“I will hiding in the secret garden. Can you find me?” Tanya Aro memulai permainan hide and seek , salah satu permainan kesukaanya.
“Okay. Siji, loro, telu….” Saya mulai menghitung. Permainan pun dimulai. Ia akan bersembungi di balik pohon mangga yang dikerubuti daun oyong atau dibalik rimbunnya daun kacang panjang. Sebagai ayah yang menyenangkan, saya pun pura-pura susah menemukannya *_*

Taman di belakang rumah menjadi teman baru bagi saya, Aro dan bundanya. Teman ngobrol melihat bunga matahari mekar, bersedih saat bayam mulai berlubang karena lalat, sampai rasa jengkel karena sulur oyong mulai menjalar ke rumah sebelah. Taman ini bukan hanya tentang aktivitas menanam dan menyiram tapi juga tentang usaha, jalinan emosi dan hubungan antar mahluk.


Perjalanan taman ini dimulai sejak tiga tahun lalu saat saya dan keluarga pertama kali menempati rumah ini. Halaman di belakang terlihat begitu lengang karena hanya ditumbuhi rumput, pohon rambutan, pohon mangga dan beberapa tanaman hias dalam pot. Iseng karena ada cangkul dan bibit sayuran, kami pun mencoba membuat gundukan tanah sebagai media tanam untuk bibit cabai dan tomat yang kami siapkan. Sayangnya, percobaan ini gagal karena gundukan tanah sering hilang tersapu hujan. Ditambah lagi rindangnya dahan pohon mangga tak memberi kesempatan bibit cabai dan tomat mendapat sinar matahari untuk tumbuh. Namun, kami mendapat pelajaran tentang benih yang harus disemai dulu sebelum ditanam.


Taman belakang menjadi tak terurus sampai beberapa lama. Semak belukar tumbuh di sekeliling pohon mangga. Ketela rambat juga tak mau ketinggalan. Banyak semut rangrang (weaver ant) yang bersarang di rimbunnya tanaman semak membuat kami jarang berlama-lama di sini.

Cerita berubah sepulang dari Jerman setelah seorang kawan memberi bibit untuk kami tanam. Proyek membuat taman belakang rumah pun dimulai lagi. Saat itu memasuki musim hujan, kami yang sering mendengar berita pohon roboh pun memutuskan menebang pohon mangga. Terlihat cukup terang saat sinar matahari menyapu tanah. Tanah lembab berlumput yang agak berbau seakan digantikan dengan tanah yang lebih segar.


Batang-batang kecil dari pohon mangga kami pakai untuk membuat pagar kecil untuk melindungi media tanam dan bibit “sayuran impor” yang kami tanam. Setelah merawat dan menyiram setiap pagi dan sore selama beberapa minggu, kecambah tanaman mulai tumbuh.

Kami gembira karena proyek bertaman ini sepertinya menarik untuk diteruskan. Segera saja saya melongok ke toko online, memesan bibit bunga matahari. Kami menanam puluhan bibit sambil berharap taman kami akan ditumbuhi banyak bunga matahari berwarna kuning. Sayang harapan itu tak terwujud karena lebih dari separuh bunga matahari muda yang kami tanam di pot mati dimakan tikus.

Aktivitas menyiram dan merawat tanaman menjadi hal yang menarik bagi kami. Proyek bertaman yang lebih serius kami rencanakan bersamaan dengan kerja renovasi atap dan beberapa bagian rumah. Sengaja kami beli batu bata lebih banyak dari jumlah yang kami butuhkan untuk renovasi. Dilandasi oleh semangat gotong royong dan musyawarah untuk bersepakat, biar kelihatan solid, kami mulai membawa batu bata dari halaman depan ke halaman belakang rumah. Menyusunnya dengan formasi yang semenarik mungkin. Membeli rock wool, bibit, media tanam dan peralatan pertanian dari toko online langganan. Singkat kata, level keseriusan bertaman kami meningkat dari sebelumnya. Menyiram benih tanaman menjadi rutinitas tambahan kami setiap pagi dan sore. Lalu bibit jagung, bunga matahari, tomat, sawi, oyong, kacang panjang, dan bunga telang pun tumbuh.


Beragam emosi mengiringi perjalanan taman kami. Apakah kami selalu bertaman dengan senang? Tidak selalu begitu, Ferguson. Perselisihan kadang terjadi diantara kami. Saya dan bundanya Aro sering berbeda pendapat tentang tanaman apa saja yang perlu ditambahkan atau berapa kotak lagi yang perlu dibuat. Atau Aro yang uring-uringan kalau saya minta bantuan untuk membantu menyiram tanaman. Kadang saya juga berposisi sebagai common enemy ketika terlalu asyik di taman hingga melupakan beberapa tugas lain. Jadi, agar tak lupa waktu, saya selalu memakai jam tangan agar selalu ingat kapan selesai dengan aktivitas di taman.


