"Boleh ya aku lihat? Aku tahu harus hati-hati kok, Nda. Boleh ya?"
Permintaan Aro ini membuat saya terdiam cukup lama. Meminta waktu sebentar untuk memutuskan.Walau terlihat tak sabar, Aro mau menunggu. 
Saat di Depok, suara petasan sebenarnya juga terdengar cukup dekat dan jelas. Tetapi dia tak bergeming. Berbeda sekali saat di sini. Kami sedang di rumah ortu saya. Sebagian anak-anak yang bermain petasan itu teman mainnya juga meski usinya terpaut cukup jauh.
Petasan bagi saya adalah sesuatu yang barbahaya, mengganggu, juga sebuah pemborosan. Di desa tempat tinggal ortu, bermain petasan itu lumrah. Apalagi di penghujung tahun dan bulan ramadhan seperti sekarang. Dar Dar Dar!

 Suaranya akan terdengar di semua penjuru seakan berlomba siapa yang bunyinya paling keras. Berisik sekali.

Esok paginya, akan banyak sekali serpihan kertas bekas pembungkus petasan dimana-mana. Sengaja tidak disapu untuk menunjukkan siapa yang menyalakan petasan paling banyak.
Selain petasan bungkus kertas, ada lagi kelompok petasan pandeman. Petasan dengan menggunakan bambu yang ditanam di dalam tanah dengan suara menggelegar berat.

Awalnya, saya tidak mengijinkan Aro melihat petasan. Berbahaya, titik. Meski mau menurut, Aro tetap penasaran. Setelah ngobrol dengan Obi, ayahnya, saya pun belajar percaya dan mencoba membuka pikiran. Melarang Aro hanya akan membuatnya penasaran dan mencoba cara lain untuk mengetahuinya. Padahal rasa ingin tahu adalah dasar bagi anak-anak mencintai sebuah ilmu. 

Saya akhirnya mengijinkan Aro melihat petasan. Aro melompat kegirangan dan segera pergi setelah bilang "I love you, mommy". 

Percayai anak kita. Sesuatu yang mudah dikatakan namun ternyata cukup sulit dilakukan. Ada saat-saat rasa percaya kita itu tebal, namun tak jarang alih-alih percaya, kita cemas dan berpikiran yang bukan-bukan. Seperti saya saat ini. Walaupun sudah mengiyakan, tetap terselip praduga. Saya mencoba menepis dengan mengurusi batang-batang murbei dan beluntas.

Sejam kemudian, Aro pulang. Matanya berbinar-binar dan ceritanya mengalir deras. Tentang perasaan dan pengalaman yang baru ditemui. 
"Kamu senang?" Aro mengangguk. Dia lalu mulai menggambar.

Esoknya, saat bunyi petasan terdengar dan saya tanya apakah tidak ingin melihat seperti kemarin.
"Aku sudah tahu bagaimana petasan itu meletus. Sudah tidak penasaran lagi".

0 Komentar