“Bagaimana kalau kita ke Lokananta saja? Mumpung ada di sini!’ ajak Ayah menawarkan saat kami menimbang-nimbang tempat yang bisa dikunjungi. Kami singgah di Solo dan ada waktu 3 jam sebelum beranjak ke kota lain.

“Apa itu Lokananta?”



lokananta tampak depan
“Tempat Bu Waldjinah rekaman”. Aro sontak mengiyakan dengan gembira. Ibu Waldjinah adalah kunci. Sejak suka mendengarkan musik keroncong, Aro akrab dengan nama-nama seperti Waldjinah, Pak Gesang, dan terakhir Eny Kusrini. Menyanyikan lagu-lagu para maestro tersebut dengan gembira meski tersendat-sendat sebab kesulitan dalam pelafalan bahasa jawa. No problemo, yang penting bersuka ria.

Kami pun mengecek jarak lokasi dari tempat menginap. Cukup dekat. Setelah sarapan yang cepat, kami pun memesan ojek daring. Melewati stadion manahan dan beberapa perempatan dengan patung. Hanya sekitar 20-an menit dari tempat kami menginap.

Sesampai di lokasi, kami sempat ragu. Tempatnya luas namun sepi. Tidak ada orang lalu-lalang kecuali petugas di pos jaga, seorang bapak paruh baya yang cukup ramah ketika kami tanyai. Si Bapak tersebut mengantarkan masuk ke dalam gedung. Sembari menunggu petugas museum datang, kami melihat sekeliling. Banyak gambar seniman yang suaranya telah direkam oleh Lokananta terpampang. Ada pula gramofon tua di dinding. Aro cukup bersemangat ketika melihat gambar poster Ibu Waldjinah di mana-mana.

Petugas museum datang selang 5 menit kemudian. Mas Narto namanya. Seorang lelaki muda yang ramah dari Grobogan. Untuk bisa melihat-lihat museum, kami harus membayar dua puluh ribu seorang. Mendapatkan tote bag mungil berbahan belacu berisi brosur dan gantungan kunci. Aro gratis, belum kena beaya.
satu lorong di Lokananta

Lokananta adalah sebuah studio rekaman atau rumah musik. Kata Lokananta sendiri, dalam tradisi pewayangan Jawa, memiliki arti seperangkat gamelan surgawi yang dapat berbunyi sendiri dengan merdu. Didirikan pada 29 Oktober 1956 sebagai pabrik piringan hitam oleh R. Maladi. Nama resminya adalah Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementrian Penerangan Indonesia. Panjang ya ? Untung kita tidak perlu menghafalnya, jadi tidak pusing.

hiasan dinding di Lokananta
Rumah musik ini spesialisasinya lagu daerah, pertunjukan kesenian, dan penerbitan buku. Dari Lokananta inilah bermunculan nama-nama seniman besar seperti Gesang, Waldjinah, Jack Lesmana, Sam Saimun, Basiyo, Idris Sardi dan banyak lagi.  Saya jadi ingat deretan kaset wayang dengan dalang Ki Nartosabdo milik ayah semua berlogo perusahaan rekaman ini juga.
koleksi Lokananta

Sebuah rumah musik besar pada zamannya. Saat berkeliling rumah musik yang juga museum ini serasa diajak kembali ke masa silam yang gemilang dari Lokananta. Berbagai alat rekam ada. Juga koleksi musik pengiring berbagai kesenian.
legends di Lokananta

Sayang, kondisi tempat penyimpanan karya-karya indah itu nampak seadanya. Hanya ditumpuk di rak-rak penyimpanan sekadarnya. Koleksi vinyl dari banyak kesenian yang seharusnya berada dalam suhu tertentu pun mengalami perlakuan sama saja. Kata mas Narto, memang diperlukan beaya tidak sedikit juga cara kreatif untuk membuat Lokananta dapat berproduksi dan menyimpan koleksinya dengan baik.
kumpulan piringan hitam



Bagi Aro sendiri, bisa berkunjung ke Lokananta ini adalah pengalaman tersendiri. Serasa masuk dunia lain. Melihat kaset dengan pitanya, merasakan sensasi mendengar piringan hitam dengan bunyi kemreseknya, juga menikmati beberapa alat jadul yang menurutnya aneh. Aro tidak banyak bertanya ketika di sana. Kalau pun bertanya, temanya tetap : Ibu Waldjinah. Melihat jumlah album yang telah dihasilkan dengan cara menghitung banyaknya kaset yang bergambar biduan tersebut. Aro mencoba membaca judulnya atau meminta saya membantu bila ada kesulitan. Ayah asyik ngobrol dengan mas Narto. Kami menikmati rumah musik ini dengan cara masing-masing.
Idola : Walang kekek

Baru ketika di rumah, saya harus merelakan satu kaset untuk dibuka. Meresapi yang namanya pita kaset dimana bisa menyimpan suara di dalamnya. Sayangnya, kami tidak ada tape recorder. Untung ada beberapa buku yang bisa dijadikan bahan referensi untuk menanggapi pertanyaan sporadis Aro. Perjalanan merekam suara adalah bahasan tersendiri selain musik langgam jawa dan segala kosakatanya. Selama ketertarikan dan suka cita itu masih ada, kapan pun dan dimana pun, sebuah tema akan terus menjadi bahan obrolan. Begitulah cara kami belajar.

0 Komentar