Kongres Anak Indonesia XV
Di dinding facebook, seorang teman mengunggah tentang perjalanan muridnya
sebagai salah satu delegasi di acara Kongres Anak di Belitung Timur beberapa
waktu lalu. Saya tertegun membaca hasil dari obrolan mereka. Anak-anak yang dalam definisi umum adalah semua
manusia yang belum mencapai usia 18 tahun itu.
Saya membayangkan serunya
anak-anak perwakilan dari seluruh penjuru tanah air itu berkumpul ngobrol tentang
mereka dan kebutuhan (hak)nya. Mantul pasti!
Obrolan tidak hanya tentang sepatu, baju, gawai, atau
tempat nongkrong yang instagrammable di daerahnya
masing-masing tentunya dilihat dari hasil yang mereka publikasikan. Mereka
bicara tentang hak sebagai manusia, warga negara.
Iseng saya mencoba mencari
tahu tentang acara tahunan anak ini di internet. Sempat menjadi berita memang di
beberapa situs namun tidak cukup menggema. Apalagi ketika mencoba memakai alat
peramban google, yang muncul lebih
banyak foto-foto seremonial. Isunya tertelan isu lain entah mengapa.
Padahal, hasil dari kongres anak
tesebut patut sebagai bahan renungan para orang tua juga pemangku kebijakan.
Cukup aktual dan sesuai dengan masa-masa sekarang. Anak-anak tersebut mampu
menanggapi fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya saat-saat sekarang.
Mereka tidak cuek atau tidak mau
tahu. Mereka pun tidak sedang baik-baik saja. Mereka bersuara.
Derasnya arus informasi,
kondisi menjelang pilpres, dan lingkungan yang semakin tidak toleran adalah
realitas yang kita hadapi sekarang ini. Anak-anak mau tidak mau terpapar kondisi tersebut dan merasakan
akibatnya baik langsung maupun tidak. Sebagian mungkin merasakan, sebagian yang
lain mungkin biasa saja atau malah tidak tahu sama sekali. Untuk anak-anak yang
cukup kritis, mudah mengakses informasi (baik dengan gawai atau melihat berita
di televisi), dan mulai memasuki usia delapan keatas, mereka pasti terdampak. Ada yang mulai merasakan perasaan tidak aman,
bergaul tidak lagi nyaman, bahkan disisihkan/perundungan. Mereka menyuarakan
kondisi tersebut dalam kongres yang mewadahi aspirasinya.
Hasil yang patut kita renung
dan pertimbangkan. Kita mungkin sudah sering membaca buku-buku parenting atau bahkan menjadi
penulisnya. Entah berapa worshop, pelatihan
atau seminar pola asuh yang sudah kita ikuti. Banyak ilmu dan bekal memang. Dari
sumber terpercaya, orang dewasa yang bahkan perjalanan hidup keluarganya sangat
menginspirasi kita dalam mendidik anak-anak dengan segala kesuksesannya.
Namun, kapan terakhir kali
kita duduk mendengarkan dengan sabar cerita dari anak-anak ? Meluangkan waktu
mendengar perasaan dan pikiran mereka tanpa tendensi dan sok tahu sebagai orang tua. Duduk fokus tanpa gawai atau pikiran
kemana-mana, hanya untuk mendengar mereka bercerita.
Membaca hasil kongres ini
bagi saya pribadi adalah saat-saat saya pun evaluasi diri. Meski Aro masih usia
dini, tetap dia adalah manusia dengan segala haknya. Orang dewasa pertama yang
wajib memenuhi kebutuhan tersebut adalah orang tua. Namun, orang pertama yang
melakukan pelanggaran terhadap hak anak pun kerap kali orang tua juga.
Teringat kemarin terlibat
pembicaraan dengan seorang anak. Masih 7 tahun. Dengan bersemangat dan
mengebu-gebu dia bercerita tentang perang yang berkecamuk di Timur Tengah. Bagaimana
kondisi perang itu menggugah
keinginannya pergi ke sana. Dia bahkan berencana mengajak teman-temannya. Untuk
apa ? tanya saya waktu itu. Ikut perang, jawabnya mantap. Tetapi anak-anak
tidak boleh ikut perang. Itu jihad, jadi tidak apa-apa. Siapa yang bilang ?
Ayahku. Ayahmu dimana sekarang, apakah ikut perang ke sana ? Tidak, dia di
rumah. Saya pun menghela nafas untuk sekedar menentramkan pikiran.
0 Komentar