"Aku main dulu ya! Pulang jam 5 sore,” kata Aro  Sambil mengambil sepedanya lalu keluar. 

Setiap sore ia menikmati kebiasaan barunya, bermain keluar bersama  teman-temannya. Kejar-kejaran di gang belakang, main peran polisi - maling, juga balapan sepeda. 


Teriakan anak saling memanggil terdengar tiap sore. Meluncur gembira bercampur takut saat di turunan dan terengah-engah mendorong sepeda ketika di tanjakan. Tak jarang, ada yang jatuh karena belum mahir menggunakan rem dan belum lancar bersepeda. Bila ada yang jatuh, mereka pun berhenti dan menolong.  


Kontur perumahan kami berbukit-bukit. Tanjakan dan turunan cukup banyak. Juga ada beberapa jalan berkelok.  Medan tepat untuk latihan ketangkasan bersepeda. 


Syukurlah tak banyak lalu lalang kendaraan sehingga orang tua merasa aman untuk melepaskan anak-anak bermain.

satu aktivitas main kejar tangkap yang digambar Aro


Sore hari menjadi waktu bebas bermain bagi anak-anak  karena saat pagi mereka harus menghadapi gawai masing-masing untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kecuali Aro tentunya.


Salah satu pertimbangan awal kami memilih tidak mengirim Aro ke sekolah formal adalah agar ia memiliki waktu yang lebih banyak untuk bermain bebas. Alih-alih diributkan dengan banyak les dan PR, kami berpendapat biarlah masa kecilnya diisi dengan bermain dan bermain. 


Bermain bebas artinya bermain sesuka hati. Anak yang akan memutuskan ia mau main apa dan bagaimana. Tidak ada campur tangan orang dewasa. 


Jadi, bukan bermain terstruktur yang direncanakan orang dewasa dengan segala tujuan (goal-nya).  Bermain ya bermain saja dengan gembira.


Namun ternyata keinginan sederhana ini menjadi hal mewah untuk sebagian anak-anak di masa sekarang.  Misalnya ada sebagian orang tua saat melihat Anak mereka suka bermain bola, mereka ingin buru-buru memasukkan Anak mereka ke klub sepak bola. 


Padahal Bisa saja Anak itu ingin bermain saja dengan bebas. Belum tentu semua Anak yang bermain bola itu ingin seperti Lionel Messi. 


Banyak orang dewasa sekarang yang menganggap bahwa bermain pada anak-anak merupakan sesuatu yang sia-sia. “Daripada bermain tanpa jluntrungan seperti itu, lebih baik membaca atau melakukan sesuatu yang dianggap 'lebih berguna”, kira-kira begitu. 

Main sama teman, kenangan yang terekam oleh Aro


Atau ketika mendapati anaknya senang akan suatu hal, buru-buru dimasukkan ke dalam klub atau les berbayar. Tidak ada kesempatan untuk anak memikirkan dan memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan dan disukainya.


Sebuah artikel tahun 2011 di American Journal of Play berpendapat tentang hubungan sebab akibat antara penurunan sistematis dalam bermain dan peningkatan yang signifikan dalam kecemasan masa kanak-kanak, depresi, perasaan tidak berdaya, narsisme, dan indikator penyakit mental lainnya.


Peter Gray, seorang psikolog dari Boston College, dalam bukunya Free to Learn menuliskan 4 hal (minimal) yang bisa dipelajari anak-anak saat bermain bebas ; 


🌺 Hal-hal baru

🌺 Kreativitas

🌺 Menyelesaikan masalah

🌺 Luwes dalam banyak situasi


Hal-hal tersebut bisa dicapai anak secara maksimal bila mereka dibiarkan bermain bebas dengan anak lain, tanpa (banyak) campur tangan orang dewasa. Anak-anak sendiri yang memutuskan bagaimana membuat keputusan sendiri, mengendalikan emosi dan dorongan hatinya, melihat dari sudut pandang orang lain, dan menegosiasikan perbedaan dengan orang lain.


Biarkan mereka bermain karena bermain adalah belajar.

0 Komentar