@Ayu



“Ini rumah presiden Depok, Bu. Oma tadi masih keturunannya”, jelas Pak Yanto, tukang sayur kompleks, sambil menunjuk seorang ibu yang baru saja berlalu. Saya hanya mengangguk-angguk saja padahal dalam hati bertanya-tanya. Presiden Depok ? Maksudnya apa? Sejauh pengetahuan saya di bangku sekolah, presiden itu ya yang memimpin negara. Pak Yanto memang biasa mangkal di depan rumah yang membuat saya penasaran itu. Rumah lama seperti model rumah-rumah di zaman Belanda, lengkap dengan kotak suratnya. Kotak surat ini sebenarnya yang memancing rasa ingin tahu saya pertama kali. Zaman sekarang masih ada rumah yang dihias kotak surat manis seperti itu.



Waktu itu tahun-tahun pertama saya tinggal di kota ini. Depok. Tinggal di Depok sebenarnya bukan cita-cita atau impian saya. Pengetahuan saya akan kota ini sebatas kota satelit Jakarta. Pengetahuan yang saya dapat di bangku sekolah dulu. Selain itu, dari berita-berita karena kesemrawutan dan kriminalitasnya. Cukup meneguhkan saya untuk tidak senang dan berprasangka. Apalagi di awal tinggal, hampir semua tetangga kalau bertanya selalu diawali pertanyaan “dari Jawa ya ?” Atau “dari kampung ya?” Pertanyaan menyebalkan sekali bagi pendatang seperti saya. Kebetulan juga saya baru ‘hijrah’ dari Surabaya ke Depok. Mengatakan Surabaya itu kampung, bisa dimarahi Bu Risma hahahaha. Duh, melantur sekali ini. Maafkan namun begitulah kenangan awal tahun-tahun pertama saya tinggal di sini.

Namun, di Depok pula saya menemukan teman-teman baru yang luar biasa. Sama-sama memilih mendidik mandiri anak-anaknya. Teman-teman dimana kami bisa saling dukung dan menerima kekurangan masing-masing. Aro pun memiliki teman meski tidak setiap hari bertemu. Teman-teman komunitas dimana secara berkala, kami bertemu dan mengadakan kegiatan bersama atau biasa kami sebut playdate. Menginisiasi kegiatan bergantian antar-ortu.

Saat itu, usia Aro masih 4 tahunan sehingga keinginan untuk menjelajahi sejarah Kota Depok yang pernah saya dengar dari Pak Yanto sempat terabaikan. Walaupun saya sedikit membaca sejarah kota ini. Menimbang-nimbang untuk menunggu usia anak-anak sedikit lebih besar dan ternyata baru dua tahun kemudian semesta memberi kesempatan.

Ngobrol dengan seorang teman di komunitas dan menemui kenyataan bahwa dia adalah keturunan dari salah satu marga yang biasa disebut Belanda Depok. Marga Loen. Bahagia sekali rasanya. Kami pun bersepakat untuk mewujudkan kegiatan mengenal sejarah kota ini. Dengan motivasi masing-masing tentunya. Teman saya karena merasa ada tanggung jawab secara moral sebagai penerus marga, sedangkan saya sendiri selain penasaran dengan sejarah kota ini juga ingin anak-anak lebih mengenal kota tempat tinggalnya. Kami mengajak dua teman lain yang merupakan ‘penduduk asli’ Depok.

Aro dengan petanya @Wanda
Singkat cerita, kami para ortu ini pun berbagi tugas. Ada yang bertugas mencari referensi dan membaca sejarah Depok, ada yang mengurus perijinan, dan ada yang bertanggungjawab pada kelancaran kegiatan. Cukup melelahkan namun membahagiakan. Sebagai pendatang, saya senang sekali bertemu dengan orang-orang yang paham sekali Depok. Ngobrol dan mendapatkan rekomendasi buku-buku bermutu adalah anugerah indah sekali. Saya mulai melihat sisi lain dan menyenangkan dari Depok. Pepatah lama tak kenal maka tak sayang benarlah adanya. Kegembiraan itu lengkap ketika salah satu teman mengabarkan bahwa anak-anak berkesempatan mempresentasikan proyeknya usai jelajah sejarah depok di depan sejarawan JJ. Rizal di Komunitas Bambu.

