Kami memilih untuk mendidik Aro, anak kami, di rumah alias tidak mengirimnya ke sekolah formal. Sebuah keputusan yang telah saya dan Obi diskusikan jauh-jauh hari sebelum dia lahir. Sebuah keputusan yang menjadi pintu pembuka bagi pengalaman dan pelajaran yang berbeda dengan teman-teman yang memilih untuk mengirim anaknya ke sekolah formal. Tulisan ini ingin membandingkan pengalaman pembelajaran tanpa maksud untuk menempatkan satu lebih baik dari yang lain. 

Ketika orang tua memilih mengirim anak ke sebuah institusi pendidikan bernama sekolah, biasanya mereka tak lagi direpotkan untuk memikirkan kurikulum dan bagaimana proses belajar anaknya. Mengirim anak ke sekolah artinya kita mendelegasikan proses belajar anak kepada pihak ketiga (sekolah dan guru). Ya, meski sebenarnya peran ortu masih diperlukan dalam membantu keberhasilan proses belajar anak di sekolah. Terlihat di masa pandemi ini dimana ortu harus jungkir balik mendampingi anak-anak belajar di rumah. Tak jarang, baik orang tua dan anak, sampai senewen dan uring-uringan. 

Pengalaman berbeda dengan orang tua yang memilih tidak mengirim anak ke sekolah. Sejak awal kami mengambil tanggung jawab sepenuhnya akan proses belajar anak. Memegang kendali sendiri dengan model belajar yang juga merupakan hasil pilihan dan negosiasi antara rang tua dan anak. Berhasil atau gagal, kami yang menanggung sepenuhnya. Tidak ada pihak ketiga yang bisa disalahkan atau dijadikan kambing hitam. Terlihat agak nekad tetapi tidak apa-apa ya ? 😀

Keputusan ini mengharuskan kami untuk mencari referensi dan mempelajari hal-hal terkait proses belajar anak. Salah satu konsekuensi yang harus diterima para ortu saat tidak mengirim anak ke sekolah adalah mau repot belajar dan belajar lagi. Termasuk tentang metode atau kurikulumnya yang akan digunakan. Dulu saat masih bekerja sebagai guru, saya hanya tahu kurikulum nasional, sedikit kurikulum Cambridge, dan kurikulum Al Azhar saja. 

Pilihan mendidik anak sendiri ini “memaksa” saya untuk banyak membaca dan ikut group - group belajar sana-sini. Ikut majelis ilmu istilah kerennya. Dari proses ini saya mengetahui begitu banyaknya kurikulum dan metode belajar. Ada Montessori, Steiner (Waldorf), Charlotte Manson, dan lainnya. Kalau isitilah anak sekaraing, ternyata mainnya kurang jauh. 

Mencoba mengaplikasikan dalam keseharian metode-metode luar biasa yang saya pikir oke bila diterapkan buat Aro. Tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Jauh panggang dari api. Yang saya anggap bagus itu ternyata tidak pas dengan Aro. Bongkar pasang metode dan kurikulum. Kok bisa ? Ya, bisa. Menariknya melakukan pendidikan sendiri untuk anak adalah kita tidak dikejar dengan waktu dan ketuntasan minimal anak. Mencoba banyak metode pun kami maknai sebagai proses belajar. Jadi tetap bukan sebuah kesia-siaan. 

Mengamini bahwa setiap anak unik. Setelah mencoba beberapa metode dan kurikulum, saya dan Obi pun sepakat untuk tidak memakai kurikulum. Kurikulumnya si anak sendiri. Konsep pentingnya adalah melihat anak secara utuh dan mendukung penuh rasa ingin tahunya. 

Model belajar ini jamak disebut sebagai unschooling. Terdengar aneh mungkin bagi sebagian orang. Bagaimana kemudian cara belajarnya ? Dibiarkan saja atau dibolehkan semuanya asal anak senang ? Padahal saat disuruh memilih, anak akan cenderung pada hal-hal yang menyenangkannya saja, main game misalnya. Lalu kapan dan bagaimana belajarnya ? 

Unschooling ini modelnya sangat terbuka. Karena terbuka dan membebaskan, kerap banyak yang salah paham bahwa metode ini adalah model 'pembiaran', anak diminta mengurus dirinya sendiri. 

Berbeda dengan pandangan diatas, unschooling yang saya pahami justru berusaha menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kontekstual untuk merawat inisiatif anak sebagai pembelajar atau pencari pengetahuan. Salah satu kuncinya adalah menemani mereka untuk belajar tentang hal apapun yang ingin mereka ketahui tanpa harus didikte oleh orang-orang dewasa sekitar mereka. Ketika memiliki waktu luas untuk mempelajari sesuatu, tidak diburu dengan waktu atau bahkan penilaian, akan banyak muncul hal-hal ajaib dan tidak terduga. Kami berusaha untuk menjadikan proses belajar itu sebagai petualangan miliknya sendiri. Sealami mungkin dan bukan hasil buatan orang dewasa yang harus dikerjakan anak-anak. 

Unschooling digagas oleh seorang pendidik Amerika bernama John Holt di tahun 1970-an. Holt awalnya ingin mengubah sistem sekolah yang dirasa merugikan murid dari dalam namun sayang tidak berhasil. Lalu ia pun mengadvokasi para ortu yang ingin mengeluarkan anak mereka dari sekolah dan mendidiknya sendiri. Ia juga menggagas majalah Growing without schooling, Sebuah majalah berisi surat menyurat dari para ortu di banyak negara yang menceritakan perkembangan anaknya saat belajar secara mandiri di rumah. 

Salah satu hal yang menurut kami penting dalam metode unschooling ini karena pendekatannya yang terbuka dengan nilai, pandangan dan pengalaman dari masing-masing keluarga. Keterbukaan ini kemudian melahirkan praktek unschooling yang sangat beragam. Seperti bermain lego, bongkar pasang gagasan dan cara belajar dalam metode unschooling ini membawa pengalaman yang berbeda-beda pada tiap-tiap keluarga yang mempraktekannya. Bahkan “hasil” di tiap anak yang dididik dalam satu keluarga dengan metode unschooling pun bisa jadi berbeda. Seperti memilih sepatu yang hanya pas di kaki kita, pilihan metode unschooling ini merupakan metode yang kami rasa paling pas untuk kami terapkan. 

Bagaimana denganmu?

0 Komentar