"Tadi G mencarimu saat kamu masih tidur", kalimat saya segera membuat Aro bergerak dari tempat tidurnya. Minum air putih dan segera mandi. Set set set berganti baju dan pamit keluar. Main. 

Tak sampai lima menit, ia kembali. Wajahnya mendung tidak secerah ketika berangkat.


"G ga mau main. Katanya aku tadi menolak main sama dia," lapornya sambil masuk kamar. 


Obi  menoleh. Merasa menjadi tersangka sebab kebetulan dia yang tadi menemui G.


"Ayah tadi bilang kamu masih tidur, bukan tidak mau main."  jelasnya. Aro hanya diam dan masuk kamar. Kami memilih memberinya waktu untuk menata perasaan. Biasanya, ketika merasa nyaman akan bercerita sendiri.


Bagi saya, situasi ini termaknai sebagai salah paham. Pandangan yang didasari pada pengalaman seringnya nungguin Aro main dan sempat mengamati anak-anak saat masih mengajar. Tapi ternyata ada hal berbeda dalam pandangan Obi. Beberapa pertanyaan muncul. Mengapa pesan yang diterima bisa berbeda dengan saat disampaikan tadi. Mengapa ada 'bohong' yang muncul ? 


"Sebenarnya, asumsi dan pengalaman yang membuat G bisa mengatakan seperti itu." ucapan saya mengundang tanda tanya di Obi semakin banyak. Kok ?


Kami pun ngobrol. Saya dan Obi sebagai ortu membahas fenomena yang terjadi pada anak. Hal yang kami biasakan sejak kehadiran Aro.  Merawat dan mendidik anak itu tanggung jawab bersama. Bukan milik Ibu saja. Jadi kami berdua tetap perlu ngobrol berbagi informasi dan tumbuh.


Ada beberapa kemungkinan penyebab mengapa anak berbohong. Salah satunya adalah mereka biasa 'dibohongi' orang dewasa (baca ortu). Mungkin ortu tidak sengaja atau juga sengaja, tergantung motif yang mellingkupi. Misalnya kebohongan yang bisa jadi dipicu untuk sekedar menenangkan situasi saat anak tantrum. Ketika anak sudah tenang, janji yang diucapkan kepada mereka tidak ditunaikan bahkan dilupakan. Padahal anak-anak pada awalnya menganggap ucapan orang dewasa itu serius dan jujur. Karena seringnya tidak benar atau janjinya tidak ditepati,  lama kelamaan mereka tidak akan percaya perkataan orang dewasa. Perlakuan ini terjadi tidak satu dua kali, tetapi berulang sampai muncul kekecewaan dan ketidakpercayaan pada orang dewasa.


Ironisnya, seringkali orang-orang dewasa terdekat yang membuat kepercayaan anak-anak menghilang. Bisa ortu, kakek nenek, atau bahkan guru. Semakin ke sini, anak-anak kehilangan kepercayaan kepada orang dewasa  pada usia dini. Bisa jadi, mereka mengalami pahitnya dibohongi semakin cepat. Who knows? Sebagai orang tua, kita pun perlu evaluasi diri. 


"Mengapa orang tua bohong?" pertanyaan tiba-tiba dari Aro membuat kami menoleh. Ternyata, diam-diam Aro ikut mendengarkan obrolan kami. Bolehkah ? Tentu saja boleh.  


Anak-anak meski masih kecil adalah manusia dan memiliki hak bersuara. Bukan dikekang atau diminta diam.


Beginilah cara kami  belajar. Hal-hal di keseharian kerap menjadi bahan obrolan bersama termasuk naik turunnya relasi dalam pertemanan yang dialami Aro. Banyak dari ortu yang tidak cukup menaruh perhatian akan topik bermain dan konflik yang mengiringi. Menganggap remeh sebab hanya masalah anak-anak, toh nanti akan selesai sendiri. 


Kami memilih pandangan yang sedikit berbeda. Bukan mau mencampuri atau bahkan menjadikannya persoalan antar-orang tua, tapi lebih kepada membiasakan diri mengamati, menganalisa, mencari beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, dan pilihan-pilihan yang bisa dilakukan di kehidupan nyata Aro (relasi pertemanan). Belajar mengamati dan menggali tentang kepribadian teman-temannya dan mencari tahu mengapa sebuah keputusan harus diambil. 


Bagi kami, terlatih bagaimana membuat pilihan dan sadar akan konsekuensinya lebih penting untuk Aro daripada ikut dan mencontoh atau meneladani pilihan-pilihan yang dibuat oleh orang lain meskipun itu mungkin bagus. Sebab, dunia yang akan mereka hadapi besar kemungkinan akan berbeda kondisinya dengan saat sekarang.  


Mencoba tidak langsung melakukan judgement (penghakiman) pada sebuah kesalahan bukanlah hal yang mudah. Waktu yang dibutuhkan pun sangat tergantung situasi. Diperlukan kesabaran yang cukup untuk mau belajar dari kesalahan-kesalahan yang bertebaran setiap harinya.  


Namun, sejauh pengalaman saya yang juga masih belajar, proses ini akan sedikit lebih mudah dijalani ketika kita ortu memiliki gambaran besar akan visi keluarga yang terbentuk dari puzzle-puzzle pengalaman keseharian. Minimal kita tidak terjebak meributkan kesalahan-kesalahan kecil yang terjadi dalam proses belajar anak memahami kehidupan. 


Seperti kata John Holt, bahwa belajar itu tidak selalu linier tapi cenderung tanpa pola alias berantakan dan itu menyenangkan. Jadi, nikmati saja prosesnya sambil berharap ada cahaya terang di ujung sana.

0 Komentar