“Bunda pernah merasa takut ?” Pertanyaan Aro sore tadi masih terngiang-ngiang. Obrolan santai di sore hari selepas dia pulang bermain dengan teman-temannya.


Bermula dari cerita Aro saat disapa Opung pemilik warung dekat rumah kami tinggal. Ia merasa senang dikenali. Lebih senang lagi karena beberapa waktu yang lalu, dia berhasil belanja sendiri ke sana. 


Belanja ke warung. Sesuatu yang baru bisa dia lakukan sejak kami pindah dari tempat tinggal yang lama. Saya merasa aman melepasnya belanja ke warung atau bermain kemana saja karena perumahan yang kami tempati memakai sistem satu pintu. 


Berbeda dengan tempat tinggal dulu. Meski dalam kompleks perumahan, namun jalan depan tidak ubahnya jalan raya. Ramai kendaraan berlalu lalang apalagi di jam-jam masuk dan pulang sekolah. Belum lagi petugas keamanan yang tidak memadai.


Namun, kondisi perumahan yang terbilang aman saja ternyata tidak cukup untuk membuat Aro  berani belanja sendiri. Aro masih takut. 


Situasi perumahan yang aman adalah kondisi di luar anak. Kondisi di dalam (internal) anak berbeda lagi ceritanya.  


Dalam segala situasi, terutama dalam proses belajar, rasa takut  cukup ampuh menghentikan proses belajar itu sendiri. Saat rasa takut mendera, kejernihan dan logika dalam berpikir menjadi sulit. 


Dia merasa nyaman dan berani pergi sendiri ke warung Opung setelah dua kali ditemani ayahnya kesana. Apalagi setiap belanja ke opung boleh memilih satu jajanan kesukaan. Semakin berani dia. Stimulus yang tokcer untuk anak-anak hahahahaha


Kembali merenungkan perasaan takut ini. Siapa sih yang tidak pernah merasa takut ? Semua orang mengalaminya. Yang membedakan hanya sebab dan bagaimana cara mengatasinya saja.


Pada ortu, anak adalah salah satu ketakutan terbesar. Terutama dalam proses mendidik dan merawatnya. Apakah pilihan dan keputusan yang dilakukan benar-benar untuk kebaikan anak atau hanya menuruti ego orang dewasa ? 


Bagaimana kalau keputusan hari ini yang kita anggap baik ternyata menjadi bumerang di kemudian hari ? Akan banyak sekali pertanyaan dan keraguan dalam perjalanan membesarkan anak-anak.


Demikian juga pada kami. Memutuskan mendidik sendiri anak di rumah (homeschooling) tidak selalu lempeng dan bahagia. Ada saat-saat didera perasaan bimbang dan takut. Mempertanyakan dan merenungkan ulang keputusan kami. Terutama di saat-saat situasi agak berat. 


Benarkah homeschooling ini cocok ? Benarkah tepat apa yang kami lakukan ? Aro, anak kami, sepertinya tidak ada kemajuan sama sekali. Gitu-gitu saja. Apakah kami terlalu selow? Baguskah ini ? Kalau bagus, mengapa tidak semua orang melakukannya ? 


Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sering muncul terutama ketika keraguan dan ketakutan datang menyapa.


Ternyata tidak iman saja yang mengalami naik turun. Keteguhan akan keputusan kita pun ada pasang surutnya apalagi mendidik anak ini seperti lari marathon, perlu seni mengelola nafas yang panjang.


Biasanya ada beberapa hal yang kami lakukan saat berada dalam situasi seperti ini:


🌺 Jeda sejenak dari rutinitas terutama stalking dan scrolling medsos agar kita ga terjebak pada rasa iri dan terintimadasi oleh postingan banyak teman yang sepertinya lebih wow dan menyenangkan.


🌺Tidak menyalahkan diri sendiri apalagi mendown grade diri dan menganggap kita remukan rempeyek dalam kaleng. Nggak banget kalau yang ini.


🌺 Ngobrol dengan pasangan. Ini perlu karena anak itu bukan hanya tanggung jawab ibu melainkan tanggung jawab bersama. Walaupun pasangan kita juga ga bisa memberikan solusi, minimal ada telinga yang mendengarkan cerita kita. Berbagi energi negatif hehehe


🌺 Curber = curhat bersama. Berbagi kegembiraan, kegalauan, dan ketakutan dengan teman komunitas dimana kita merasa nyaman.


🌺 Let it go. Memaklumi bahwa persoalan kadang tidak menemukan solusinya cepat. Perlu waktu sebab memang ini perjalanan panjang. 


🌺 Menemukan kegembiraan bersama anak. Mengambil momen saat ini bahwa kita masih bisa bermain bersama mereka.


🌺Jujur pada diri sendiri. Ini juga penting. Saat semuanya telah dicoba tapi tidak menemukan jalan keluar atau memang saatnya mengatakan “saya menyerah” ya tidak apa-apa. Anak yang utama, cara mendidik yang kedua.

Merasa takut itu wajar. Namun, bukan berarti kita berhenti dan tidak melakukan apa-apa sama sekali sebab kitalah yang menentukan nasib sendiri, bukan orang lain. 


0 Komentar