Sekilas tentang buku : Cinta Yang Berpikir

Percakapan dengan seorang teman siang tadi masih mengusik saya.
Bercerita tentang bagaimana serentetan tes (termasuk calistung dan mengaji)
yang harus dialami anaknya untuk bisa masuk sekolah yang diinginkan.
Sekolah Dasar yang terkenal bagus, tidak saja dengan fasilitasnya namun
juga lulusannya. Itu yang menjadi satu alasan teman saya
mendaftarkan anaknya kesana. Fasilitasnya waw sekali dan lulus dari sana banyak
yang masuk Sekolah Menengah Pertama favorit, begitu penjelasan teman saya bersemangat.
Saya hanya mengiyakan.
Hal yang sama juga saya lakukan ketika teman yang lain juga bercerita
masih berkaitan tentang memasukkan anak ke sekolah. Namun kali ini, anak teman
saya tidak masuk SD. Usianya masih 5 tahun. Dia memilih memasukkan ke taman
kanak-kanak yang kompeten. Kompeten di sini artinya banyak plus-nya. Tidak
hanya mengajari membaca, menulis, dan berhitung, namun juga mengajari bagaimana
berakhlak baik dan mengaji.
Durasi belajarnya cukup panjang untuk anak tk menurut saya. Masuk
sekolahnya pukul delapan pagi dan stengah dua belas baru pulang. Namun, menurut
teman saya hal tersebut tidak masalah dan malah bagus. ‘Biar kalau sampai rumah
tinggal capainya dan tidur. Jadi aku tidak senewen melihatnya bertingkah
kesana-sini juga menyuruhnya tidur siang.’
Bulan-bulan ini memang banyak ortu yang mencari sekolah untuk
anak-anaknya sebab tahun pelajaran akan dimulai usai lebaran.
Meski tidak mengalami hiruk pikuk memilih dan memasukkan anak ke sekolah
formal, namun saya percaya bahwa setiap ortu pasti menginginkan pendidikan
terbaik untuk anak-anaknya. Saya pun demikian.
Pernyataan-pernyataan Charlotte Mason dari buku ‘Cinta Yang Berpikir’
karya Ellen Kristi pada bab 4 tentang merumuskan filosofi keluarga menjadi
salah satu pegangan saya dalam melakukan pendidikan untuk anak.
Ditulis di sana, ‘Mengirim anak ke sekolah itu mudah, tapi menjawab
pertanyaan “mengapa saya mengirimnya ke sekolah?’ mungkin lebih sulit.
Membayari anak ikut kursus atau bimbel A, B, C, D mungkin enteng, tapi mencari
tahu “untuk apa saya menyuruhnya ikut kursus itu?” lebih berat.’
Kadang, kita sebagai ortu lalai memikirkannya. Kita hanya fokus kepada
kondisi sudah waktunya anak bersekolah atau karena tidak bisa sebuah mata
pelajaran maka wajarlah kalau mengikutkannya kursus sehingga nilainya cukup
memuaskan nanti di sekolah dan tidak khawatir kalau menemui gurunya (pengalaman
dulu ketika memanggil ortu saat mendapati seorang murid nilainya kurang untuk
satu mata pelajaran huhuhu, maaf).
Sebagai ortu – baik yang memasukkan anak ke sekolah formal atau
mendidiknya sendiri di rumah – sudah selayaknya kita memikirkan bagaimana dan
seperti apa pendidikan anak-anak. Tidak sepenuhnya menyerahkan kepada pihak
sekolah (guru) sebab kitalah ortu mereka.
Ketika membangun sebuah rumah, kita memiliki gambar rancangan rumahnya
akan seperti apa. Begitu pun ketika menjahitkan baju, kita mempunyai
gambar pola yang
diinginkan.Sudah sepatutnya dalam mendidik anak, kita pun memiliki tujuan yang
jelas. Memiliki gambaran seperti apa anak-anak kita nantinya. Dari
gambaran tersebut baru kita tarik mundur tentang perjalanan mendidik anak
ini.
Mengapa kita memerlukan gambaran akhir tentang pendidikan anak-anak ?
Agar kita tidak mudah terombang-ambing bujuk rayu jargon sebuah lembaga yang
kerap menawarkan sesuatu yang spektakuler dan waw. Kita tidak larut akan tren,
seperti memasukkan anak ke sekolah A karena gengsi dan banyak orang mengatakan
sebagai sekolah favorit atau juga memilih mendidik anak secara mandiri agar
dikatakan sebagai ortu revolusioner (seperti saya ya ? hehehehe).
Bisa kita andaikan seperti maze. Bila kita mulai dari
titik akhir kemudian ketarik mundur ke titik berangkat akan lebih
mudah dan tidak tersesat dibanding kalau memulai dari titik berangkat menuju ke
titik akhir.
Charlotte Mason menjelaskan tentang bagaimana menyusun sebuah tujuan
akhir dari pendidikan anak yang kita inginkan. Berangkat dari tiga pertanyaan
yang harus kita jawab secara jujur dan runtut.
Mengapa anak perlu belajar ? Yang kedua, apa yang perlu dia pelajari ?
Yang ketiga, bagaimana sepatutnya mereka mempelajari itu ?
Sangat mungkin jawaban kita sebagai ortu akan berbeda-beda sebab memang
latar belakang keluarga dan kondisinya beragam. Namun, tiga pertanyaan tersebut
memberi kita waktu untuk merenung dan memikirkan pendidikan terbaik untuk
anak-anak. Saatnya kita ngobrol sambil ngupi cantik
bersama pasangan membicarakan tujuan pendidikan untuk anak-anak, tidak sebatas
mau bersekolah dimana atau berapa beayanya.
0 Komentar