“Na, kudengar kamu tidak menyekolahkan anakmu, ya ? Mengapa ? Anakmu sakit atau berkebutuhan khusus?”

“Keren sekali kamu, Na. Berani beda. Memang menyekolahkan anak zaman sekarang itu gampang-gampang susah. Sekolah bagus tetapi mahal sekali, atau mau masuk sekolah negeri.”

Pertanyaan-pertanyaan itu sering saya dapatkan saat memutuskan untuk mendidik Aro secara mandiri. Keputusan yang tidak popular bagi banyak orang.


Ide untuk tidak mengirim Aro ke sekolah formal berawal dari Saya. Obi, ayah Aro, saat itu hanya mengiyakan saja. Baru belakangan ini Saya tahu sebenarnya dia sempat bingung dan tidak mengerti maksud tidak menyekolahkan anak itu. Lha, kalau tidak sekolah terus bagaimana ? pikirnya saat itu. Tetapi dia memilih tidak bertanya dan mengiyakan saya. Entah karena takut atau malas berantem.

Saat tahu kegamangannya, saya hanya tertawa. Sama-sama maklum sebab kami berdua adalah produk asli sekolahan. Bedanya, saya lebih dulu membaca materi tentang model sekolah rumah ini daripada dia. Meski awalnya hanya mengiyakan alias manut, selama berproses, Obi cukup aktif dan mau belajar mencari tahu bagaimana mendidik secara mandiri itu.  Obrolan tenang konsep pendidikan ini telah kami obrolkan bahkan sebelum Aro lahir. Dan masih saja berdebat sampai Aro lahir. Terbayang betapa lamanya kami menemukan kata sepakat.

Memilih tidak menyekolahkan anak jadi petualangan baru bagi kami. Kalau memilih menyekolahkan anak maka jelas kebutuhan apa saja yang perlu dipersiapkan. Kita pun tidak terlalu risau memikirkan segala macam kurikulum dan model pembelajarannya sebab telah menyerahkannya ke pihak ketiga (sekolah dan guru). Berbeda ketika mendidik anak sendiri. Beberapa teman berpikir kalau homeschooling merupakan langkah hemat untuk mendidik anak. Padahal ga juga. Selain memikirkan dana yang harus dikeluarkan untuk kegiatan belajar, kami pun harus belajar dan membaca banyak materi dan regulasi tentang homeschooling. Misalnya sekian model pembelajaran yang ternyata banyak ragamnya. Padahal dulu saya hanya tahu tentang kurikulum nasional dan kurikulum Cambridge saja.

Sempat keder dan blank saat tahu hal ini. Untungnya saya termasuk orang yang keras kepala. Saya ‘paksa’ diri sendiri untuk membaca. Tidak ada jalan lain selain membaca. Blog-blog praktisi homeschooling, buku, dan ikut kursus. rumahinspirasi adalah satu blog yang sangat membantu saya dalam memahami homeschooling. Menurut Mba Lala dan Mas Aar, praktisi homeschooliing pengelola Rumah Inspirasi, homeschooling atau biasa diisingkat HS adalah istilah untuk keluarga yang mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, jadi bukan lembaga kursus.

Dari proses membaca ini kemudian kami paham bahwa dalam HS, yang utama dipikirkan bukan lah soal kurikulum atau metode belajar namun lebih pada menentukan visi pendidikan keluarga. Jadi kita sudah memiliki gambaran besar hasil pendidikan yang diinginkan baru ditarik mundur untuk teknis perjalananya. Bahasa kerennya, menemukan “why”-nya dulu baru kemudian “what” dilanjut dengan “how”.


Benar sekali ungkapan bahwa kehadiran seorang anak bisa mengubah dimensi kehidupan kita. Selain mempelajari konsep homeschooling, keputusan tidak mengirim anak ke lembaga formal pemerintah ini pun mengharuskan saya untuk meemahami perundang-undangan. Geli-geli bagaimana gitu rasanya. Saat masih menjadi pendidik, saya ‘cuek’ dengan hal seperti ini. Sekarang, Saya harus membaca Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan peraturan turunannya satu demi satu agar tahu bahwa apa yang saya lakukan tidak melanggar hukum.

Terdapat tiga jalur pendidikan di Indonesia. Jalur formal, non formal, dan informal. Jalur formal itu sekolah, jalur non formal seperti pesantren, PKBM, sanggar belajar atau lembaga kursus, sedangkan jalur informal homeschooling (keluarga mendidik sendiri anak-anaknya). Ketiganya diakui dan ‘setara’. Setaranya memakai tanda kutip ya (hehehe).

Kembali ke pertanyaan teman di awal tulisan, saya tidak bisa menjawab pasti apakah lebih baik menyekolahkan anak atau mendidik secara mandiri. Bagi saya, dua hal tersebut tidak untuk dibandingkan atau bahkan dilombakan. Semua memiliki konsekuensi dan kelebihan juga kekurangannya. Banyak sekali lulusan sekolah yang menjadi orang-orang hebat. Saya sendiri memiliki teman-teman yang berprofesi sebagai pendidik dan tidak diragukan dedikasinya. Alasan utama saya tidak mengirim Aro ke sekolah formal  lebih karena ingin ada alternatif lain dalam belajar dan memberi waktu untuknya bisa bermain sepuasnya. Rumusnya bermain = belajar .

0 Komentar