Mother Culture (3) Menerima Kenyataan
“Ya, seharusnya dia tahu mauku itu apa. Masak sih aku harus selalu ngomong ? Menikah sudah tiga tahun. Sebagai suami, seharusnya kan peka, istri sedang repot, dibantu apa kek, malah sibuk dengan gawai. Nyebelin banget ga sih, suami seperti itu ?”
Mungkin kita pernah mendengar seorang teman curhat
seperti di atas. Atau mungkin kita sendiri pernah melakukannya. Merasa tidak
puas dengan satu hal karena apa yang terjadi berbeda dengan ekspektasi yang
kita bangun dalam pikiran. Seandainya, seharusnya tidak begitu, idealnya kan
begini dan sederet kata yang menggambarkan apa yang ada dalam pikiran kita.
Ketidakcocokan antara kenyataan yang terjadi dan harapan kemudian membuat kita
merasa kecewa sampai sedih bahkan marah sebab tidak terima. Menyalahkan
situasi, mengkambinghitamkan seseorang, atau bahkan menyalahkan diri sendiri.
Ujung-ujungnya, kita sendiri yang bete sendirian. Tak jarang, anak pun menjadi
korban pelampiasan emosi. Hal-hal sepele menjadi sesuatu yang fatal di mata
kita.
Bagaimana sebenarnya menghadapi situasi tersebut ? Hal
pertama yang harus kita lakukan adalah menerima kenyataan. Menerima realita
kondisi pasangan (untuk kasus diatas), bukan mengandaikan harapan menjadi
realita. Sesuatu yang sulit dilakukan, namun cukup melegakan sebenarnya apabila
berhasil.
Kesulitan muncul sebab utamanya karena kita belum
menerima kenyataan. Selain juga faktor entropi. Entropi tersebut muncul sebab
program-program lama yang ada dalam diri kita yang cenderung menghasilkan
reaksi-reaksi impulsif dan negatif. Saat gambaran kita akan sesuatu tidak
sesuai, langsung bereaksi. Alih-alih melihat dengan jernih, kita cenderung
mengambil sikap emosional. Keadaan semacam itu adalah contoh kondisi dimana
entropi menguasai kita dan itu artinya kedewasaan spiritual sedang dalam ujian.
Untuk bisa lolos dari ujian kedewasaan spiritual ini, mau tidak mau entropi
harus dilawan. Sejalan dengan kalimat Charlotte Manson, “There is no education
but self-education”.
Sebelum bisa melawan entropi, hal pertama yang kita
perlukan adalah mengenali diri sendiri. Mba Ellen sebagai pembicara menjelaskan
agar kita pun bisa memperhatikan reaksi tubuh saat berada di situasi yang
membuat emosi meledak (temper).
Tanda-tanda kita mengalami gejala upsetting sensations
ini adalah ;
- Mulut kering dan detak jantung yang cepat
- Kepala pusing
- Lelah dan sakit perut
- Gigi gemeletuk dan punggung/wajah kaku
Tanda-tanda emosi mendera ada dua ;
- Bersifat agresif seperti marah, merasa dendam, ingin menghukum, sebal, jengkel, melakukan hal-hal menyebalkan, kurang sabar dll
- Bersifat pasif (berkebalikan) seperti cemas, menyesal, khawatir, merasa bersalah, tertolak, merasa sendiri, malu, merasa tidak dicintai dan tidak diterima, tersakiti, tidak berguna, dll
Untuk insecure thoughts ini, kita perlu menjenguk ke
dalam diri ;
- Apakah hal tersebut membahayakan dan merugikan
- Hukuman untuk kita/orang lain
- Keinginan yang tidak terpenuhi
Mengapa perlu diperiksa ? Sebab benarkah hal tersebut
? Apakah benar tidak ada sudut pandang lain ?
Kita pun perlu mengenali harmful impulses yang terdiri
;
- Aktif : komplain, mengkritik, merusak, mendebat, memukul, bohong, berteriak, berkata kasar, dll
- Pasif : Tidur melulu (durasi panjang), melamun, mengasihani diri sendiri, penyangkalan, apatis, menunda-nunda sesuatu, dll
Hal-hal tersebut tidak untuk dihindari atau ditolak,
namun perlu seni tersendiri menyiasati agar tidak ‘menelan’ kita bulat-bulat.
Saat bisa melampui situasi tersebut, sangat mungkin sekali kedewasaan kita pun
tumbuh.
Kedewasaan itu bisa kita andaikan sebuah pohon yang
perlu kita rawat, jaga, pupuk, dan memberinya kesempatan tumbuh. Menjalani
hari-hari selaras dengan misi hidup kita adalah salah satu cara.
Mba Ellen menutup sesi kali ini dengan sebuah kutipan
dari Steven Pressfield, penulis buku The War of Art :
Never forget : This very moment, we can change our
lives. There never was a moment, and never will be, when we are without the
power to alter our destiny.
0 Komentar