"Nda, ternyata dulu banyak ya tulisanku yang hurufnya hilang", saya menoleh. Aro sedang membukai kumpulan tulisannya yang memang sengaja saya simpan. "Dulu aku belum lancar baca tulis. Beda dengan sekarang." 

Saya hanya hm...hm...saja menjawabnya.

Perjalanan baca tulis Aro modelnya free style. Saya dan Obi sepakat tidak mengajari atau memaksanya belajar baca tulis secara terstruktur. Bebas saja seiring kesiapannya. Pilihan ini mungkin juga karena kami tidak mengirimnya ke sekolah formal jadi tidak ada tuntutan bisa baca tulis secepatnya. Tidak senewen dengan pertanyaan, 'lho, belum bisa baca?' atau ga bisa menjawabsoal-soal karena tidak lancar baca atau sejenisnya. 

Meski tidak mengajari baca tulis ini, kami membacakan buku cerita sejak dia masih kecil. Membacakan buku cerita apa saja tanpa berharap dia bisa membaca. Senang dengan suasana saat membacakan buku. Aro yang nempel di pundak atau duduk di pangkuan. Kadang sambil tiduran tanpa melihat bukunya namun mendengar ceritanya.

Selain itu, saya dan Obi pun biasa ada waktu membaca. Tidak melulu dengan gawai atau laptop. Jadi mungkin kegiatan membaca ini  pemandangan dan hal biasa bagi Aro.

Dia mulai tertarik baca tulis usia 4 tahun. Tapi belum konsisten. Hanya senang menulis namanya sendiri dan ortu. Rasa ingin tahunya muncul lebih banyak untuk bisa baca tulis itu bukan melalui buku tetapi pada daftar menu makanan. Membaca dan bisa memilih menu makanan sendiri buatnya membanggakan. Senyumnya yang lebar saat dia bisa membaca dan memilih menu sesuai dengan pilihannya seolah menandakan kesetaraan dengan orang dewasa aka ortunya. 

Pemantik lain untuk segera lancar baca tulis selain daftar menu makanan ternyata  adalah buku resep masakan. Aro senang memasak. Buat ini itu dengan Obi sebab saya menyerah untuk hal beginian. Kalau sekedar ngincip dan memberi komentar, okelah hahaha.

Membaca bahan yang diperlukan dan cara membuat sebuah makanan menjadi keasyikan tersendiri. Bisa berjam-jam dia sendirian membukai buku resep. Bertanya bila ada yang tidak dipahami seperti untuk ukuran berat, perbedaan suhu antara Celcius dengan Fahrenheit, atau kosakata yang kurang familiar. Saya tidak yakin dia paham atau tidak namun sepertinya Aro tidak menumui masalah membaca buku-buku resep itu sebab dia tidak bertanya-tanya lagi.

Geli juga membaca catatan perjalanan baca tulis Aro ini. Buku-buku yang kami bacakan sejak dia kecil tidak ada buku resep masakan.  Semua buku cerita imajinatif atau seri tokoh. Jadi meneguhkan dugaan bahwa membacakan buku itu bukan jalan pintas untuk membuat semua anak mau belajar membaca. Akrab dengan buku mungkin iya tapi apa yang bisa menumbuhkan minat bacanya ternyata bisa apapun. Jadi buat kita, ibu-ibu, membacakan buku cerita ke anak itu dibuat fun saja. Tidak usah berekspektasi anaknya langsung mau dan bisa baca. Senewen nanti.

Usia 5 tahunan, Aro mulai senang menulis pesan dan kesan di tempat dimana kami selesai makan. Meski hurufnya banyak yang hilang, kami memilih tidak mengkoreksinya. Sayang kalau semangat dan kepercayaan dirinya hancur dan dia berhenti meneruskan petualangan baca tulis ini. Soal huruf hilang itu bukan sesuatu yang urgent buat dikoreksi. Bisa kapan-kapan.

Pilihan tidak langsung mengkoreksi kesalahan anak dalam perjalanan belajar baca tulis ini Saya nyontek John Holt. Di buku Bagaimana Siswa Belajar, Holt mengatakan bahwa saat anak-anak dibiarkan sendiri, tidak diburu-buru, tidak ditekan, dan tidak dibuat gelisah, mereka akan menemukan dan memperbaiki hampir semua kesalahan baca tulis yang pernah dilakukannya.

Pada kasus Aro, pendapat Holt ini sesuai. Kami jarang sekali mengkoreksi kemampuan baca tulisnya. Tidak juga memuji-muji. Seiring dengan kemampuan yang berkembang, Aro bisa menemukan kekeliruan yang dilakukan. Bisa menemukan dan membenarkan kesalahan sendiri bagi kami adalah hal yang perlu dikembangkan pada anak sebab hal itu menjadi salah satu cara mereka bisa belajar problem solving. 

Meski tidak mengajari baca tulis secara formal, hal lain yang kami lakukan adalah membuka akses buku seluas-luasnya. Beragam buku yang kami anggap bagus kami letakkan di rak Aro. Boleh dibuka baca kalau tertarik namun kami tidak memaksanya untuk membaca. Ada buku yang baru dia buka setelah 3 tahun kami beli dan itu tidak satu dua buku saja.

Mungkin ada keluarga memiliki cerita berbeda. Perjalanan proses baca tulis tiap anak memang unik dan berbeda-beda. Tidak bisa kita membuat jadwal usia segini sudah harus lancar baca tulis agar usia segini mampu menulis buku misalnya. 

Buat saya, sayang saja jika kesenangan akan proses belajar baca tulis pada anak-anak ini sirna hanya karena ego kita sebagai orang dewasa. Ingin menggegas kemampuan anak-anak agar segera berkembang namun kita kehilangan semangat belajar mereka. Menyedihkan bukan?

0 Komentar