Bolos ? Boleh sekali-kali
Sebuah cerita seorang
teman yang ‘menghukum’ anaknya sebab tidak mau berangkat sekolah dengan
beralasan sakit membuat saya termenung. Apalagi kemudian si teman berkeras
anaknya harus pergi ke sekolah meski menangis. Baginya, ke sekolah lebih
penting dan menyenangkan daripada anaknya ngendon
di rumah. Mau ngapain tidak sekolah ? Ujung-ujungnya duduk di depan televisi atau
bermain tidak jelas. Teman saya pun khawatir bila mengijinkan anaknya mbolos, akan jadi kebiasaan buruk.
Sedikit-dikit mbolos kan susah.
Hm... benarkah ?
Ingatan saya kembali
ke masa silam. Masa-masa berada di Taman
Kanak-kanak. TK Dharma Wanita. Hampir setiap hari saya harus bergegas pergi ke
sekolah pagi-pagi. Bukan karena takut terlambat. Tetapi karena saya harus
berangkat bersama kakak – kakak saya yang sudah sd dan masuk lebih pagi.
Ibu khawatir bila
saya menyeberang jalan raya sendirian. Lebih aman dengan kakak-kakak saya.
Meskipun jalan rayanya tidak seramai sekarang. Kendaraan bermotor belum banyak.
Apalagi kami hidup di desa.
Sekolah dasar dan taman
kanak-kanak kami berada dalam satu area. Akibatnya, hampir setiap hari saya
kepagian. Jangankan ibu guru, teman-teman tk pun belum ada yang datang. Saya
sering duduk bengong sendiri sambil
melihat anak-anak sekolah dasar yang bermain. Saya lupa sebabnya mengapa dulu
kok tidak ikut bermain juga.
Tidak banyak kenangan
yang bisa saya ingat di taman kanak-kanak. Termasuk apakah dulu ada pelajaran
menyanyi dan menari ataukah tidak. Dua hal yang sampai dewasa ini benar-benar
tidak saya kuasai.
Tetapi saya ingat
hampir setiap hari ada pelajaan menulis dan mengeja (sistem
pembelajaran dengan
cara mengeja masih digunakan). Buat saya yang kebetulan sudah lancar membaca, mengeja b-a ba, b-e be
adalah sesuatu yang membosankan. Saya biasa membaca cerita pendek di majalah
Ananda, Kuncup, dan Bobo waktu itu (hahahaha).
Dalam rangka
mengatasi kebosanan, saya sering membuat kegiatan sendiri dengan membuat
pesawat terbang dari kertas atau menciptakan bunyi-bunyian dari meja yang
dipukul-pukul. Kalau tidak begitu, mengiris tipis-tipis penghapus pensil dan
menaburkannya kemana-mana seperti rintik hujan di buku teman-teman (penghapus
karet yang entah sekarang masih ada atau tidak ya ?).
Jelas bu guru marah.
Menganggu. Saya sering diminta berdiri di depan atau duduk paling belakang dan
tidak boleh kemana-mana. Kejadian ini hampir tiap hari saya alami. Sampai bosan
dan terkenang hahahaha.
Bu Har, nama guru
saya, mungkin jengkel sekali namun tidak
bisa berbuat apa-apa. Saya sendiri pun heran. Bu Har tidak pernah mengadukan
saya kepada ibu padahal bertemu setiap hari. Ibu seorang guru juga. Guru
sekolah dasar yang berada satu area dengan tk saya.
Karena sering disuruh
berdiri setiap hari, saya pun bosan dan mogok pergi ke sekolah. Alasannya klise
dan umum. Sakit aka kurang enak badan. Saya ingat betul ibu mengeryitkan dahi
tapi beliau percaya. Mengijinkan saya ‘istirahat’ di rumah. Wuih...senang lho
di rumah itu. Bebas mau apa saja, apalagi saudara – saudara saya ke sekolah,
tidak ada yang menganggu atau berbagi mainan. Bebas!
Tetapi siangnya,
sepulang ibu dari mengajar, beliau memanggil. Bercerita kalau tadi menemui Bu
Har untuk memberitahu kalau saya sakit.
