Memberi Kesempatan Anak Membuat Keputusan Bagi Dirinya Sendiri Itu Perlu
“Remember Cedric. Remember, if the time should come when you have to make a choice between what is right and what is easy, remember what happened to a boy who was good, and kind, and brave, because he strayed across the path of Lord Voldemort. Remember Cedric Diggory.”
Dumbledore, kepala sekolah Hogwarts, di akhir buku The Goblet of Fire. Saya baru selesai membaca Harry Potter lagi. Gegara melihat Cedric di film keempatnya. Cedric yang menawan sebelum menjadi Edward Cullen 😄
Cedric adalah satu karakter menonjol pada seri The Goblet of Fire. Penyihir dari Hufflepuff yang terkenal baik pada semua orang, penurut, suka menolong, tampan, dan hal baik lainnya. Nyaris tak ada cela. Cedric adalah sosok dambaan. Semua bersorak senang saat dia terpilih sebagai salah satu kontestan Triwizard mewakili Hogwarts. Semua menganggap Cedric pantas mendapatkannya.
Namun ternyata menjadi baik, versi Cedric, tidaklah cukup. Seorang anak yang lurus dan selalu ada di jalan 'benar' kadang gagap membuat keputusan saat dihadapkan pada situasi yang tidak biasa dan berubah cepat. Setidaknya itu yang saya pahami dari kisah karakter Cedric ini.
Cedric yang baik itu telah dikuasai dan diperalat oleh Voldemort agar mengantarkan Harry Potter kepadanya. Ketika misinya selesai, dia pun dibunuh.
Saya sempat sedih saat membacanya. Mengapa? Mengapa anak baik, penurut, dan pemberani bisa diperalat dan dimanfaat oleh orang jahat dan kejam ? Mengapa anak sebaik Cedric bisa dimanipulasi ?
Jangan-jangan ada yang terlewatkan. Jawaban itu pun coba saya cari sekarang. Setelah belasan tahun dari pertama kali saya membacanya. Tentunya dari perspektif seorang ibu.
Biasanya kita lebih sering untuk menunjukkan pada Anak mana hal baik dan hal buruk. Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Lha, bukankah memang harusnya begitu ? Agar mereka menjadi anak yang baik, paham etika, dan tata krama. Bisa jadi begitu. Bisa jadi juga tidak.
Bagi sebagian orang, saat anak-anak sudah menurut dan patuh dengan semua perintah ortunya, masalah selesai. Dunia damai. Ayem tentrem dan kita pun merasa menjadi orang tua yang terbekati.
Tapi benarkah begitu ?
Apakah hidup selalu lurus dan baik-baik saja?
Bagaimana kalau suatu saat, ketika situasi mendadak berubah, orang tua tak lagi bisa mendampingi dan pilihan yang tersedia tak segamblang “baik-buruk” seperti yang diajarkan orang tuanya? Anak-anak harus bisa membuat pilihan sendiri berdasarkan kondisi yang dihadapi dengan kemampuan mereka sendiri.
Akankah mereka lugas menyikapi? Ataukah gagap dan tidak tahu harus bagaimana sebab memang tidak terlatih membuat pilihan? Bertahun-tahun mereka dilatih untuk menurut pada pilihan yang ortunya buat. Yang tersedia hanya pilihan yang telah disediakan. Atau lebih buruk lagi, pilihannya adalah melakukan atau kena hukuman.
Sama seperti makanan instan, mengatakan dan menunjukkan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh merupakan cara tercepat untuk mengarahkan Anak menjadi “baik”.
Namun ada yang dikorbankan disini: ruang kreativitas dan sensitivitas anak. Mereka hanya diajari untuk menurut. Do and don’t. Tidak ada kesempatan mereka berpikir, menganalisa, dan menentukan hal itu layak atau tidak dilakukan oleh mereka sendiri.
Ruang menentukan pilihan sendiri dan merasakan pilihannya keliru lalu belajar bagaimana mengatasinya menjadi semakin sempit saat orang tua terlalu dominan. Mungkin ini yang sering kita, para ortu, lupakan atau bahkan tidak terpikirkan.
Memang bukan proses yang menyenangkan. Namun dari sini lah kita belajar percaya. Walaupun terkadang juga rasa khawatir pada pilihan-pilihan Anak jadi rasa tak nyaman yang harus sering kita rasakan.
Apalagi kalau anak-anak sedang menghadapi situasi yang sulit, pilihannya kita rasa salah dan kemudian ia sedih saat tahu pilihannya salah. Ada rasa tidak tega di situ.
Saya dan Obi masih terus belajar mengatasi perasaan tak nyaman ini. Jatuh, bangun, dan saling menguatkan untuk terus menemani anak membuat pilihan.
Duh…panjang dan melelahkan dong. Berapa SKS itu ?
Memang panjang dan melelahkan namun ketika anak terbiasa belajar bagaimana mengambil keputusan akan sebuah pilihan, maka kemampuan ini akan sangat bermanfaat di kehidupannya nanti.
Pam Laricchia dalam buku What is Unschooling mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan pilihan. Akan sangat berharga meluangkan waktu membantu anak-anak menganalisa pilihan-pilihan yang ada dan memutuskan hal yang paling masuk akal bagi mereka. Dari sana pula mereka kemudian mengenali bagaimana dampak dari pilihan yang dibuat. Mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang bisa menjadi dasar ketika membuat keputusan-keputusan berikutnya. Ketrampilan berharga yang akan bermanfaat seumur hidup pastinya.
2 Komentar
tulisan yang bagus dan sangat bermanfaat, jadi semangat untuk semakin meluangkan waktu bagi anak anak.
BalasHapusTerima kasih apresiasinya. Selamat bermain dengan anak-anak.
Hapus