Nggu itu G-nya dobel ya ? Saya mengiyakan. Aro mengangguk puas lalu kembali meneruskan kegiatannya. Entah apa yang ditulisnya. Dia sedang sibuk mempersiapkan sesuatu untuk ditampilkan di playdate daring bersama teman-teman komunitasnya.  Kertas-kertas dan spidol warna berserakan di mana-mana. Menghampiri saya bila perlu bantuan atau bertanya sesuatu saja. Selebihnya, dia asyik bekerja sendirian.


Dua minggu sekali, Aro ikut playdate online melalui zoom bersama teman-teman komunitas. Pertemuan yang biasanya tatap muka berganti cara sejak pandemi ini. Anak-anak di rentang usia 5 sampai 9 tahun bertemu secara daring dengan tetap ditemani ortu. 


Ortu mengambil bagian untuk bertugas teknis seperti menjadi host dan moderator juga pengisi materi. Sebagai komunitas, beginilah cara kami menghidupi komunitas Kerlap ini. Berbagi tugas agar setiap kegiatan dapat berjalan.


Bulan ini tema playdate adalah first aid. Salah satu ortu yang berprofesi sebagai dokter dan senang bercerita mau berbagi cerita tentang tema ini. Bercerita tentang kecelakaan-kecelakaan kecil sehari-hari yang sering dialami dan bagaimana mengatasinya. Sekitar dua puluh anak ikut playdate yang berlangsung selama satu setengah jam ini. Interaksinya mengalir saja selama pertemuan. Anak-anak pun bebas bertanya dan bercerita. 


Biasanya, ada tugas di akhir sesi. Tugasnya bebas buat apa saja asal sesuai tema. Jadi wujudnya bisa bermacam-macam sesuai ide masing-masing anak. Tidak ada juara siapa terbaik, hanya apresiasi di semua tugas yang telah dibuat. Aro cukup bisa menikmati kegiatan daring ini.  Oase baginya saat tidak bisa bertemu teman-teman seperti saat sebelum pandemi. 


Tema kali ini ternyata cukup 'menakutkan' bagi Aro. Apalagi ada cerita tentang mimisan dan berdarah-darah kejepit pintu. Rasa ngeri dan ingin tahu menderanya silih berganti sampai harus minum beberapa gelas untuk menenangkan diri. 


Reaksi setiap anak pasti berbeda. Kadang, hal biasa bagi seorang anak bisa jadi menakutkan atau aneh bagi anak yang lain. Alih-alih mengolok atau menegasikan apa yang ia rasakan, saya memilih untuk berempati. Tidak banyak berkomentar. Nanti saja setelah ia berhasil menguasai emosinya. Bagi saya, ini juga bagian dari proses untuk saling mempercayai kemampuan masing-masing. Saya mempercayainya dan ia mempercayai saya untuk mempercayainya. 


Mbulet ya? Tapi begitulah. Kepercayaan itu bukan sesuatu yang terberi (given) secara kodian tapi hal yang tumbuh dan perlu dipupuk dari peristiwa keseharian.


Meski cukup menikmati playdate-nya, ternyata Aro tidak memiliki ide mau membuat apa untuk tugasnya.  Sampai 4 hari sebelum hari H, tetap “no idea”. “Masih berpikir, Bunda”, katanya setiap saya tanya tentang tugasnya. Saya pun mengajaknya ngobrol. Ternyata ia cukup terganggu dengan gambaran orang yang panik dengan luka. Mirip-mirip mental block sepertinya. Membicarakan kecemasan dan rasa gamang yang menderanya menjadi semacam mekanisme healing untuk kami. 


"Bagaimana kalau kamu cerita saja tentang Doraemon ?" Saya mencoba mengusulkan hal-hal yang dia sukai. Kebetulan Aro sedang senang baca komik dan karakter Doraemon sangat digemarinya.

"Memang boleh buat komik, Nda?"

"Boleh saja. Mengapa tidak ?" 


Jawaban saya membuat senyumnya muncul. Cihuy! Aro pun berlalu. Mengambil kertas dan duduk di mejanya. Menggambar. Hampir dua jam dia menggambar. Esoknya pun, bangun jam 6 pagi hanya untuk melanjutkan menggambar. Ada 10 halaman dengan 31 kotak peristiwa yang berhasil dibuatnya. Usulan sederhana yang diterima dengan gembira dan diwujudkan dalam ketekunan.

gambar komik berserakan di lantai

Benar saja. Kegembiraan akan sesuatu menjadi pintu masuk bagi anak untuk menikmati proses belajarnya. Dari sini saya belajar bahwa selalu menyodorkan yang terbaik versi orang dewasa bukanlah satu-satunya pilihan. Di titik inilah kami bersepakat bahwa anak-anak adalah subyek, bukan obyek belajar.


Pada kasus Aro, saya dan Obi hanya memberi fasilitas dan menyediakan diri bila dimintai bantuan.  Aro minta tolong kami membantu mewarnai beberapa tokoh dan mempersiapkan power pointnya. Selebihnya, semua dilakukannya sendiri. Bahkan ia mengerjakan sendiri power poin setelah tahu bagaimana cara mengoperasikan aplikasi power point. Ini kali ya bedanya generasi digital native dan digital imigrant 😀


Buat kami, menarik melihat kebebasan yang diberikan kepada anak bisa berdampak ke hal-hal tak terduga. Saat mereka bebas dari rasa cemas dan takut, boleh melakukan sesuatu berdasarkan  hal-hal yang disukai, maka kreativitas pun bermunculan. 


Selain itu, menjaga api rasa ingin tahu anak tetap terjaga itu kunci.  Meski mungkin ada perasaan cemas dan gamang akan sesuatu, namun selama masih ada rasa ingin tahu, semua itu layak dijaga dan diperjuangkan demi sebuah pengalaman proses belajar. Seperti kata Kahlil Gibran, “anakmu bukanlah anakmu” karena mereka punya jalan sendiri mengalami pengetahuan.

0 Komentar