“Bunda minta maaf ya ? Tidak seharusnya Bunda bicara keras seperti tadi walaupun tidak setuju dengan sikap Aro. Pasti jengkel dan kesal sekali ya ?” Anak 6 tahun itu pun mengangguk dan memeluk saya. “Bunda dimaafkan?” sebuah anggukan kecil saya rasakan diantara pelukan. Untuk beberapa saat kami seperti itu dalam diam.

Dari berpelukan itu, saya bisa merasakan emosi yang ditahan tubuh kecilnya. Apapun emosinya, baik kegembiraan maupun kesedihan. Kalau dia merasa jengkel, marah, sedih, tidak terima maka tubuhnya akan terasa tegang sekali. Seperti saat ini.

Ketika tubuhnya terasa lebih santai, saya meminta untuk mengulang kembali kejadian kurang mengenakkan tadi. Dengan respon yang berbeda dari sebelumnya tentu. Respon yang lebih ‘menyenangkan’ meski tetap menyatakan sebuah ketidaksepakatan akan sesuatu. Semacam role play.

Sebenarnya, ini adalah hal baru bagi saya. Ketika awal-awal mencoba kegiatan pengulangan, saya merasa seperti sedang bermain drama. Sinetron sekali rasanya. Asumsi sok tahu dan gengsi sempat muncul. Ortu itu (selalu) benar, mau diletakkan dimana mukanya kalau sampai mengaku salah kepada anak. Jatuh harga diri ortu. Anggapan lama yang mungkin masih mengakar di sebagian kita, ortu.

Tetapi, kesadaran bahwa rentang usia 4-8 tahun adalah masa di mana ingatan dan kenangan bisa membekas seumur hidup membuat saya mempraktikkan hal ini. Mengulang kejadian kurang menyenangkan menjadi kenangan indah meski tetap menyatakan akan sebuah ketidaksetujuan. Kekhawatiran akan diremehkan atau ditertawakan anak sendiri karena permintaan untuk mengulang kejadian tersebut nyatanya tidak pernah terjadi. Apalagi dicap sebagai drama queen atau dianggap berlebihan. Tidak terjadi sama sekali. Anak-anak cukup toleran dan bisa memaafkan dengan cepat serta tak ribet. Dalam pengalaman saya, Aro menikmati dan mau melakukan ulang apa yang menjadikan kami berselisih paham tadi. Di setiap upaya menanamkan kenangan indah ini, sering diakhiri candaan ringan sambil tertawa.

Keputusan meminta maaf untuk kesalaham yang dilakukan dan memperbaiki kembali hal-hal yang kurang menyenangkan memberi efek positif. Tidak hanya bagi Aro, tetapi juga saya sebagai ortunya. Semua orang bisa melakukan kesalahan, termasuk ortu. Yang terpenting adalah mau meminta maaf dan memperbaiki diri.

Mendidik anak adalah mendidik diri kita sendiri, benar adanya. Saya belajar menghormati anak meski usianya masih 6 tahun. Kalau kata Dr Seuss, a person's a person no matter how small.

Kebiasaan meminta maaf dan memperbaiki hal buruk menular pula di Aro. Kebersamaan kami nyaris dua puluh empat jam setiap hari. Aro tidak bersekolah formal otomatis kesehariannya bersama saya. Bertemu dan berkegiatan bersama sejak membuka mata dan tidur di malam hari, membuat potensi friksi lebih tinggi. Terutama bila hanya berdua saja karena ayahnya di luar kota. Ada saat-saat Aro melakukan sesuatu di luar kontrolnya. Sangat emosional. Kalau sudah begitu, biasanya kami mengambil jarak. Saya memilih berada di tempat berbeda dengannya meski masih di dalam rumah. Memberi ruang bagi kami berdua menenangkan diri.

Kurang lebih 15 menit kemudian, Aro akan mendatangi saya sambil meminta maaf disusul dengan rangkulan. Atau, ada kiriman surat yang diulur dengan pita dari lantai atas berisi gambaran dan coretannya. Hal-hal tersebut merupakan pertanda dia sudah tenang dan menyadari kesalahannya.


Dalam 15 menit proses menenangkan diri, Aro melakukan sesuatu atau tidak sama sekali. Kadang dia membuat-buat kerajinan entah menggunting atau melipat di kamar juga membaca buku. Namun bila emosinya besar sekali, Aro memilih tidur. Saya memilih memberinya ruang sendiri tetapi masih mengamatinya diam-diam. Saat-saat masih emosional tersebut, kami tidak saling mengusik satu sama lain. Kami baru berbicara bila sudah sama-sama bila menenangkan diri.

Memahami dan mengenali emosi diri adalah satu hal penting yang perlu dilatih kepada anak-anak bagi saya. Emosi tidak selalu yang positif, namun yang negatif juga. Termasuk perasaan kesal, marah, tidak terima, atau jengkel. Ketika anak-anak mampu mengenali emosi-emosi yang dialaminya, mereka pun menjadi terlatih untuk menyikapi dan menghadapinya. Memang ada saat-saat mereka lepas kontrol. Namanya juga latihan. Kita, orang dewasa pun sering kali lepas kendali saat emosi, seringnya yang negatif, datang.

Just enjoy our emotion.

0 Komentar