Sejak kecil, Aro sangat tertib dengan jam tidur. Tidak ada yang namanya begadang atau pun tidur larut malam. Setiap masuk jam tidurnya, Aro akan segera menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Kami pun bersiap tidur. Menyikat gigi, memakai piyama, lalu kruntelan di tempat tidur entah membaca bersama atau bercerita.

Namun dua minggu terakhir ini jam tidur Aro bergeser. Tak tanggung-tanggung. Dari yang awalnya jam 7 atau 8 malam menjadi jam 10 atau 11 malam. Awalnya saya menganggap karena mungkin energinya masih melimpah dan konsumsi gula yang agak berlebih hari itu. Maklum, selama pandemi ini aktivitas fisiknya jauh berkurang. Hanya berputar-putar di dalam rumah atau main di jalan depan.

Namun, jam tidur yang bergeser ini terjadi lagi pada hari-hari berikutnya. Selepas magrib, begitu banyak ide muncul. Dari buat-buat sesuatu, membuat gerak dari lagu, merancang permainan, sampai menyiarkan prakiraan cuaca esok hari di televisi kardusnya. Aktivitasnya tidak tergantung gawai namun lumayan membuat berantakan dan keriuhan. Marie Kondo bisa syok melihatnya.


Pergeseran yang membuat saya sempat menaikkan alis dan menghela nafas berkali-kali meski tak sampai menghentikan kegiatannya. Perlu waktu menyesuaikan diri dengan pergeseran ini. Pastinya juga menambah stok kesabaran. Meskipun tahu bahwa itu kesempatan anak mengeksplorasi ide-idenya, namun tanpa pengertian dari ortu, maka yang muncul kejengkelan dan kemarahan. Sudah malam dan rumah berantakan itu waw sekali rasanya.  

Mungkin bila hal ini terjadi beberapa bulan yang lalu, saya akan segera mengeluarkan  satu kata sakti, “tidak!”. Lalu beragam alasan penguat akan bermunculan jika dibutuhkan. Walaupun biasanya alasan penguat itu jarang dibutuhkan. Tidak artinya selesai, titik. Tak ada lagi kesempatan untuk komplain apalagi unjuk rasa. Mengatakan tidak itu cara cepat menyelesaikan persoalan. 

Tapi benarkah begitu ? Benarkah kata tidak itu menyelesaikan persoalan dan bukan sebaliknya ? Mulai muncul banyak pertanyaan untuk menguji keputusan yang saya buat. Jangan-jangan saya hanya tidak mau repot atau malas bersih-bersih saja malam-malam. Terlalu sering mengatakan “tidak” dan melarang anak untuk melakukan sesuatu bukannya akan punya dampak jangka panjang kepada mereka ? Bukankah anak yang sering dilarang oleh ortunya akan menjadi anak yang peragu aka sulit membuat keputusan meski mungkin mereka menjadi penurut  atau bahkan pemberontak? 

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu membawa saya ke perspektif baru. Saat sekarang, alih-alih mengatakan tidak, saya cenderung memikirkan opsi  lain. Tidak spontan mengatakan “ya” tanpa pertimbangan tapi mengandaikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila saya mengatakan “ya”. Sebab bagaimanapun, berantakan dan kekacauan malam hari yang terjadi mungkin bisa jadi cara ekspresi belajar Aro. 

Kadang, saya ngobrol dengan Aro tentang pilihannya untuk berkegiatan agak larut ini.  Biasanya berkaitan dengan kendala dan kondisi saya yang  sudah lelah. Sering ide solutif dari Aro muncul, misalnya ia akan mengajak main ayahnya jika saya sudah angkat bendera putih tanda menyerah. 

Ngobrol  ini saya maknai sebagai kompromi dan latihan berempati sesama anggota keluarga. Jangan sampai saya sebagai ortu merasa lebih berkuasa dan tahu segalanya sementara Aro sebagai anak hanya tahu tentang keinginannya yang harus dipenuhi. Kami sama-sama belajar memanusiakan manusia. 

Puluhan karya seperti gambar, tulisan atau hasta karya ia hasilkan selama sesi main malam hari. Memang saya tidak bisa berekspekstasi 'karyanya' itu akan seperti karya maestro misalnya (bisa langsung kaya raya sebab bisa saya tukar dengan saldo gopay atau uang tunai hahahaha). Tapi, yang lebih utama adalah memberi kesempatan bagaimana  sebuah ide itu bisa mewujud. 

Mari kita cermati sejenak anak-anak saat mereka sedang sibuk berkegiatan sendiri membuat sesuatu. Melihat, benar-benar melihat, tanpa memasukkan ekspektasi orang dewasa di dalamnya. Apa yang  bisa mereka pelajari dari kegiatan-kegiatan semacam itu. Mereka belajar dari permainanya itu sendiri, merancang dan memutuskan sesuatu. Mereka belajar menganalisa situasi dan mencari solusinya saat kita mengatakan alasan mengapa keberatan akan kegiatannya malam-malam itu. Di sisi lain, bonding antara orang tua dan anak pun terbentuk. Anak-anak paham akan dukungan dan kepercayaan orang tuanya dari pilihan mengijinkan mereka berkreasi. Hal penting yang akan sangat berguna sampai anak-anak tumbuh menjadi dewasa kelak.

Mengijinkan anak tidur larut, main bebas, dan rumah berantakan. Sepertinya sederhana ya, namun pada kenyataannya cukup sulit. Kita perlu berdamai dan mengubah cara pandang untuk situasi seperti ini. Tidak selalu berhasil karena kadang saya pun lepas kontrol saat melihat sulitnya berjalan di dalam rumah tanpa menginjak satu dari barang-barang Aro. Jadi ingat lagu “walking in the jungle…”

Saying 'no' can make life seem easier in the moment, but saying 'yes' encourages children to explore their world and cultivates their ability to live confidently in it.
- Pam Laricchia, What is unschooling

0 Komentar