"Ada tidak nutrisinya?" Aro menggeleng.

"Tapi mengapa diberikan kalau tidak ada nutrisinya?" Aro menunduk sambil masih memegang kemasan makanan kecil. Kemasan berwarna hitam mengkilap dengan tulisan menyolok. Menarik dan mengundang ingin tahu anak untuk mencicipi isinya.



Pembicaraan yang terjadi bermula dari sayatan (bingkisan makanan) yang didapatnya saat ikut melihat bayi baru lahir di rumah sepupu. Seplastik penuh dengan makanan kemasan buatan pabrik plus sebotol teh. Sesuatu yang sangat jarang dia dapat saat di Depok. Serasa mendapat harta karun.

Saya dan Aro untuk beberapa waktu ini tinggal di desa, tempat ortu. Ada kecendrungan di sini, sayatan (bingkisan makanan) yang dibawa pulang dari hajatan, entah itu sunatan, kelahiran, atau pernikahan itu sudah berubah isinya. Dulu, ada aneka jajan tradisional dari rengginang, krupuk sadariyah, jenang, jadah, bolu telur, dan madu mangsa juga pisang. Karena alasan ribet, lebih praktis, dan murah, segala makanan legendaris itu hilang, berubah menjadi makanan kemasan dari pabrik ditambah teh botol atau bahkan mie instan. Ironis ya? Tetapi itu kenyataan di desa ortu saya sekarang.

Meski bukan aliran die hard, namun saya memutuskan untuk membiasakan Aro makan makanan sehat. Makanan yang tidak sekedar kenyang namun ada nutrisinya. Bahasa kerennya, real food. Jelas kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Yah...meski kalau terlalu lempeng juga tidak menarik hehehe.

Berkeras untuk menjalankan sesuatu yang selama ini dilakukan seperti ketika di Depok bukan pilihan Saya saat ini. Saya cukup sadar kalau tantangan dan godaan terlalu berat buat anak usia 7 tahun ini. Apalagi, di rumah ortu ada yang gemar makan mie instan. Tahu kan, bagaimana dahsyatnya godaan aromanya (bukan rasanya)? Mantan penggemar burjo pasti tahu sensasinya.

Sebuah cerita dari seorang teman guru ketika masih mengajar dulu cukup membekas dalam ingatan. Saat itu ada pengambilan nilai di kelas. Teman saya menjanjikan akan mentraktir siapa pun yang nilainya paling baik di kantin sekolah. Boleh memilih apa saja. Kebetulan yang mendapat adalah seorang anak cerdas, kalem, dan selalu membawa bekal sehat dari rumah. Yang diminta adalah ote-ote, sebutan bakwan sayur di Surabaya. Teman saya heran mengapa yang dipilih makanan 'biasa' sekali. Ternyata, sudah lama si anak penasaran dengan ote-ote. Dia melihat guru (teman saya) dan teman-teman lain terlihat enak sekali makannya. Saat dia minta ke ibunya, ditolak sebab menganggap sebagai makanan tidak sehat. Gorengan lagi. Jadi, saat ada kesempatan dibelikan teman saya, dia senang karena bisa merasakan ote-ote dan tidak takut dimarahi ibunya nanti.

Melarang dengan bekal kata "tidak boleh karena tidak sehat" akan baik pada sementara waktu saja. Akan dipatuhi selama pemberi perintah terlihat mengawasi. Selain efeknya hanya sementara juga memicu rasa penasaran anak sehingga bukan tidak mungkin suatu saat tanpa sepengetahuan kita, mereka mencoba. Kalau masih makanan junk food tidak masalah, bagaimana kalau hal-hal yang berbahaya atau bahkan melanggar hukum? 

Membiasakan pola makan sehat bukan sesuatu yang mudah. Ribet malah. Selain membiasakan makan yang benar juga memahamkan anak untuk mencermati kandungan nutrisi yang tertera pada makanan kemasan juga masa kadaluarsa sebelum mengkonsumsinya.

Harus mau ribet dan repot di awal memang. Model instruksi boleh atau tidak boleh bukan pilihan kami sebab hal itu berkorelasi dengan adanya sanksi (hukuman). Ngobrol dan melatih anak untuk bisa mengolah informasi menurut kami lebih menarik meski harus mau repot dan bersabar di awal. Apalagi saat usianya bertambah dan bacaan atau sumber informasinya mulai bertambah. Harus sabar dengan ilmu ngeyel tingkat mahir yang mulai dipraktekkan si bocah.


Namun justru disitulah peran kita sebagai orang tua. Menemani ia tumbuh dan mengembangkan keingintahuannya alih-alih hanya memberikan instruksi ini boleh atau tidak. Menjadi fasilitator daripada instruktur. Karena ini adalah kehidupan, bukan sanggar senam  😁

0 Komentar