Dari situ, ibu mendapat laporan bagaimana ‘bandelnya’ saya di kelas. Ibu malu.
Saya ditegur cukup keras. Ibu pun kemudian tahu kalau saya hanya pura-pura
sakit.
“Tapi aku bosan,Bu!
Di kelas disuruh mengeja. Aku kan sudah
bisa baca !” protesku waktu itu.
Ibu tidak menanggapi.
Besok saya harus masuk sekolah. Mau jadi apa kalau sejak kecil sekolah saja
malas. Lha ?
Sejak peristiwa itu,
saya tidak berani mbolos lagi. Namun
di sekolah ada yang berubah. Ibu guru tidak lagi menghukum saya. Beliau
cenderung ‘membiarkan’ dan memberi saya kebebasan. Saya tidak ikut lagi
kegiatan mengeja. Ketika tugas menulis selesai, saya boleh membaca. Kadang,
beliau meminjamkan buku anak-anak untuk saya baca sendiri ketika teman-teman
belajar mengeja. Sekali waktu, saya diminta membacakannya juga untuk
teman-teman. Saya mulai senang kembali ke sekolah.
Belakangan, saya tahu
ibu menemui Bu Har. Membicarakan tentang kebosanan saya dan bagaimana
menanganinya bersama-sama.
Dua guru yang bijak
menurut saya. Kebandelan dan bengal saya diselesaikan dengan baik dan bukan
diminta pindah sekolah hahahaha. Terima kasih akan kenangannya. Saya memang lupa
sudah belajar apa saja di taman kanak-kanak (bahkan nama teman semasa tk saja
lupa). Namun, kenangan ini saya ingat.
Benar kalau kemudian banyak
pendapat mengatakan untuk anak-anak usia dini, sebelum 7 tahun/usia sekolah,
lebih baik memberinya kenangan indah sebanyak mungkin. Bukan berkejaran untuk membuat
mereka sekedar bisa membaca, menulis, atau berhitung meski hal tersebut sangat
mungkin dilakukan dengan cara-cara lebih santai seperti bermain yang
menyenangkan. Tetapi menurut saya hal tersebut bukanlah utama. Ada banyak hal
sebenarnya yang lebih penting dari calistung. Tentang emosi, tentang perilaku,
tentang berteman,rasa ingin tahu, dan tentang lain-lainnya yang bisa dicari di
banyak artikel pengasuhan.
Kalau santai begitu,
bagaimana nanti kalau sekolah ? Apa tidak ketinggalan ? Orang di sekolah dasar
itu pelajarannya sudah sulit sejak kelas 1. Ujung-ujungnya ortu lagi yang repot
mencari cara agar anaknya tidak ketinggalan di kelas. Yang nulis enak saja
berpendapat, toh anaknya tidak sekolah hehehehe.
Ada masukan bagus
yang saya dapat dari Mas Aar Rumah Inspirasi saat ikut webinar. Mungkin bisa
dijadikan bahan renungan.
Kembali ke kisah si
teman yang anaknya mogok sekolah, mungkin kita sebagai ortu perlu mencari tahu
sebabnya dulu. Bertanya ke si anak tanpa marah-marah atau senewen apalagi
menuduh. Kita belajar mendengarkan suara mereka tanpa memotong ceritanya sebab
bisa jadi memang ada masalah yang perlu kita, ortu, membantunya.
Bagaimana pun,
mendidik anak-anak adalah tugas ortu. Entah anaknya bersekolah formal, non
formal, atau belajar di rumah. Ortu memiliki kewajiban mendidik. Bila anak-anak
kita resah, sedih, menangis, atau bahkan mogok melakukan sesuatu, kita sebagai
ortunya wajib menemani dan memahaminya. Kita belajar mendengarkan kegelisahan
mereka. Kita belajar mempercayai mereka. Bukan marah atau bahkan menuduh yang
bukan-bukan. Bukan pula memaksakan kehendak kita. Karena kita adalah ortu anak
– anak, bukan hakim mereka.
0 Komentar