran, tapi kami sadar bahwa melakukan kebiasaan baru bukanlah hal yang mudah. Titik tekannya tidak hanya pada Anak, tapi juga bagaimana orang tua berkomitmen pada proses tersebut. 


Jadi, jangan terlalu percaya dengan training-training kebiasaan ya. Apalagi setelah itu merasa diri hanya remah-remah atau bukan siapa-siapa. Karena tiap keluarga akan punya cara, kesulitan dan solusi masing-masing. Itu pendapat pribadi saya, boleh percaya boleh tidak lho.


Kembali ke film. Baru ketika film selesai, kami ngobrol. Sambil makan tentunya. Bagi kami, saat makan adalah waktu paling efektif untuk berbicara. Banyak hal yang dibahas. Mulai dari kesan, perasaan, juga karakter yang paling disukai dari film yang barusan kami lihat bersama. 


Tidak ada keinginan untuk meminta Aro menceritakan ulang film yang dilihat. Tidak lucu juga sebab kami nonton bersama. Tidak mungkin saya tidak tahu ceritanya. Bisa-bisa Aro berprasangka bahwa saya tidak percaya dia paham ceritanya sampai perlu “di tes” dengan pertanyaan aneh seperti itu.


Saya cerita ke Aro kalau saya tertarik dan senang dengan alur ceritanya. Ia mendengarkan penjelasan saya. Saat gilirannya bercerita, ternyata ada hal lain yang membuatnya terkesan. 


Dia lebih terkesan dengan permainan catur, lorong 9 3/4, dan hidung Voldemort: “Mengapa hidung Voldemort rata?” Ternyata ketertarikannya lebih spesifik dan diluar dugaan.


Ayahnya yang ikut dalam sesi ngobrol lalu bercerita tentang efek yang digunakan dalam film. Efek yang memberi kesan menarik, mengerikan, indah, dan kelihatan nyata pada film. Kami pun mencari bersama contoh efek yang digunakan dalam film melalui beberapa video yang ada di youtube.  


Youtube merupakan piranti yang sering kami gunakan untuk mencari informasi tentang sesuatu. Hidung Voldemort yang lancip dan  mengerikan menjadi obyek rasa ingin tahu.


Di saat-saat sekarang, dimana begitu banyak hal dan informasi berseliweran dengan cepat, sudah sepatutnya memang mempertanyakan apapun. 


Tidak langsung percaya begitu saja. Kemampuan literasi digital yang kami latih bersama. Terutama untuk saya dan Aro. Obi, ayahnya Aro, lebih banyak sebagai berperan sebagai mentor. 


Bila menanggapi satu hal, terutama yang bombastis dan sepertinya waw, Obi sering menyarankan untuk tidak bereaksi secara impulsif. 


Dicari dulu kebenarannya dengan membaca sumber berita yang lain sebagai pembanding. Bisa jadi satu peristiwa akan diberitakan secara berbeda. Terlalu bagus dan terlalu indah itu seringnya tidak nyata, tipuan saja.


Pengalaman nonton bareng membawa kami pada diskusi tentang ketertarikan masing-masing orang, visual efek dalam film dan bagaimana pentingnya literasi digital untuk keluarga. So, mari gunakan waktu dan resources yang kita punya karena masing-masing memiliki cara pandang dan cerita yang berbeda.


2 Komentar

  1. Menjadi bahan untuk nonton bersama keluarga. Terima kasih infonya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah membaca dan selamat menonton,pak.

    BalasHapus