“Depok itu berasal dari kata pedepokan. Tempat merenung. Jadi, daerah yang bernama Depok sebenarnya tempat yang cocok buat  para perenung”, jelas sejarawan JJ. Rizal yang disambut kata o cukup panjang dari kami semua.


Masih dalam satu rangkaian kegiatan playdate Jelajah Sejarah Depok pekan lalu, kali ini Aro dengan teman-teman Komunitas Kerlap sedang berkegiatan di Komunitas Bambu.  Mendengarkan cerita dari sejarawan tentang Depok dan pernak-perniknya. Sebuah cerita yang diawali dari pertanyaan seorang anak, mengapa Chastelein membeli tanah di Depok dan bukan yang lain ? Pertanyaan sederhana yang membuat garuk-garuk kepala. Untungnya sang sejarawan cukup cakap menjawab pertanyaan yang tidak sesuai pakem dalam buku-buku pelajaran pada umumnya. Komunitas Bambu (Kobam) sendiri adalah komunitas sekaligus penerbit yang  fokus pada tema sejarah. Banyak buku sejarah telah diterbitkan.

Kerasan duduk di Kobam. Bangunannya unik dan lebih mirip kafe daripada penerbitan. Nyeni.  Dibangun  dengan konsep berbeda antara satu bangunan dengan yang lain. Ada yang disimbolkan bersifat feminin dan maskulin. Bangunan berbahan kayu yang menyerupai rumah Betawi diandaikan feminin dan bangunan yang berangka besi tempat penyimpanan buku-buku Kobam, diandaikan maskulin. Tahu kenapa?
satu sudut teduh di Kobam @ayu

Konsep bangunan merujuk pada rumah Betawi dan dari awal berdiri, tidak ada tanaman yang ditebang, semua dibiarkan tumbuh. Konsep bangunan yang harus menyesuaikan kondisi alam, bukan sebaliknya. Jadi tidak menebang pohon, ingat ya, tidak menebang pohon.  Uniknya lagi, semua kayu yang digunakan merupakan ‘barang bekas’, seperti daun pintu atau jendela pun didapat dari rumah-rumah zaman Belanda yang dibongkar. Mungkin memang bangunannya menggunakan konsep ugahari arsitektur. Mengutamakan kesederhanaan. Menurut arsitek yang menekuni konsep ini, Yoshi Fajar, bentuk, material, dan fungsi dikomunikasikan dengan keinginan, kebutuhan, dan kemungkinan lain sehingga terjadi sebuah timbal-balik atau dialog antara arsitek dengan penghuni, dengan tujuan untuk menciptakan karya perancangan yang memiliki keberlanjutan dan integrasi antara penghuni dengan ruang dan bangunan serta bangunan dengan lingkungan sekitar. 

Banyak hal unik seperti ‘berlabuhnya’ perahu dari Sulawesi di salah satu sisi dindingnya dan gambar 4 tokoh penting Indonesia pada tiang penyangga, Ir, Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Tan Malaka, dan Sutan Syahrir.

Selain pengalaman baru, mendengarkan sejarah dari seorang sejarawan juga memberi kesempatan kami, para ortu ini, untuk belajar dari sudut pandang yang berbeda dari buku-buku teks sekolah kami dulu. Bagi anak-anak, mungkin seperti masuk ke suatu masa ajaib sebab pertanyaan yang keluar dari mereka pun tidak kalah ajaib.

presentasi karya, belajar berbicara dan mendengar @ayu
Sejarah. Sesuatu yang awalnya di pemikiran saya hanya masa-masa sebelum kemerdekaan. Pemikiran yang jelas keliru. Bagi anak-anak usia 6 sampai 9 tahun ini, sepuluh tahun lalu pun sudah menjadi sejarah. Kalau sejarah ‘hanya’ saat kolonialisme, ya itu mungkin terlalu jauh bagi mereka.

"Ajaib!" kesan JJ Rizal melihat karya anak-anak @ayu
Selesai mendengar JJ. Rizal bercerita tentang Depok, anak-anak pun mulai mempresentasikan karya mereka. Didampingi oleh Pak Logo, pegiat tanaman hutan dari Kobam juga. Karya yang dibuat beragam. Tentang sesuatu yang berkesan saat menjelajahi wilayah Depok lama. Mulai dari membuat peta, permainan ular tangga semacam board game, mading, lapbook, maket dari kardus, gambar berbayang Chastelin, komik tentang Chastelein, sampai membuat roti khas tempo dulu (ampas terigu).

Wajah-wajah gembira usai menuntaskan proyek @ayu
“Sejarah di mata anak-anak itu ajaib sekali. Menarik”, kata JJ.Rizal terkesan dengan semua karya yang dibuat. Meskipun temanya sama, saat dibebaskan membuat karya menurut imajinasi masing-masing, hampir tidak ada yang serupa. Sejarawan itu pun berseloroh bila anak-anak belajar sejarah model seperti ini, akan sangat menyenangkan. Sejarah tidak dilihat sebagai dongeng kosong tentang masa lalu tanpa makna. Seloroh yang kalau dipikir-pikir ada benarnya juga. Sejarah itu bukan melulu fosil dan prasasti.



Apresiasi dari sejarawan.
Terima kasih @ ayu
Gembira rasanya melihat antusiasme dan keberanian anak-anak sekolah rumah ini dalam menarasikan karya. Ada yang sudah lancar sekali dan biasa saja berbicara di depan banyak orang, ada yang masih malu-malu, ada yang hanya terpaku memegangi karyanya, dan bahkan ada yang memakai bahasa isyarat dengan angguk dan geleng. Diejek ? Tidak pastinya, semua didengarkan dan dipahami.

Berbicara di depan banyak orang itu tidak mudah. Perlu latihan dan jam terbang. Tidak bisa ujug-ujug jadi. Jangankan anak-anak, kita para orang tua pun kerap macet bila ditodong maju ke muka.

Oya, mereka pun latihan mengendalikan diri dan mendengar. Menjadi penonton yang baik bagi teman-temannya. Itu penting sebab merupakan keterampilan yang perlu dilatih juga: Mendengar. 

Bagi saya sendiri, melihat Aro bisa duduk mendengarkan teman-temannya berbicara adalah sebuah kegembiraan. Menjadi penonton pun perlu dibiasakan. Memilih posisi ‘minggir’ dan ‘tidak terlihat’ bukan sesuatu yang buruk. Apalagi ketika obrolan menjelang tidur Aro bisa cukup lancar menceritakan hal-hal menyenangkan selama di Kobam dan mampu mengapresiasi karya-karya teman-temannya.

Sebuah pengalaman indah tentang mengenali kota tempat tinggal.

0 Komentar