Perjalanan membaca setiap anak itu unik dan personal. Juga bisa berubah-ubah kegemarannya seiring dengan pengalaman dan rasa ingin tahu. Begitupun dengan Aro, anak kami. Meski sejak awal  tidak diajari membaca, buku-buku ceritalah yang kami kenal dan bacakan. Buku model fairytales,  penuh khayal dan imajinasi. Nyaris tidak ada buku genre how to. Buku-buku itu didengarnya melalui suara kami atau juga melalui audio book


Seiring meningkatnya kemampuan membaca, kegemaran dan pilihan bacaan Aro ternyata berubah. Meski banyak buku cerita yang ada, sebenarnya ada juga buku-buku jenis lain. Pada dasarnya, kami tidak membatasi pada genre tertentu. Bila buku itu menarik dan bagus, kami letakkan di rak Aro. Masalah dia nanti membacanya kapan, hanya Aro yang tahu. Biasanya  tergantung konteks, rasa ingin tahu, dan ketertarikan akan sesuatu. Hal yang sebenarnya wajar namun ternyata menantang kesabaran sekaligus menguji kepercayaan buat  saya.


Jadi ceritanya ada saat Aro begitu tenggelam membaca komik. Komik lama koleksi saya juga sebenarnya. Hampir setiap saat kegiatannya bergelung dengan buku komik di tangannya. Terkikik-kikik sendirian dan kadang lari menghampiri saya sekedar untuk berbagi kegembiraan apa yang membuatnya begitu senang. Tidak ada buku lain yang dibacanya selain komik.


Dulu, rasa khawatir menyelinap bercampur sebal. Beragam pertanyaan dan kerisauan muncul. Komik melulu bacaannya, benarkah ini ? Dapat apa dia dengan membaca komik ? Apakah tidak lebih baik membaca buku yang lebih bermutu ? (bermutu dari kacamata saya pastinya). Di usianya, anak-anak sekolah sudah belajar musim dan bilangan sampai 100 dan anakku masih hahahhihi dengan komik. Salahkah saya ? 


Sangking risaunya  saya sempat kurang jernih berpikir. Galau. Fatalnya, saya juga membandingkan Aro dengan anak lain. Saya pun kemudan melarang dan menyimpan komik-komik itu beberapa lama. Aro boleh membaca apa saja selain komik.


Atmosfernya langsung berubah. Aro tetap membaca namun tidak segembira dan menikmati ketika membaca komik. tidak ada kikik geli dan suka cita. Membaca bukan hal yang menyenangkan lagi baginya.


Saya pun mengajaknya ngobrol. Benar-benar ngobrol dua arah (tidak monolog). Saya  mendengarkan dan berbicara begitupun dengan Aro. Ia mengungkapkan perasaannya. Aro sangat menikmati komik dan merasa sedih saat tidak boleh membacanya lagi. Saya pun mengatakan tentang kekhawatiran tentang bacaan komik. 


Mungkin obrolan seperti ini tidak biasa. Yang sering terjadi, anak hanya mendengarkan ibunya monolog dan mengatakan ya untuk semua aturan yang dibuat tanpa ada ruang berdialog. Anak harus menurut pada Ortu, titik. Namun di keluarga kami, ngobrol seperti ini jadi kegiatan yang coba kami rawat meski pun  si anak masih kecil, dia tetap punya hak bersuara. 


Dari obrolan curhat ini kemudian kami pun menyepakati kalau Aro boleh membaca komik lagi. Saya juga menyamakan persepsi dan belajar percaya dengannya. 


Untuk menguatkan diri sendiri, saya mengamati dan menulis hal-hal yang ada di Aro saat membaca komik ini.  Semua saya catat. Apa yang ditanyakan, bahasan apa yang menarik, bagaimana satu rasa ingin tahu mengkait ke rasa ingin tahu yang lain. Mirip membuat jurnal perkembangan harian namun berdasarkan pengamatan, bukan nilai 1-10.


Saat membaca kembali catatan-catatan ini, saya pun menjadi semakin mengamini bahwa belajar melalui apa yang disukai dan diminati itu kunci. Dari sana, Aro belajar tidak hanya cekikikan tanpa arti. Dia belajar karakter (tokoh), negara tempat penulis berasal. Saat dia gandrung komik Doraemon,  Jepang menjadi negara yang dicari tahu lebih detail termasuk seniman-seniman negeri itu. Kebetulan Aro pernah melihat karya Yayoi Kusama di Museum Macan. Selain itu, dari cerita komik pula Aro tahu apa yang terjadi di Hiroshima dan  Nagasaki tahun 1945. Saya sempat menceritakan sedikit bagaimana situasi itu juga mempengaruhi negaranya, Indonesia. 


Dimulai dari komik juga lalu kami menjelajah mengunakan buku-buku lain dan beberapa aplikasi di ponsel pintar untuk meluaskan obrolan. Berangkatnya memang dari komik namun ternyata letupan rasa ingin tahu akan suatu hal mengantarkan ke rasa ingin tahu pada hal lainnya. Begitu terus dan itu seru sekali.


Tidak membatasi diri dengan model bacaan ternyata membawa kami menjelajahi banyak hal.  Kesini-sini bukan hanya komik tapi jadi bacaan yang lebih beragam. Ada Bobo edisi 90-an, katalog belanja dari super market, bungkus makanan, atau lainnya.


Tentang Bobo, ketertarikan Aro dengan majalah ini bukan karena isinya menarik. Dia ingin  membaca majalah yang dibaca ibunya saat kecil. Alasan yang personal sekali bukan? Anak-anak senang bila kita berbagi kegemaran kita di masa lalu dengan mereka. Bagi Aro, menarik membaca majalah di masa kecil ibunya. Seperti time travel, selorohnya. Merasakan saya saat masih kecil dan membaca Bobo bersama-sama. Sesuatu yang hangat sekali. 


Jadi kita perlu percaya diri membagi bacaan masa kecil kepada anak-anak, jangan sampai merasa bacaan kita itu buruk dan kurang bermutu hanya karena pengetahuan atau buku-buku baru yang muncul kemudian.


Pengalaman ini memperkayakan wawasan saya  bahwa belajar bisa melalui apapun dengan media yang beragam. Tidak terpaku dengan satu cara. Saat kita memakai hal menarik menurut anak-anak, maka proses belajar itu bisa sangat menyenangkan dan tidak terasa kalau sedang belajar. 


Yang kita butuhkan adalah kesediaan untuk mengamati anak, mau memakai sudut pandangnya (ga melulu dari sudut kita orang dewasa), bersedia kapan saja membantu bila dibutuhkan, dan menjelajahi pengetahuan bersama mereka.  Kalau memang diperlukan, bisa diperkaya wawasannya dengan bantuan sumber pengetahuan yang lain. Asal tidak terjebak pada memberikan lebih dari yang anak butuhkan. Itu akan sangat membosankan dan mengesalkan bagi mereka. Berikan saja sejauh dan sebanyak yang mereka mau. Saat mereka mulai terlihat bosan dan ingin berpindah fokus pada hal yang lain, ikuti saja. Bisa jadi itu hanya jalur memutar untuk sampai pada fokus awalnya. Kata orang Jawa, "yo sing sabar."

3 Komentar

  1. Ini mematahkan kesaktian living book. 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya berbeda cara pandang dan preferensi saja sih. Seperti ada orang yang cocok minum kopi dan ada yang lebih cocok minum air putih. Tidak perlu dibandingkan :-)

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus