It is a great thing to be a parent: there is no promotion, no dignity, to compare with it. The parents of but one child may be cherishing what shall prove a blessing to the world. (Charlotte Mason, vol.1 p.1)

Sebuah ungkapan pembuka melanjutkan tulisan tentang mother culture lalu. Menjadi orang tua itu sesuatu yang luar biasa, menyenangkan sekaligus melelahkan dan menakutkan. Tidak ada piala, penghargaan, atau piagam. Hanya waktu membuktikan, ketika anak-anak kita dewasa, akankah menjadi berkah bagi semesta atau sebaliknya.

Mendewasakan diri secara spiritual ini dibutuhkan para ibu khususnya, untuk menciptakan atmosfer positif bagi pendidikan anak-anak. Ibu yang memiliki kematangan spiritual akan mampu pula mendewasakan anak-anaknya secara spiritual. Anak-anak yang spiritualnya matang akan memiliki kecenderungan melakukan sesuatu yang positif dan tidak merusak diri atau lingkungan.

Mba Ellen menjelaskan bahwa menjadi ibu memang tidak harus sempuna, tetapi juga tidak bisa apa adanya sebab ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anak belajar menjalani kehidupan. Hal tersebut yang mengkondisikan seorang ibu untuk selalu tumbuh dan memang prosesnya tidak mudah. Mengapa ? Belajar dan tumbuh untuk kematangan spiritual ini adalah sebuah kondisi yang diupayakan, tidak alami (unnatural). Sesuatu yang tidak alami pasti memerlukan tenaga extra untuk mengupayakannya.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang ibu mampu berproses dan belajar mematangkan spiritualitasnya ? Bagaimana caranya bisa mengusahakan memiliki waktu untuk mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan diri bila  waktu dua puluh empat jam saja rasanya kurang, habis untuk mengurus anak dan rumah? Apalagi untuk ibu yang memiliki anak lebih dari satu. Jangankan untuk diri sendiri, membagi diri untuk anak-anak dan pekerjaan rumah saja rasanya sudah berat.

Dari waktu dua puluh empat jam tersebut, kita bertekad mengupayakan ada waktu untuk diri sendiri. Pilihan kegiatan bisa beragam, mulai dari membaca buku (bukan status ya), membuat kerajinan tangan (seperti membuat kristik untuk ibu-ibu kita dulu), atau melalukan sesuatu yang ingin kita lakukan namun belum terlaksana. Untuk berapa lama durasinya, tergantung kesepakatan kita dengan diri sendiri. Sulit ? Pasti sebab akan banyak jebakan entropi yang merintangi. Istilah entropi terkait dengan hukum termodinamika yang mengatakan bahwa secara alami energi itu cenderung bergerak ke bawah. Untuk bisa bergerak ke atas maka diperlukan energi yang lebih besar. Untuk mau tumbuh dan mendewasakan emosi maka kita, para ibu, ini perlu komitmen dan bekerja keras.






Gambar di atas menjelaskan bagaimana entropi bekerja menghalangi proses mematangkan spiritual ini dalam wujud rasa takut dan malas. Lawan entropi adalah keberanian dan kerja keras. Di titik ini, kita diajak untuk berani keluar dari rutinitas dan kenyamanan yang selama ini melingkupi. Ojo kalah karo wegah istilah jawanya.

Oh iya, Mba Ellen juga mengatakan bahwa rasa nyaman itu wujudnya bisa bermacam-macam, tidak melulu pada sebuah kondisi kelimpahan, namun juga kondisi ‘tidak berdaya’. Kondisi ‘tidak berdaya’ itu misalnya saja perasaan grogi dan takut untuk berbicara di depan banyak orang. Kita merawatnya dan selalu menolak bila ada kesempatan, memilih pekerjaan-pekerjaan di belakang layar. Situasi tersebut termasuk ke dalam jebakan entropi, termasuk memilih bermain sepanjang hari dengan daripada membaca buku, padahal anak-anak sebenarnya bisa bermain sendiri, atau juga bisa berjam-jam melihat drakor tetapi mengatakan tidak cukup punya waktu untuk berolah raga (saya banget ini).

Bagi saya, melawan entropi ini sulit. Perlu latihan berkali-kali, kadang gagal kadang berhasil (namanya juga latihan). Apalagi entropi ini kerap kemunculannya disebabkan program-program lama dalam pikiran kita. Progam-program negatif yang memberi dampak kepada cara pandang kita akan sesuatu.  



The foundation of all mental illness is the unwillingness to experience legitimate suffering – C.G.Jung



Mungkin pendapat Jung ini bisa sedikit menyemangati untuk melawan entropi dalam upaya kita tumbuh dan menjadi ‘dewasa’. Apakah dewasa itu tidak bahagia atau berarti selalu menderita ? Terus kalau menderita melulu, kapan dong bahagianya ?

“Bahagia itu sebuah perasaan yang bisa diciptakan dan sifatnya sementara”, kata Mba Ellen. “Jadi, kalau mau bahagia tinggal dipilih program bahagia di otak kita, tidak perlu menunggu ini atau itu, tidak perlu sebuah alasan pengguat sebab tumbuh dewasa itu tidak terpaku pada sebuah kebahagiaan tetapi bagaimana kualitas hidup kita”.
We must cultivate all three intelligences for our overall health: critical intelligence, emotional intelligence, and spiritual intelligence. If one falls to the wayside, it slows the growth of the other two – Haemin Sunim
 

0 Komentar