"Bunda tahu Butet Manurung?" pertanyaan pembuka hari ini. Hm…saya mengangguk. "Tahu sokola rimba ?" Untuk kali kedua, saya mengiyakan lagi. "Butet Manurung itu temannya Bungo. Dia mengajar membaca anak-anak rimba," lanjut Aro. 



Pagi itu, Aro sudah asyik dengan Majalah Bobo edisi lamanya. Masih dengan piyama, dia bergelung membaca. Rupanya di salah satu halaman Bobo, ada artikel berkisah tentang Butet Manurung yang mengajar membaca anak-anak yang hidup di hutan. Anak-anak  Orang Rimba. Cerita dan gambar cuplikan adegan di film dengan latar belakang pepohonan lebat itu memantik rasa penasarannya. 

"Belajar di hutan itu bagaimana ya rasanya ?" 

Satu pertanyaan yang menjadi tema belajar kami hari itu akhirnya. Obrolan pun mengalir sampai kemudian saya menawarkan pada Aro untuk nonton filmnya. 

"Waw…ada filmnya ? Bukan buku saja ? Aku mau, Nda!" jawabnya bersemangat. Saya pun menjanjikan dua jam lagi akan nonton fimnya. Dalam jeda waktu itu, Aro bisa melanjutkan kegiatannya. Cihuy! Aro bersorak senang. 

Antusiasme seorang anak itu kadang menakutkan sekaligus memukau. Bagaimana rasa ingin tahu tentang satu hal bisa dapat membawanya melompat pada keingintahuan tentang hal lain yang kadang tidak terduga. Anak-anak memiliki energi dan daya tangkap luar biasa saat mereka penasaran akan sesuatu. 

Pertanyaan muncul bertubi-tubi dan tak jarang membuat orang tua kerepotan. Karena repot itu, kadang anak-anak disuruh diam. Tak boleh meneruskan bertanya lagi. Masalah selesai dan dunia orang tua pun menjadi damai kembali hahahaha.

Menyadari tanggung jawab mendidik sendiri anak di rumah membuat kami sering mengambil keputusan yang mungkin berbeda dari sebagian orang. Bagi kami, menciptakan ruang interaksi yang mendukung dalam proses memenuhi rasa keingintahuan merupakan hal yang penting untuk Aro. 

Alih-alih menyuruh diam, kami mencoba untuk selalu ada dan siap menjawab atau membantu apapun yang menjadi masalahnya. Walaupun tidak selalu berada pada frekuensi kesabaran dan energi yang sama, minimal kami berusaha. Ayah dan bunda bukanlah malaikat jadi tidak apa-apa jika sekali-kali mengibarkan bendera putih dan mempersilahkannya bertanya pada alexa atau google.

Seperti tawaran melihat film ini. Meski hari masih pagi, mengapa tidak ? Nonton bagi kami tidak selalu harus siang atau sore atau malam. Apalagi nontonnya di bioskop kamar yang cahayanya bisa disetel jadi gelap seperti bioskop. Ketertarikannya pada  Sokola Rimba terjadi pagi ini. Ya sebisa mungkin kami memfasilitasi keingintahuannya. Kebetulan situasi pun mendukung dalam artian saya atau Obi tidak dalam tekanan pekerjaan. Jadilah, kami pun nonton. Menyusuri jalan yang dituntun oleh rasa ingin tahu.

Sebenarnya di film ini tertulis batas usia minimal nonton 13 tahun. Meski isu yang dibawa cukup berat, Miles production mampu menampilkan film yang menarik dan smooth. Menurut kami pribadi, ditonton anak usia 7 tahun seperti Aro pun tidak masalah. 

Memang ada beberapa adegan yang membuatnya takut seperti saaat Butet dan murid-muridnya bertemu dengan para pembalak hutan. Tidak ada adegan memotong pohon besar, hanya memperlihatkan alat-alat berat yang biasa digunakan dan bagaimana mereka lari tunggang langgang karena dikejar pembalak itu. Menurut saya, Riri Riza sebagai sutradara berhasil memainkan bahasa simbolik yang menarik di film ini.

Adegan lain yang juga menurut Aro menyedihkan adalah ketika orang-orang rimba itu harus melakukan prosesi menjelajah dan berpindah. Tardisi Melangun. Dilakukan saat mereka berduka, kehilangan salah satu kerabat atau pemimpinnya. Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka berjalan sampai rasa duka itu hilang. Kondisi lahan hutan yang semakin sempit sebab dialihfungsikan sebagai perkebunan sawit membuat orang-orang rimba semakin sulit dan terdesak.

Selain bercerita tentang Butet, film ini juga mengisahkan seorang anak rimba bernama Bungo. Ia harus menempuh jarak puluhan kilometer dengan berjalan kaki menemui Butet karena ingin belajar membaca. 

Bungo berasal dari Hilir dan suku yang berbeda dari yang selama ini Butet ajar membaca. Bungo berjuang mencari Butet karena kebutuhan bisa membaca. Ia  selalu membawa lembaran kertas perjanjian yang dia dan sukunya tidak tahu apa isinya. Mereka hanya diminta cap jempol oleh orang-orang yang datang dengan membawa biskuit dan mie. Yang mereka tahu, setelah cap jempol itu, wilayah hutan yang bisa mereka huni semakin sempit. Pohon-pohon besar banyak ditebang sehingga hewan buruan pun semakin sulit didapat. 

Belajar bisa melalui apa saja, termasuk film. Biasanya untuk mengikat makna, kami ngobrol. Saling mengungkapkan pandangan masing-masing terhadap film yang ditonton. Tidak ada pertanyaan tentang bagaimana cerita di film itu sebab akan konyol sekali. 

Dalam pandangan Aro, saat bertanya “bagaimana ceritanya tadi?”, kami jadi terlihat seperti penguji yang tidak percaya bahwa ia paham ceritanya. “Kan tadi kita nonton film bersama?” protesnya. Jadi kami lebih memilih untuk menceritakan pandangan masing-masing, mungkin juga rasa sedih atau gembira saat melihat beberapa adegan dalam film Sokola Rimba. Mencoba mengandaikan beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan.

Belajar atau tidak belajar sebenarnya adalah persepsi orang tua. Kalau kata Pam Laricchia dalam bukunya, Life Through the Lens of Unschooling :  pada anak-anak, mereka sedang mengikuti rasa ingin tahu. Mereka tidak sedang belajar, namun mereka sedang menjalani hidup. Belajar adalah suatu hal kebetulan yang menyertai kehidupan itu sendiri.


0 Komentar