Mother Culture (2)
It is a great thing to be a parent: there is no promotion, no dignity, to compare with it. The parents of but one child may be cherishing what shall prove a blessing to the world. (Charlotte Mason, vol.1 p.1)
Sebuah ungkapan pembuka melanjutkan tulisan tentang mother
culture lalu. Menjadi orang tua itu sesuatu yang luar biasa, menyenangkan
sekaligus melelahkan dan menakutkan. Tidak ada piala, penghargaan, atau piagam.
Hanya waktu membuktikan, ketika anak-anak kita dewasa, akankah menjadi berkah
bagi semesta atau sebaliknya.
Mendewasakan diri secara spiritual ini dibutuhkan para
ibu khususnya, untuk menciptakan atmosfer positif bagi pendidikan anak-anak.
Ibu yang memiliki kematangan spiritual akan mampu pula mendewasakan
anak-anaknya secara spiritual. Anak-anak yang spiritualnya matang akan memiliki
kecenderungan melakukan sesuatu yang positif dan tidak merusak diri atau
lingkungan.
Mba Ellen menjelaskan bahwa menjadi ibu memang tidak
harus sempuna, tetapi juga tidak bisa apa adanya sebab ibu adalah sekolah
pertama untuk anak-anak belajar menjalani kehidupan. Hal tersebut yang
mengkondisikan seorang ibu untuk selalu tumbuh dan memang prosesnya tidak
mudah. Mengapa ? Belajar dan tumbuh untuk kematangan spiritual ini adalah
sebuah kondisi yang diupayakan, tidak alami (unnatural). Sesuatu yang tidak
alami pasti memerlukan tenaga extra untuk mengupayakannya.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana seorang ibu
mampu berproses dan belajar mematangkan spiritualitasnya ? Bagaimana caranya
bisa mengusahakan memiliki waktu untuk mengerjakan sesuatu yang berkaitan
dengan pengembangan diri bila waktu dua puluh empat jam saja rasanya
kurang, habis untuk mengurus anak dan rumah? Apalagi untuk ibu yang memiliki
anak lebih dari satu. Jangankan untuk diri sendiri, membagi diri untuk
anak-anak dan pekerjaan rumah saja rasanya sudah berat.
Dari waktu dua puluh empat jam tersebut, kita bertekad
mengupayakan ada waktu untuk diri sendiri. Pilihan kegiatan bisa beragam, mulai
dari membaca buku (bukan status ya), membuat kerajinan tangan (seperti membuat
kristik untuk ibu-ibu kita dulu), atau melalukan sesuatu yang ingin kita
lakukan namun belum terlaksana. Untuk berapa lama durasinya, tergantung
kesepakatan kita dengan diri sendiri. Sulit ? Pasti sebab akan banyak jebakan
entropi yang merintangi. Istilah entropi terkait dengan hukum termodinamika
yang mengatakan bahwa secara alami energi itu cenderung bergerak ke bawah.
Untuk bisa bergerak ke atas maka diperlukan energi yang lebih besar. Untuk mau
tumbuh dan mendewasakan emosi maka kita, para ibu, ini perlu komitmen dan
bekerja keras.
Gambar di atas menjelaskan bagaimana entropi bekerja
menghalangi proses mematangkan spiritual ini dalam wujud rasa takut dan malas.
Lawan entropi adalah keberanian dan kerja keras. Di titik ini, kita diajak
untuk berani keluar dari rutinitas dan kenyamanan yang selama ini melingkupi. Ojo
kalah karo wegah istilah jawanya.
Oh iya, Mba Ellen juga mengatakan bahwa rasa nyaman
itu wujudnya bisa bermacam-macam, tidak melulu pada sebuah kondisi kelimpahan,
namun juga kondisi ‘tidak berdaya’. Kondisi ‘tidak berdaya’ itu misalnya saja
perasaan grogi dan takut untuk berbicara di depan banyak orang. Kita merawatnya
dan selalu menolak bila ada kesempatan, memilih pekerjaan-pekerjaan di belakang
layar. Situasi tersebut termasuk ke dalam jebakan entropi, termasuk memilih
bermain sepanjang hari dengan daripada membaca buku, padahal anak-anak
sebenarnya bisa bermain sendiri, atau juga bisa berjam-jam melihat drakor
tetapi mengatakan tidak cukup punya waktu untuk berolah raga (saya banget ini).
Bagi saya, melawan entropi ini sulit. Perlu latihan
berkali-kali, kadang gagal kadang berhasil (namanya juga latihan). Apalagi entropi
ini kerap kemunculannya disebabkan program-program lama dalam pikiran kita.
Progam-program negatif yang memberi dampak kepada cara pandang kita akan
sesuatu.
The
foundation of all mental illness is the unwillingness to experience legitimate
suffering – C.G.Jung
Mungkin pendapat Jung ini bisa sedikit menyemangati
untuk melawan entropi dalam upaya kita tumbuh dan menjadi ‘dewasa’. Apakah
dewasa itu tidak bahagia atau berarti selalu menderita ? Terus kalau menderita
melulu, kapan dong bahagianya ?
“Bahagia itu sebuah perasaan yang bisa diciptakan dan
sifatnya sementara”, kata Mba Ellen. “Jadi, kalau mau bahagia tinggal dipilih
program bahagia di otak kita, tidak perlu menunggu ini atau itu, tidak perlu
sebuah alasan pengguat sebab tumbuh dewasa itu tidak terpaku pada sebuah
kebahagiaan tetapi bagaimana kualitas hidup kita”.
We must cultivate all three intelligences for our overall health: critical intelligence, emotional intelligence, and spiritual intelligence. If one falls to the wayside, it slows the growth of the other two – Haemin Sunim
0 Komentar