Tahun ini, Saya dan Aro bisa merasakan keriuhan pembuatan ketupat di rumah ortu. Biasanya, tiga atau empat hari setelah lebaran kami sudah berpindah ke kota lain untuk mengunjungi ortu Obi. Tahun ini berbeda. Lebaran di masa pandemi kami tidak kemana-mana.

Ketupat di desa Saya tidak disajikan pada hari raya namun tujuh hari setelahnya. Biasa disebut lebaran ketupat sebagai penanda  puasa sunnah Syawal telah ditunaikan. Ketupat ini ada bersama teman-temannya seperti lontong, lepet, opor ayam, dan sayur kikil lengkap dengan kacang ose. Sedap sekali!

Dulu, hampir semua rumah membuat dan diantar ke tetangga. Mirip satu adegan di Reply 1988. Akibatnya, meja makan penuh ketupat aneka versi dan rasa. Bisa seminggu penuh 'terpaksa' makan ketupat lontong dan teman-temannya sebab ibu berkeras tidak masak nasi selama masih ada lontong ketupat. 


Saat ini, situasi berbeda. Banyak tetangga yang membawanya ke mushola dan dimakan bersama di sana. Lebih irit adalah alasan utamanya. 

Namun, ada beberapa orang yang masih mengantar ke tetangga termasuk ortu saya. Pertimbangannya adalah tidak semua orang ke mushola jadi biar semua bisa merasakan. Saya senang sekali dengan pandangan ini. 

Keseruan membuat ketupat jelas tidak Saya sia-siakan sebagai kesempatan Aro untuk belajar. Ini satu strategi belajar murah ala saya. Banyak hal bisa dijadikan media belajar. Tema besarnya ketupat, tetapi bisa diluaskan makna dan proses belajarnya menjadi bermacam-macam, berhitung, seni, bahasa, sejarah, ketrampilan, agama, dan lainnya. 

Bijak sekali ya? Padahal dulu, Saya termasuk yang memandang remeh kegiatan ini. Apaan jalin menjalin janur, beli kan banyak di pasar. Buat lontong juga perlu waktu berjam-jam dengan tungku api dari pembakaran kayu. Sangit, panas, dan berkeringat. Tidak menarik. Sudah susah, ga masuk dalam ujian lagi. Klop segala pembenaran berdasarkan rasa tidak suka saya.

Itu dulu. Pola pikirnya berubah sekarang. Lebih berwawasan dan mampu melihat potensi sebagai kesempatan belajar hahaha..

Pada kasus Aro, kegiatan ini lebih sebagai prosesnya mengelola emosi dan ketekunan. Aro ingin sekali bisa membuat ketupat. Sayang, telapak tangannya masih terlalu kecil untuk menahan tiga belitan janur pertama kali. Keinginan untuk bisa dan realita bahwa tangannya terlalu kecil membuatnya sempat uring-uringan. Masukan apapun dari kakek neneknya atau saya tidak didengarkan. Aro sempat memerlukan waktu sendirian di kamar.

Saya memilih memberinya waktu beberapa saat sebelum mengetuk kamar. Mendengar isi hatinya. Mengiyakan kesedihan yang dirasakannya. Belajar ada diposisinya. Sejauh ini, cara tersebut cukup ampuh. Aro akan segera bisa dealing dengan perasaannya dan ceria lagi. 


Aro tetap belum bisa membuat cangkang ketupat. Tetapi dia berhasil membuat burung dari pelepah daun kelapa ini. Bertambah gembira ketika tahu burung jamurnya bisa diisi beras seperti ketupat.
Ketuntasan materi bagi saya adalah melihat dia berbinar-binar dan gembira saat bercerita apa yang dilakukan.

Saya tidak yakin benar apa yang dipelajari dari kegiatan tahunan ini. Namun saya yakin ada kenangan indah di sana. Masa-masa mengenal dan belajar membuat ketupat itu ever lasting.

Terima kasih fotonya Joko Prasetyo.

2 Komentar

  1. Sayang lebaran ini tidak bisa mudik gara-gara covid-19. Hilang deh kesempatan mendokumentasikan kegiatan budaya tahunan ini. Semoga tahun depan diberi kesempatan mendokumentasikan kegaitan budaya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga pandemi segera berlalu dan bisa ke Kediri lagi ya.

      Hapus