Malam itu kami sedang menungu kiriman panci pengukus ( dhandhang- Jawa), dari satu toko online.
“Kok belum datang, Yah?” tanya Aro tak sabar. Sudah tiga jam berlalu sejak mereka menunggu.
“Belum. Yang ngirim masih di Tangerang. Mungkin kirimannya banyak,” jawab saya.
Adegan menunggu ini jadi satu bagian dari perjalanan kami membuat cenil. Makanan tradisional (aka. jajan pasar) yang memiliki beberapa nama seperti cenil cetot, kenyol, atau klanting.

Rencananya, kami akan membuat jajanan itu hari ini. Semua bahan seperti tepung terigu, tepung tapioka, pewarna makanan sampai dengan keju telah siap. Tetapi gagal total. Harus ditunda sampai besok sebab satu alat yang menempati posisi cukup penting tidak bisa dipakai. Dhandhang. Kondisinya cukup menggenaskan ketika diturunkan dari rak. Berlobang di sana sini (ketahuan kalau tidak pernah dipakai hehehe).

Membuat cenil adalah ide Aro. Ia terinspirasi dari lagu tentang jajan pasar yang beberapa hari ini sering dinyanyikan. Lagu itu dia ketahui dan dengar pertama kali dari pamannya yang tinggal di Surabaya. Lagu anak sederhana dengan bahasa suroboyoan.disini

“Yah, aku mau buat cenil,” usulnya suatu hari. Saya sebagai partner in crime-nya dalam urusan kuliner tidak begitu menanggapi. Sepertinya ia sadar. Setiap hari, ia desakkan terus ide itu sambil menyanyikan lagu tentang jajan pasar dan menceritakan bagaimana bagusnya cenil yang berwarna-warni.  Singkat kata, akhirnya kami sepakat untuk kapan-kapan membuat cenil.

Pagi hari berikutnya ia begitu bersemangat. Rencana untuk ke taman atau main ke UI harus dibatalkan demi agenda membuat cenil sebab dhandhang sudah datang semalam.

“Hari ini kita jadi buat cenil kan Yah?,” tanyanya setelah selesai cuci muka.
“Ya. Aro sudah tahu caranya?”
“Sudah. Tapi sepertinya kita perlu melihat lagi,” jelasnya. Kami membuka Youtube dan melihat beberapa video proses pembuatan cenil. Ada beberapa komentar dan kesepakatan saat kami melihat video, misalnya mengenai siapa melakukan apa dan bagaimana mengukur tepung, apakah ditimbang atau pakai sendok. Kami menyepakati untuk memakai sendok.

Pengalaman memasak ini membuat saya mencoba mencari beberapa tulisan mengenai makanan dalam masa perkembangan. Makanan menjadi satu topik yang menjadi bahasan para psikolog. Salah satunya mengenai bagaimana ingatan terbentuk dan proses pemanggilan ulangnya (recalling). Ketika kita mengingat makanan, maka yang kita ingat tidak hanya mengenai rasa, namun juga siapa orang yang makan bersama kita, suasananya dan ragam pernik persitiwa di sekitarnya. Begitu juga dengan anak-anak. Makanan yang mereka makan akan menjadi medium bagi kita atau mereka menanamkan ingatan.


Memasak cenil bagi saya adalah membongkar kembali ingatan tentang masa kecil, kampung halaman dan cerita-cerita di sekitarnya. Lalu bagaimana dengan Aro? Generasi Youtube yang mengenal sensasi cenil dari media visual layar datar dan cerita pamannya lewat lagu. Bagi kami, orang tuanya, kami berpikir bahwa saat ini ia sedang berada di tahapan menjelajah sensasi rasa berbagai makanan. Membiarkannya mengeksplorasi aneka makanan akan memberikan kekayaan kenangan akan masa kecil.

Pada beberapa episode memasak bersama, kami membuat pizza, cenil, kue lapis, kue kukus, dan roti. Tidak semuanya berhasil. Ada roti yang bantat, kue lapis yang terlalu keras, dan berbagai cerita heboh lainnya. Namun, ada perbincangan dan pemahaman yang menarik di setiap prosesnya. Dari hal-hal sederhana yang terjadi. Bagaimana mengenal tepung, memecah telor, menyetel oven pada suhu yang tepat, dan lain-lain.

Sayang sekali kalau di masa kecilnya, anak-anak  hanya mengingat makanan franchise yang bisa mereka dapatkan di manapun di banyak kota.

“Ini bentuknya sofa,” kata Aro. Ungkapan yang membuat saya kaget saat proses membentuk adonan. Kok cenil bentuknya sofa? Saya ingin protes karena itu jelas tidak sesuai dengan pakem petunjuk teknis percenilan yang saya ingat. Saya memandang Bundanya yang sedang sibuk motret kegiatan kami. Ada kode untuk membiarkan Aro dengan kreasinya. Niat untuk protes pun saya urungkan. Mungkin ini saatnya Aro menjelajahi imajinasinya akan makanan dan bentuk-bentuk yang ia sukai. Akhirnya terciptalah cenil bentuk sofa, cenil bentuk topi dan cenil tiga warna. Oiya, taburan kelapa yang biasa ada pun sudah berganti dengan keju sebab menurutnya lebih enak hehehe. (Ayah Obi)

2 Komentar

  1. Skip terigu dong. Lelehur kita tdk mengajari makan terigu ... ha3x. Kelapa lbh sehat drpd keju lho ... Kikikik.

    BalasHapus