Perjalanan
“Nda, ke rumah Yangkung besok kita akan naik kereta
atau pesawat?” sebuah pertanyaan terlontar pagi tadi. Ketika mengetahui bahwa
transportasi yang akan kami gunakan adalah kereta api, dia pun menghembuskan
nafas lega sehingga memancing pertanyaan saya. Aro bercerita tentang
kenangannya saat terakhir kali ke rumah Yangkung.
Saat itu kami naik pesawat. Meskipun harus bangun dini
hari sebab naik penerbangan pertama, Aro nyaman saja meski terkantuk-kantuk
namun tidak keluar keluhan atau rewel dari dirinya. Sejak usia 3 tahun, dia
sudah biasa kami bawa kesana kemari. Melakukan perjalanan di jam berapa pun, entah
dini hari, siang, sore, atau malam. Portable. Semuanya berjalan lancar sampai
tiba di Juanda. Bandara yang cukup besar ini entah mengapa dalam pandangan saya
saat itu suram. Tempat kami mengambil bagasi pun terkesan gelap dan shabby. Berbeda
sekali dengan saat terakhir kali kami disana. Namun, Aro masih bernyanyi-nyanyi
ceria seperti kebiasaannya bila dalam perjalanan.
Jarak bandara dan rumah Yangkung sebenarnya cukup jauh
dan biasanya kami dijemput. Namun karena ingin merasakan jalan tol yang baru,
kami memutuskan berpetualang naik bus saja. Keputusan kecil dan wajar. Dalam
benak kami, hanya perlu naik bus dua kali untuk sampai tujuan, yaitu dari
bandara ke Terminal Bungurasih kemudian dilanjut naik bus jurusan Trenggalek
dan pastinya harus patas agar lewat tol dan hanya satu jam, wuzzz sudah sampai.
Tidak 3-4 jam lagi. Sesederhana itu.
Rencana kecil itu ternyata membuka wawasan kami.
Berawal dari Bus Damri dari bandara ke terminal. Kami sempat bengong melihat
bus bandara ini. Berbeda sekali dengan bus yang biasa kami naiki dari Bandara
Soeta, baik secara ukuran, penampakan, suasana, maupun penumpang dan
kondekturnya. Penumpang dengan beragam bawaan bahkan ada yang membawa keranjang
bambu besar, logat bicara yang khas dan kalau tidak biasa membuat ketakutan
sekaligus pertanyaan menyelidik kondektur akan kemana tujuan kami nanti selepas
dari terminal.
Saya merasa nostalgia sekali ke masa enam tahun silam,
dimana sempat merasakan kerap pulang naik bus. Maksud pertanyaan kondektur
sebenarnya baik agar bisa membantu kami bagaimana mencari bus yang sesuai dan
tidak terperangkap calo di Bungurasih nanti. Tetapi bagi yang tidak terbiasa
seperti si ayah, hal tersebut membuat kurang nyaman. Wajahnya tertekuk lucu
menerima kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi. Terlebih ketika menyadari rute
yang diambil bukan jalan tol bandara yang mulus, tetapi jalan kecil biasa
dimana kerap kami terhempas-hempas karena banyaknya lobang. Aro sempat nyeletuk
serasa naik kuda sehingga mau tak mau si ayah pun ikut tertawa. Belajar
menikmati perjalanan.
Terminal Bungurasih sudah berubah. Lebih luas, bersih,
terang, bagus, namun sepi. Itulah kesan saya ketika melihatnya kembali. Mungkin
karena hari itu adalah hari biasa, bukan akhir pekan, dimana tidak banyak
orang keluar kota. Kebetulan ada bus patas yang sedang menunggu jam
pemberangkatan, sehingga kami bisa langsung naik.
Bus masih belum berjalan. Beberapa penjual asongan
naik dan menawarkan dagangan. Bagi Aro, itu pengalaman pertamanya melihat
mereka. Ada penjual kacang bawang yang menghampiri sambil menawarkan
dagangannya. Kami sempat membeli 3 bungkus seharga lima ribu. Kemudian ada 2-3
pedagang lain yang menawarkan barangnya dengan menaruh langsung di pangkuan
untuk dilihat. Sesuatu yang biasa dilakukan pada pedagang asongan namun membuat
Aro menjadi gelisah sebab merupakan hal baru baginya.
Dia tidak mengerti mengapa orang-orang itu memberikan
sesuatu yang dia tidak mau. Konsep menawarkan barang dagangan belum masuk dalam
benaknya. Menjelaskan panjang lebar di saat Aro gelisah seperti ini jelas
sesuatu yang tidak efisien. Selain tidak bisa dipahami, juga tidak bisa
diterima seperti pendapat John Medina dalam bukunya Brain Rules for Baby bahwa
otak bayi tidak dapat belajar sampai dia merasa aman. Hal tersebut
berlaku juga pada anak-anak sehingga saya hanya menjawab pendek kalau barangnya
nanti diambil lagi oleh pemiliknya.
Pengalaman akan perasaan gelisah dan pemahaman tentang
pedagang asongan secara langsung ternyata membekas di Aro. Saya tidak tahu
seberapa membekas dan apa saja yang masuk dalam ingatan dan pemahamannya dari
pengalaman tersebut karena pembicaraan mengenai hal tersebut hanya singkat dan
sebentar.
Satu yang teringat adalah ketika kacang bawang tiga
bungkus itu menyelamatkan kami dari rasa lapar yang mendera sebab
ternyata bus yang kami tumpangi tidak lewat jalan tol sehingga waktu yang
diperlukan bukan satu jam namun 4 jam sebab meskipun patas, penumpang hanya 6
orang sehingga jalannya pun teramat pelan. Menjadi penumpang angkutan publik
memang memerlukan seni tersendiri menghadapi hal-hal di luar dugaan selama
perjalanan.
“Children live from anything and everything they see.
They learn wherever they are, not just in special learning places.” – John Holt
–
0 Komentar