Ikut Workshop Mother Culture (1)
Bagaimana workshop-nya Mba ? Cerita dong!” Seorang
teman bertanya lewat WA tentang kegiatan yang saya ikuti kemarin. Ia ingin
sekali ikut workshop tapi berhalangan karena ada acara keluarga. Mother
Culture, adalah tema workshopnya dengan pembicara Ellen Kristi seorang praktisi
Charlotte Mason (CM). Hari itu Mbak Ellen, begitu ia biasa dipanggil, mengajak
mendiskusikan bagaimana ortu, terutama ibu, bisa tumbuh bersama anak.
Dalam filosofi pendidikan CM, pendidikan dimaknai sebagai atmosfer, sebuah
disiplin dan sekaligus kehidupan (Education is an atmosphere, a discipline, a
life). Ah…tulisan berat diantara tulisan saya biasanya. Saya bikin kopi dulu ya
teman-teman.
Saya, atau kebanyakan dari kita, menghabiskan waktu
belasan atau bahkan puluhan tahun untuk ke sekolah. Dari TK hingga ke perguruan
tinggi. Membedakan antara waktu “berangkat sekolah” dan “pulang sekolah” untuk
mengkondisikan otak kita tentang ke sekolah sama dengan belajar.
Lalu apakah ketika tak lagi di sekolah kita tidak
belajar? Belum tentu. Begitu kira-kira kalau kita bisa bertanya langsung pada
Charlotte Mason, seorang pendidik dari Inggris yang lahir di tahun 1842.
Biar lebih akrab, kita akan menyebutnya dengan inisialnya saja, CM. Menurut CM,
pendidikan dapat dipahami sebagai sebuah atmosfer yang tak tampak tetapi bisa
dihirup dan dirasakan. Bagaimana maksudnya? Seperti atmosfer, pendidikan
dilihat tidak hanya ketika kita atau anak-anak kita berada di dalam kotak-kotak
kelas. Maaf bagi yang ruang kelasnya tidak kotak ya.
Kok bisa begitu? Ya lihat saja bagaimana kita belajar
banyak hal, baik pengetahuan lama atau baru, hampir setiap hari. Mulai dari
memilih jalan saat kelaur rumah, mengenal orang baru, menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial dan lain-lain. Ada kalanya ilmu yang kita pelajari di sekolah
akan bisa digunakan, namun ada kalanya tidak. Lalu darimana kita belajar hal
yang tidak diajarkan di sekolah? Ya, di luar sekolah. Artinya pendidikan bisa
didapat dimana saja, tak hanya di sekolah. Seperti kata Gandhi, pendidikan
adalah sebuah kerja spiritual yang tak terbatas ruang dan waktu.
Pesan yang mudah dibaca tapi tak mudah dilakukan,
setidaknya untuk saya. Di titik ini, kita diingatkan kembali untuk merenungi
makna pendidikan yang selama ini diyakini.
Sebagaimana manusia terdiri dari materi dan spiritual,
hendaknya pendidikan pun tidak hanya mengutamakan materi saja, namun spiritual
pun penting. Pendidikan dilihat dari materi merunut dari perkembangan anak dari
sisi kognitif pada teori Piaget. Tentang Piaget. Jadi ingat lagu kebangsaan
kita, ...bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…
Dari sisi spiritual, pendidikan pun menyatu dengan
kehidupan kita dan anak-anak. Bagaimana kita bersikap, mengelola emosi ketika
marah, intonasi suara ketika berbicara, berinteraksi dengan pasangan dan dunia
luar, juga kegemaran-kegemaran yang dilakukan, semua akan diserap anak-anak,
meskipun dalam diam, sehingga mungkin saja akan ditiru dan bahkan
menginspirasi mereka kelak.
Nah…di sinilah pentingnya untuk menjadi orang tua yang
terus belajar dan tumbuh. Bukan untuk meraih gelar atau ijazah atau juga
mendapat kata wow, tapi karena menjadi ortu artinya telah menjadi pohon
pelajaran yang buahnya terus dipetik oleh anak-anak setiap hari sepanjang hidup
kita. Masih menurut Ellen, atmosfer positif hanya bisa terbangun ketika ortu
mau belajar terutama menyangkut kedewasaan emosi (habit of growing up) sebab
tua itu pasti namun dewasa adalah pilihan. Termasuk juga kedewasaan menjadi
orang tua.
Tumbuh bersama anak-anak mungkin konsep yang tidak
familier bagi kita. Namun seorang ibu ,khususnya, tidak boleh mandeg belajar,
terutama untuk ibu-ibu homeschooling. Anak-anak kita akan berada dalam atmosfer
positif jika sang ibu juga terus tumbuh dengan kecerdasan dan kepekaan
emosionalnya sebagai ibu.
Eits…bapak-bapaknya ga boleh melipir. Ini berlaku juga
untuk bapak-bapak. Walaupun dalam tatanan keluarga konvensional, jebakan
identitas menjadi “ibu” dan “istri” kerap membelenggu kita dalam kerepotan dan
rutinitas domestik sehingga tidak ada waktu untuk mengembangkan diri.
Misalnya bermain dengan anak sepanjang hari lebih menyenangkan daripada
harus susah-susah membaca buku atau melakukan kegiatan ‘belajar’ lainnya.
Kelelahan setelah membereskan rumah membuat para ibu tidak cukup memiliki
energi untuk melakukan sesuatu bekaitan dengan kegemarannya. Atau juga,
menanggung beratnya mendengar tangisan anak saat akan kita tinggalkan untuk
bekerja.
Jadi bagaimana ? Haruskah kita tinggalkan anak demi
diri sendiri ? Anak-anak dititipkan ke daycare atau ART saja ?
0 Komentar