"Nda, tadi bicara apa dengan yangkung dan yangti? Kok buka-buka kalender?"

"Bicara kenduri untuk orang tua yangkung dan yangti."

"Terus, yang pahing kliwon itu apa?"

"Hm...itu hari atau dina pasaran."

"Apa itu?"

Jadilah kami ngobrolin hari pasaran orang Jawa ini. Tentang mengapa kami masih menggunakannya, tentang nama-namanya, dan beberapa hal lain. Sekalian menjadi tema belajar kali ini. Kebetulan model belajar Aro lebih  banyak menganut metode spontanitas, berdasarkan rasa ingin tahu dan kegemaran anak. Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut lalu diperkaya dan diperluas, sesuai dengan kebutuhan Aro. 

Obrolan saya dengan kakek neneknya tadi ternyata memantik rasa ingin tahunya. Meski kami banyak menggunakan bahasa Jawa dan istilah-istilah yang baru pertama didengar Aro. Ia tidak menyela obrolan, namun ikut mendengarkan. Bertanya sekilas saja. Pertanyaan panjang biasanya dilontarkan kepada Saya bila rasa ingin tahunya masih besar seperti sekarang ini.

Mengenalkan dina pasaran ke Aro  saya anggap perlu sebab bagaimanapun, kami orang Jawa yang masih menggunakan sistem kalender ini untuk beberapa hal.

Saya pun mengambil kalender yang kami gunakan tadi. Kalender khas  kakek nenek, dengan angka-angka besar tanpa gambar lengkap dengan wuku dan dina pasaran.

Konon, penanggalan Jawa ini dibuat pada masa kerajaan Mataram oleh Ronggowarsito berdasarkan peredaran bulan. Dilekatkan dengan hari-hari yang sudah ada (Senin, Selasa,...,Minggu). Dina pasaran sendiri hanya ada 5. Dimulai dari Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Lima hari itu dinamakan wuku.

Orang Jawa, terutama yang seumuran kakek nenek Aro (kelahiran tahun 50 atau 60-an), kerap masih menggunakan perhitungan Jawa ini untuk menandai suatu kejadian atau sebagai pertimbangan. Saya tidak bisa mengatakan semua orang Jawa, tetapi minimal ortu saya hehehe. Misal menandai peristiwa meninggalnya atau kelahiran seseorang, membaca watak seseorang berdasarkan weton (dina lahir) atau juga perhitungan acara besar. 
Sumber foto: jakartakita.com

Boleh percaya boleh tidak, bukan sesuatu yang harus diperdebatkan apalagi keblablasan sampai mencap bid'ah atau syirik. Menurut saya sendiri, tentang watak seseorang berdasarkan weton itu misalnya, lebih sebagai pengingat dan nasehat untuk lebih hati-hati dalam berperilaku. Tidak menelan mentah-mentah informasi yang diberikan sebab bagaimanapun itu mirip ilmu titen istilahnya. Kalau di kehidupan masyarakat, dina pasaran ini bisa kita jumpai pada nama-nama pasar. Pasar Legi, artinya pasar itu ramai sekali saat pasarannya Legi dibanding hari yang lain. Ada lagi di Pasar pon Wage, artinya pasar buka hanya saat pasaran pon dan Wage, selain itu tidak. 

Obrolan cukup seru dan membuat deg-degan sebenarnya. Sebab saya pun tidak terlalu paham dengan dina pasaran ini. Saya cukup jujur dengan Aro bahwa pengetahuan tentang ini sedikit. Bahwa kami perlu bertanya pada orang yang lebih paham. Kakek Aro pun menolong dengan cerita dan penggunaannya dalam keseharian orang Jawa. Sempat diperlihatkan Betal Djemur. Buku primbon yang sudah terlihat usang sekali. Sudah layak disebut benda keramat mungkin ya?

Pertanyaan Aro tentang mengapa namanya Legi, pahing, dan teman-temannya belum terjawab oleh saya atau kakeknya. Bila memang tidak tahu, Saya memutuskan jujur ke Aro. Saya tidak punya keberanian menunjukkan ibu sempurna yang tahu semuanya. Kami bersepakat perlu mencari bacaan lebih detail tentang ini bila memungkinkan nanti.

Menunjukkan ke Aro bahwa rasa ingin tahu dan belajar itu sebuah proses panjang. Bukan sesuatu yang selesai dalam satu atau dua jam. Diperlukan kesabaran dan keuletan untuk menemukan apa yang ingin diketahui. Jalan pengetahuan itu Panjang, jadi mari berpetualang!

0 Komentar