Belajar Bahasa Nenek Melalui Keroncong
Perjalanan hanya akan menjadi ingatan jika tak dituliskan. Begitu kira-kira kesimpulan obrolan di keluarga kecil kami. Maka sedapat mungkin kami mendokumentasikan cerita perjalanan kami lewat tulisan atau video di kanal Youtube. Kadang iseng saya menggambar perjalanan sebuah ide yang sempat terlontar. Semacam refleksi dan ingin tahu sejauh mana ide membawa kami berpetualang. Menarasikan kembali ide dan pengalaman dengan mind map ala-ala.Ternyata banyak hal telah terjadi dan menarik untuk diceritakan kembali.
Bermula dari obrolan dengan Ibu saya, neneknya Aro, yang biasa dipanggil dengan sebutan Yang Ti, versi singkat dari eyang putri. Beliau ngudarasa alias curhat akan kesulitan yang dialami saat berbicara dengan cucunya karena faktor bahasa. Ibu sebenarnya bisa berbahasa Indonesia hanya di keseharian, beliau lebih nyaman berbahasa Jawa. Sementara Aro sehari-hari berbahasa Indonesia dan Inggris karena kondisi dimana ia tinggal. Teman-temannya, hampir semua menggunakan kedua bahasa itu saat berkomunikasi. Awalnya, curhatan Ibu saya anggap sambil lalu. Toh, sebenarnya semua baik-baik saja menurut kacamata saya. Nenek dan cucu bisa saling memahami selama ini.
Namun entah mengapa, kata-kata Ibu melekat dan terngiang-ngiang di telinga. Saya pun mengamati Aro lebih intens. Ada saat-saat memang dia protes karena tidak paham ketika saya dan ayahnya ngobrol menggunakan bahasa Jawa. Aro merasa tersisih dan tak mengerti sehingga sering memotong pembicaraan sebagai bentuk protes. Dia pun mengatakan akan ketidaknyamannya saat kami berdua berbahasa Jawa.
Protes Aro menyadarkan kami. Bagaimana pun, kami merasa perlu mengenalkan dan mengajaknya berbahasa Jawa walaupun sederhana. Mengajaknya masuk dalam obrolan kami berdua, Selain itu, kami menemukan cara untuk membuatnya nyaman berbahasa Jawa: memutar musik! Setidaknya ini yang saya alami dulu saat lagi senang-senangnya belajar bahasa asing. Lebih cepat memahaminya dengan bernyanyi daripada suntuk dengan segala macam aturan bahasanya. Esensinya adalah lancar berbahasa, bukan sebuah nilai di atas kertas.
Sejak saat itu, ada waktu dimana keroncong berbahasa Jawa, musik zaman kakek neneknya, terdengar di rumah yang kami tempati. Sengaja memang memutarnya, sebab saya pikir bisa untuk bahan bercerita Aro saat menelfon mereka nanti. Meski sempat mendengarkan dulu saat kecil ketika ayah memutarnya, jenis musik ini tidak familiar bagi kami. Saya lebih suka musik pop dan folksong sementara Obi lebih suka musik gedombrangan macam rock dan heavy metal. Namun sepertinya saat ini kami harus menikmati berkeroncong ria.

Sampul piringan hitam album Ibu Waldjinah
Di luar dugaan, ternyata kami menikmati jenis musik ini. Termasuk Aro. Ada saat dia terpingkal-pingkal mendengar banyak istilah baru untuk kali pertama. Kegemarannya adalah lagu-lagu dari Bu Waldjinah meski yang diputar hanya beberapa lagu saja. Kami sering menyanyi bersama meski lidah belibet dan nadanya terpental-pental. Sekali lagi, tujuannya adalah senang dan nyaman berbahasa Jawa.
Kegemaran ini pun membawa kami kepada banyak obrolan dan pertanyaan. Tidak melulu seputar musik. Kami membicarakan perubahan wajah seiring bertambahnya usia contohnya. Hal tersebut terpantik ketika Aro mengamati wajah Bu Waldjinah yang berbeda melalui gambar di layar. Kami mendengar lagu-lagu Bu Waldjinah melalui kanal youtube.
Waldjinah dan segala hal tentangnya menjadi tema obrolan kami selama berminggu-minggu. Kami pun sengaja mencari banyak sumber informasi tentang biduan senior ini untuk menyediakan informasi yang cukup dari banyak hal yang ditanyakan Aro. Selow banget ya? Mungkin ini juga satu keistimewaan kami saat memutuskan tidak bersekolah formal. Waktu untuk membahas dan mengamati sesuatu lebih longgar sebab tidak terkejar-kejar oleh waktu dan pengambilan nilai.
Ngobrol membicarakan apapun dalam keseharian dengan Aro adalah suatu hal penting menurut kami. Dengan ngobrol, kami bisa saling memahami dan dan bertukar informasi apa saja dengan nyaman. Kegiatan ngobrol pun menjadi sarana saling mengenal sekaligus mempererat hubungan ibu dan anak bagi saya.

Ide sederhana ini juga membawa kegembiraan lain. Ada perubahan atmosfer saat Aro berinteraksi dengan kakek neneknya. Saat menelfon, Aro terlihat lebih santai, gembira, dan memiliki banyak bahan bercerita yang nyambung sehingga durasi hahahihi dengan neneknya menjadi lebih lama. Tidak terdengar lagi jawaban pendek-pendek seperti "iya" dan "tidak" atau intensi ingin segera mengakhiri pembicaraan. Kadang saya mendengar Aro bernyanyi bersama dengan kakek neneknya lewat telfon.
Kegemaran mendengar musik keroncong ini terasa semakin lengkap ketika kami berkesempatan mengunjungi Lokananta, tempat di mana Ibu Waldjinah melalukan rekaman suara. Studio yang telah berubah menjadi museum ini berada di Kota Solo. Kami pun mendapat kesempatan mendengarkan suara merdunya melalui piringan hitam yang diputar. Ternyata, banyak maestro musik yang muncul melalui studio ini. Kapan-kapan akan saya tulis tentang Lokananta.

Kejutan paling seru terjadi dalam perjalanan balik kami ke Jakarta. Dengan awal yang agak canggung, ia beranikan diri untuk menyanyikan lagu Ibu Waldjinah sambil diiringi kelompok musik yang sedang pentas di Stasiun Tawang Semarang.
Tandjung Perak, tepi laut.
Siapa suka, boleh ikut.
Lalalalalalalala
0 Komentar