Lebih dari tiga per empat usia saya habiskan di sekolah. Bisa dikatakan saya adalah produk sekolah murni, tanpa campuran seperti bensin eceran. Bersekolah mulai jenjang Taman Kanak-kanak sampai kuliah, saya lampaui. Apalagi kedua ortu saya berprofesi sebagai guru. Saya pun sempat mengajar hampir delapan tahun di sebuah sekolah dasar di Surabaya. Kenyataan dan pengalaman tentang persekolahan ini mau tak mau sangat membekas. Mewarnai entah banyak atau sedikit pada cara pandang dan bagaimana saya mengambil keputusan akan sesuatu. Terutama yang berkenaan dengan 'kegiatan belajar' bersama anak. 

Namun pengalaman ini juga yang mengarahkan saya pada rencana untuk tidak mengirim anak saya ke sekolah formal. Rencana ini bahkan telah terpikir sebelum anak saya lahir. 

Sepertinya menarik dapat memberi kesempatan untuk anak saya bermain sebebas dan selama mungkin. Tak risau dengan tugas sekolah atau les ini dan itu. Belajar tentang hal-hal yang menyenangkan dengan gembira. 

Harapan yang agak egois mungkin ya ? Meski sebenarnya keinginan itu muncul karena melihat anak-anak sekolah yang hari-harinya habis untuk mengerjakan PR dan les untuk lulus ujian. Usai ujian, semua yang mereka pelajari seringnya sudah lupa (saya banget kalau yang ini). Keinginan yang hanya disambut dengan anggukan tanpa banyak komentar oleh Obi, suami saya. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata saat itu dia tidak paham maksud “ga mengirim anak ke sekolah” 😅

Berbeda dengan ungkapan “waktu terasa berjalan cepat”, kali ini “waktu berjalan begitu lambat” bagi proses belajar untuk anak kami, Aro. Ide tidak mengirim ke sekolah telah ada dan disepakati. Namun ternyata pola pikir dan cara pandang saya masih versi sekolahan. 

Saya mencari tahu dan belajar hal-hal yang sangat akademis buat Aro. Mencari banyak referensi baik tentang kurikulum, bahan ajar, metode, dan lainnya. Mirip guru di awal tahun pelajaran sekolah. Membaca kurikulum, membedahnya (ala saya tentunya), membuat silabus, sampai rencana pembelajaran setiap term (3 bulanan) lengkap dengan tema dan tanggal kegiatan. 

Waw…sekali rasanya sebab setelah itu hasil 'kerja keras' saya ternyata ga jalan. Semingguan kami mencoba menjalani apa yang sudah saya siapkan. Apa yang terjadi? Alih-alih proses belajar yang menyenangkan, yang terjadi adalah bencana. 

Aro sama sekali tidak gembira menjalani proses belajarnya. Ia yang saat itu berusia 6 tahun menjalani kurikulum belajar yang saya siapkan dengan seadanya atau sak madya saja. Saya uring-uringan dibuatnya. 

Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benak saya. Benar tidak ya apa yang sudah saya lakukan ? Mengapa menjalaninya seperti tertekan sekali, tidak ada kegembiraan sama sekali ? Apa yang harus diubah ? Kalau belajar hanya memunculkan ketakutan dan kecemasan, belajarkah itu namanya? 

Ngobrollah saya dengan Obi. Mengevaluasi dan merefleksikan apa yang sudah dijalani. Beberapa metode sebenarnya sudah kami coba juga. Namun, melihat ke Aro sendiri sepertinya ada yang belum klik. Ia tipe anak yang punya gaya belajar bebas. Tidak bisa memakai model terjadwal apalagi terstruktur. Mengikuti rasa ingin tahu dan hal-hal yang sedang menarik perhatiannya saja. Ada saat dia hanya sekilas tertarik sesuatu, namun ada saat ia lama sekali tenggelam mengamati dan mempelajari satu hal. 

Obi pun mengusulkan untuk kami mengambil langkah mundur. Mengendurkan tekanan dan menurunkan ekspektasi. Menambah stok humor dan kesabaran. Main saja dengan Aro. Perbanyak bercanda. Membersamainya dengan apa adanya dia tanpa melihat goal ini dan itu. Tidak melihat anak teman lain sudah bisa apa. Tidak ngintip kurikulum apapun. Semua diletakkan di satu pojok yang jauh dari jangkauan. 

Mengamati bagaimana dia bermain dan apa saja yang bisa dilakukannya saat melakukan hal-hal yang membuatnya gembira dan tertarik. Masak bersama, menyiram tanaman, membaca sambil tiduran, atau bahkan lihat film di kamar. 

Kegiatan yang sepertinya tanpa tujuan ini ternyata membuat kehidupan menemani Aro lebih mudah bagi saya. Proses ini saya maknai sebagai perjalanan men-deschooling diri. Membebaskan diri dari rutinitas dan cara pandang a la sekolah. Keluar dari kesibukan persekolahan. 

Mulai melihat bahwa belajar itu ada dalam kehidupan kita dan tidak hanya sekedar mengerjakan latihan soal atau juga menjalani sebuah kurikulum tertentu. Melihat matahari terbit begitu indahnya, embun yang jatuh di rumput, atau juga mengamati orang berlalu-lalang di pasar dengan semua hal yang melingkupinya pun bisa jadi aktivitas belajar. 

Saat tidak sedang berkegiatan dengan Aro, saya membaca referensi tentang belajar tanpa kurikulum alias unschooling ini. Banyak sumber bacaan dimana-mana, baik buku cetak maupun internet. 

Waktu deschooling ini beragam dari masing-masing orang. Ada yang butuh dua minggu, sebulan, bahkan enam bulan. Bagi saya sendiri, sekitar 3 minggu. Yang pasti proses ini bukan tanpa batas waktunya. Jangan sampai, karena ingin enaknya saja dan tidak mau bersusah-susah menemani proses belajar anak berdalih masih dalam rangka deschooling.

Mari tumbuh mekar bersama-sama.

0 Komentar