Atmosfer semangat dan kegembiraan mengurus kegiatan bersama ini menular ke Aro juga. Kebetulan Aro ikut ketika saya mengurus ijin kunjungan sehingga dia tahu rute dan tempat-tempat yang akan didatangi. Sebelum hari pelaksanaan, dia sibuk sendiri membuat peta agar tidak tersesat. Menggambar tempat-tempat yang akan dikunjungi lengkap dengan nomor urut dan nama-namanya. Perbincangan yang terjadi kerap bertema Depok tempo dulu.

Gedung YLCC @Ayu
Hari yang dinanti pun tiba. Dua puluh anak-anak dan tujuh belas ortu berkumpul di Yayasan Chastelein pagi itu. Meski ada beberapa yang berangkat dari luar Depok, namun semua tepat waktu. Pukul delapan pagi telah berkumpul semua termasuk dua adik bayi dalam gendongan.  Hangat sekali melihat antusiasme semua orang.

Meja belajar jati@Ayu
Dipandu oleh Bapak Fredy dari Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC), menyusuri situs-situs lama yang masih ada. Dimulai dari YLCC sendiri dimana tersimpan banyak dokumen dan foto tentang Depok. Siapa sangka dulu ada pabrik genteng dan batubata terkenal di kota ini. Kemudian ke Gereja Immanuel yang menjadi rumah ibadah untuk agama Protestan pertama kali. Di sana, kami disambut dengan hangat oleh pengurus gereja dan disuguhi roti hangat enak, roti ampas terigu. Perjalanan kemudian dilanjutkan, sempat menengok sekolah eropa dulu yang sekarang SDN 2 Pancoran Mas. Jendela-jendela tinggi dan lebar sebagai kekhasan bangunan Belanda masih bisa dilihat. Riuh rendah suara anak-anak sekolah jelas sekali sebab memang hari efektif. Saya sempat membayangkan bagaimana noni dan sinyo Belanda dan Eropa dengan baju putih dan bersepatu belajar  dengan logat eropanya di tempat ini. Dulu, hanya mereka-merekalah yang boleh bersekolah di sana.

Terik matahari dan trotoar sempit dengan lubang di sana-sini tidak menghalangi peserta Jelajah Sejarah Depok ini. Mereka serius mendengar penjelasan Pak Fredy sambil bergandengan dua-dua.. Selepas dari sekolah, kami pun menuju RS Harapan. Bangunan lama yang merupakan gementee atau balai kota. Di halaman rumah sakit pertama ini berdiri tugu peringatan. Tugu Chastelein yang merupakan titik nol Depok.   
Foto bersama di rumah presiden Depok @Ayu

Siapa sangka kota ini dulunya adalah adalah tanah partikelir dari seorang ambtenaar Belanda kaya raya, Cornelis Chastelein ? Chastelein dengan budak-budaknya yang berjumlah sekitar 150 orang mengelola tanah Depok dengan mengembangkan beberapa jenis tanaman perkebunan seperti belimbing, pala, cengkeh, dan coklat. Budak-budak itu diambil dari Bali, Flores, dan Sulawesi. Chastelein adalah penganut agama Protestan yang taat sehingga hubungannya dengan para budak lebih mirip antara bapak dengan anak, bukan majikan dengan budak. Setelah Chastelein meninggal, para budak itu tidak hanya memperoleh tanah warisan yang luas namun juga kemerdekaannya. Nama-nama mereka tergabung dalam 12 marga yang ditorehkan di pintu-pintu Gereja Immanuel dan pada masanya dikenal sebagai Belanda Depok. Sepeninggal Chastelein, mereka pun mengurus diri sendiri dengan memilih presiden yang bertugas mengelola urusan administrasi.  Jadi, presiden di kota ini berbeda arti dengan presiden sebuah negara. Status presiden Depok ini berakhir sejak Indonesia merdeka.

Bagaimana dengan kota tempatmu tinggal? Mari mengenalnya agar tetap sayang dan menjaganya tetap nyaman.

0 Komentar