Tiga minggu setelah bibit dipindah ke media tanam yang lebih besar, bunga matahari pun mulai berbunga. “Ini bunga matahari pertama yang bisa kutanam dan mekar,” kata bunda. Ia selalu menyapa bunga mataharinya setiap pagi. Aro juga senang berlama-lama diantara bunga matahari sambil menangkap kupu-kupu dengan alat penangkap dari bambu dan botol plastik. Saya pun niat sekali membeli alat semprot pengusir lalat buah. Tak hanya kami, sepasang burung kutilang dan seekor tupai juga menjadi pengunjung rutin. Masing-masing dari kami menemukan aktivitas baru di taman belakang rumah.

Eh tapi apa ya motivasi kami sebenarnya? Sampai-sampai mengeluarkan dana milyaran rupiah uang monopoli *_* Sebuah ulasan (klik disini) menyebutkan bertaman adalah puncak tertinggi sebuah peradaban. Apa pasal? Lha itu, Adam dan Hawa ditempatkan di taman surga. Bukan di sawah, tegalan atau padang pasir. Masih ingat dengan cerita kemegahan taman Babylonia yang menjadi tanda kemajuan peradabannya? Bagi orang yang mapan, taman menjadi simbol dari kemapanan itu sendiri. Seakan berlaku sebagai “tuhan” karena dapat menyaksikan tanaman tumbuh dan berkembang karena kemurahan hati mereka. Selain itu mereka bertaman karena ingin selalu dekat dengan alam dan “mengekstrak” keindahan alam lewat aktivitas menanam dan melihat bunga atau tanamannya tumbuh. Saya sebut ini golongan yang pertama.

Sementara itu ada juga yang membuat taman atau kebun agardapat memetik sayur dan buahnya. Dalam bahasa Profesor Prasodjo Legowo, satu tokoh dalam tulisan Umar Kayam, disebut sebagai konsep autarki yaitu konsep ekonomi swasembada dimana setiap keluarga memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Di berbagai Kota besar di dunia mulai tumbuh komunitas pertanian urban yang menggunakan atap gedung, bekas lapangan atau tempat-tempat lain untuk menanam dan mencukupi kebutuhan pangan mereka sendiri. Nah, kami berdoa dapat masuk ke golongan yang kedua ini. Berharap bisa memetik sayur dan buah yang kami tanam sendiri. Selain untuk menghemat pengeluaran untuk membeli sayur dan buah juga karena kami tahu seberapa banyak pupuk atau pestisida kimia yang digunakan.

Kembali ke halaman belakang rumah. Kalau sebelumnya hanya ada semak, ketela, rumput, semut rangrang dan kami yang datang sesekali untuk bersih-bersih, bagian halaman belakang rumah kami sekarang riuh dengan banyak tanaman, hewan dan tentu saja kami sang manusia. Kini eksosistem taman membentuk interaksi yang kompleks antara delapan pohon jagung yang mulai berbuah, oyong yang sulur membelit apapun yang ia mau, bunga matahari yang tumbuh secara sporadis, lebah, kupu-kupu, bunglon dan kami, sang manusia, yang datang untuk bersenang-senang. Dalam kajian antropologi, relasi sosial hari ini tidak (lagi) hanya ditentukan oleh interaksi antar manusia tetapi juga manusia dengan mahluk atau benda lain. Sepeti kami kini yang menjadi bagian dari ekosistem taman belakang rumah. 

Hubungan yang terbentuk tidak sesederhana ungkapan manusia menciptakan taman, namun taman juga membentuk manusia dengan memberikan atribut berupa aktivitas baru, misalnya menangkap kupu-kupu, merangkai susunan bambu penyangga, menyiram dan berdialog dengan tanaman. Pengalaman yang menyenangkan (Ayah Obi).


2 Komentar

  1. Ingat cerita ibuku yang kl musim hujan ada gerakan menanami sepanjang pagar rumah simbah dengan tanaman sayuran. Bahkan jambu air juga digunakan simbah untuk "janganan". Dulu kami anggap pelit pdhl simbah juga cukup mampu di desanya. Kl ibu lbh ke petani itu kl dimintain uang susah, kl beras boleh ambil seberapa pun. Sekarang baru paham bhw org dulu sdh paham bagaimana berdikari. Tidak tergantung pd pasar sebagai penasok barang kebutuhan sehari-hari. Menikmati menjadi orang bebas.

    BalasHapus
  2. Nah...itulah. Agar keren pakai istilah Jepang, otarki. Jane iku semacem ramban nang pager omah. Luar biasa memang doktrin 32 tahun itu.

    BalasHapus